Hits: 37
Pijar, Medan. Dunia sepakbola memang sejak dulu menjadi olahraga yang paling banyak digandrungi di berbagai kalangan. Tidak melihat usia, profesi, suku, agama maupun budaya. Sepakbola seolah menjadi hiburan tersendiri di tengah hiruk-pikuk dunia modern ini. Setiap penikmat sepakbola sudah pasti punya tim dan pemain idolanya. Bahkan beberapa fans fanatik sepakbola rela menghabiskan malamnya hanya untuk menyaksikan tim dan pemain kesayangannya berlaga di lapangan hijau. Misalnya saja fans sepakbola di Asia yang tim kesayangannya berkompetisi di “benua biru”. Acap kali fanatisme yang ditunjukan dalam bentuk euforia yang berlebihan. Namun itulah yang membuat si kulit bundar menjadi menarik.
Mengamati fenomena dunia sepakbola, tentu saja yang sering menjadi sorotan adalah “pengolah si kulit bundar”, terutama mereka yang bermain di benua biru atau Eropa. Eropa memang menjadi ‘kiblat’ sepakbola dunia. Hal ini karena klub-klub yang berlaga disana sudah cukup matang baik dalam hal finansial maupun manajemen klub dan pemain. Selain itu para pemainnya juga menyuguhkan permainan yang luar biasa. Skill yang mumpuni dan determinasi tinggi yang memanjakan penikmat jagat hiburan sepakbola. Sehingga tidak menjadi kejutan lagi jika pemain-pemain di Eropa lebih sering di ulas di berbagai media daripada pemain lokal. Yang menjadi sorotan tidak hanya aksi para punggawa dilapangan saja, bahkan hal yang sekecil apapun di luar lapangan tak luput dari pemberitaan media. Seperti kebiasaan-kebiasaan para pemain di dalam maupun luar lapangan.
Eropa yang menjadi kiblat sepakbola dunia, ternyata memiliki keberagaman yang luar biasa. Salah satu yang bisa diamati adalah kebebasan beragama. Meskipun di Eropa yang notabene penduduknya non-muslim, ternyata cukup banyak juga pemain-pemain muslim yang merumput disana. Pemain-pemain muslim di Eropa memang cukup fenomenal karena jumlah mereka yang minoritas. Banyak tantangan yang harus mereka hadapi sebagai pemilik identitas muslim di tengah mayoritas non-muslim. Dan beberapa diantaranya cukup menginspirasi.
Berikut kisah beberapa pemain muslim di Eropa:
1. Mesut Ozil
Mesut Ozil lahir di Gelsenkirchen, Jerman barat 15 Oktober 1988. Pemain berdarah Jerman-Turki ini dikenal sebagai pengumpan bola yang handal. Mengawali karir bersama klub Gelsenkirchen, hingga akhirnya karirnya bersinar di klub raksasa Spanyol, Real Madrid. Bersama Real Madrid Ozil menunjukan kualitasnya sebagai pemain. Mempunyai daya jelajah yang tinggi, keselarasan visi bermain, serta umpan-umpan akurat yang mampu menjangkau sudut-sudut sempit dan tak ayal umpan-umpan matangnya memanjakan striker El-Real untuk dikonversi menjadi gol.
Dibalik kemampuan bermain yang memukau, Ozil juga dikenal sebagai muslim yang taat dan teguh dalam menjalankan ibadah. Berada di tengah mayoritas berbeda keyakinan, tak membuatnya canggung untuk menunjukan identitas sebagai seorang muslim. Hal ini ditunjukan dari ritual-ritual yang dilakukan seperti membaca surat Al-Fatihah sebelum bermain, menjaga sholat lima waktu, dan tetap berpuasa di bulan Ramadhan walaupun jadwal pertandingan yang padat. Tidak hanya itu, kebiasaan nya membaca Al-Quran juga patut di acungi jempol. Ozil selalu meluangkan waktu untuk membaca Al-Quran, sesibuk apapun kegiatannya. Konon katanya salah satu pemain bintang Real Madrid Cristiano Ronaldo sangat senang mendengar Ozil mengaji ,bahkan CR7 sampai hafal surat Al-Fatihah. Pada musim lalu, Mesut Ozil memilih hengkang dari Real Madrid dan memilih hijrah ke Arsenal. Kehadiran Ozil di Arsenal memberikan warna dan semangat baru bagi tim Meriam London tersebut. Tidak ada yang berubah dari kebiasaannya, Ozil tetap sosok muslim yang teguh menjaga keyakinan baik di dalam maupun di luar lapangan hijau.
2. Samir Nasri
Tidak jauh beda dengan Mesut Ozil, Samir Nasri juga dikenal sebagai sosok yang taat baik di dalam maupun di luar lapangan. Bagi Samir Nasri, keimanan tidak perlu disembunyikan di tengah lapangan hijau. Setidaknya dia membuktikan hal itu saat bermain di liga Inggis yang terkenal glamor.
Pemain 25 tahun ini dibesarkan dikota La Gavotte Peyret, bagian dari daerah Septemes-les-Vallons, sebelah utara Marseile, Perancis. Dia adalah keturunan Aljazair dan anak tertua dari empat bersaudara. Nasri memulai debut profesionalnya di klub Marseille pada September 2004 pada usia 17 tahun. Sepak terjangnya di dunia sepakbola tidak diragukan lagi. Hingga akhirnya pada juni 2008, Nasri Bergabung dengan klub Liga Inggris, Arsenal. Pada tahun 2011 Nasri hengkang ke klub asal Manchester, Manchester City. Di Manchester, karir Nasri makin bersinar. Dia berhasil membawa City menjuarai Liga Primer Inggris 2011-2012 dan musim 2013-2014. Penguasaan bola yang bagus, kecepatan dengan atau tanpa bola, serta tendangan kaki kiri dan kaki kanan yang sama baiknya menjadi ciri khasnya di lapangan. Banyak pihak yang menilai bahwa dia layak menjadi penerus legenda Perancis, Zinedine Zidane.
Meski begitu, bagi Nasri agama lebih penting dari sepak bola. Gelandang serang ini selalu menadahkan kedua telapak tangan dan membaca surat Al-Fatihah sambil menundukkan kepala di lapangan sebelum pertandingan dimulai. Tidak hanya itu, dalam melakukan selebrasi pun Nasri tidak pernah malu untuk menunjukan keislamannya di depan puluhan ribu penonton. Misalnya saja selebrasi yang dilakukan saat merayakan kemenangan liga 2011-2012, “Kemenangan ini sangat spesial, Allahu Akbar. Terimakasih atas dukungan semua pihak. Tetap jaga keimanan, Allaahu Akbar,” kata Nasri dalam rekaman video wawancara dengan stasiun Al Arabiya yang diunggah di situs You Tube. Atau saat Nasri melakukan selebrasi dengan kaos dalam bertuliskan “Eid Mubarak”, ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri bagi umat Islam.
3. Frederic Kanoute
Lapangan hijau. Pengecualian itu tak berlaku buat pemilik nama lengkap Frederic Oumar Kanoute. Mantan penyerang Sevilla ini sangat bangga menjadi seorang muslim. Dan itu ditunjukan dengan jelas dalam aksi, sikap hidup dan selebrasinya. Mengawali karir senior pada tahun 1997 bersama Olimpique lyon, namun karir Kanoute bersinar bersama Sevilla ketika hijrah dari Tottenham Hotspurs pada 2005 silam. Bersama Sevilla, Kanoute berhasil memenangi dua piala UEFA. Hingga akhirnya memutuskan bermain untuk klub Liga Super China, Beijing Guouan. Pemain terbaik Afrika 2007 ini memang terkenal ganas di lapangan. Lebih dari 20 gol dihasilkan tiap musim bersama Sevilla.
Diluar lapangan Kanoute tak pernah malu untuk melaksanakan ibadah di depan rekan-rekannya. Tak jarang ia shalat dan disaksikan rekan se-timnya. Bahkan itu sudah menjadi pemandangan yang biasa di ruang ganti. Begitu pula jika Ramadhan datang. Kanoute tetap berpuasa baik ketika latihan maupun bertanding. Meskipun berpuasa, dia tetap ganas di lapangan. Dia tetap bermain penuh dan profesional kendati tidak makan dan minum.
Terkenal garang dilapangan, pria berusia 36 tahun ini memang dikenal sebagai muslim yang taat dan kerap bangga menunjukan identitas keyakinannya, serta vokal terhadap isu-isu sosial terhadap umat Islam. Pada tahun 2007 misalnya, pemain berdarah Mali ini pernah memberikan gajinya selama setahun, sebesar 700.000 dolar AS atau setara Rp 7 miliar untuk menyelamatkan mesjid terakhir yang ada di Sevilla. Mesjid tersebut sedianya akan dijual karena populasi Muslim di kota tersebut akan punah. Pemerintah pun menamai tempat ibadah tersebut sesuai dengan nama sang pembeli. “Jika tidak ada Kanoute, kami tidak akan beribadah pada hari Jum’at lagi, dimana itu adalah hari suci bagi umat muslim,” tukas wakil dari komunitas Islam Spanyol, sesaat setelah Kanoute membeli Masjid tersbut, seperti dilansir AFP.
Ketaatan Kanoute dalam menjalankan ibadahnya mendapat dukungan penuh dari Sevilla pada saat itu. Ia meminta jersey khusus tanpa sponsor. Hal itu karena sponsor utama Sevilla, 888.com, adalah situs judi yang tentu bertentangan dengan ajaran islam. Ia juga menyumbangkan seluruh hasil penjualan kaosnya untuk beramal.
Tidak sampai disitu, aksi-aksi sosial Kanoute sebagai seorang muslim patut diberikan apresiasi. Ketika Gaza tengah digempur Israel, dimana ribuan rakyat Palestina tewas dalam berbagai serangan brutal, Kanoute terus memberikan dukungannya baik di dalam maupun diluar lapangan. Bahkan Kanoute tercatat hanya satu-satunya pesepakbola yang menyampaikan dukungannya kepada Palestina. Hal itu ia tunjukan ketika pertandingan Sevilla kontra Deportivo la Coruna dengan cara membuka jerseynya untuk memperlihatkan kaos dalamnya yang bertuliskan “Palestine”. Kata Palestina juga ditulis dalam beberapa bahasa yang lain.
Konsekuensi aksi Kanaoute tersebut sempat menggemparkan jagat sepakbola. Aksi itu mengundang banyak komentar dan reaksi. Bahkan Federasi Sepakbola Spanyol (REF) memberlakukan denda kepada Kanoute sebesar 3000 Euro atau sekitar Rp 45 juta. Pasalnya Peraturan Federasi Sepakbola Spanyol melarang para pemain menunjukan berbagai publisitas atau slogan-slogan sepanjang pertandingan berlangsung. Menurut Federasi itu, hukuman tersebut tidak mempermasalahkan sifat dasar politik dari pesan itu. Tetapi mereka menyoroti fakta bahwa sang pemain telah menunjukkan suatu pesan yang dinilai melanggar peraturan. Sanksi ini tentu saja menuai kritik dari berbagai penjuru karena aksi Kanoute merupakan bentuk solidaritas terhadap sesama muslim.
Tanggapan Kanoute? “Itu merupakan sesuatu yang harus saya lakukan. Setiap orang seharusnya merasa bertanggung jawab saat menyaksikan ada suatu situasi yang tidak adil itu. Saya merasa 100 persen bertanggung jawab dan saya tidak takut atas sanksi itu,” ujarnya kepada televisi swasta Telecinco.
Hidup di Eropa dan bergelut dengan prinsip hidup seorang muslim memang berat. Apalagi dalam dunia sepakbola, salah satu olahraga populer di Eropa. Bukan rahasia lagi, sentimen agama masih keras dirasakan. Beberapa pemain pernah merasakan kasus rasial yang berhubungan dengan keyakinannya, belum lagi sikap anti-islam yang sering di dengungkan banyak pihak di Eropa. Mempertahankan eksistensi muslim sebagai minoritas bukanlah hal yang mudah, apalagi mereka yang merumput di lapangan hijau. Butuh ketahanan mental, keyakinan yang kuat serta kemampuan beradaptasi yang ekstra untuk tetap eksis sebagai minoritas. Beberapa pemain diatas bisa menjadi teladan. Tetap menunjukan profesionalitasnya di lapangan, namun tahan berdampingan dengan gemerlap duniawi yang ditawarkan di luar lapangan. Masih banyak lagi pemain sepakbola diluar sana yang memilki cerita yang sama, mereka dengan lantang mengumumkan identitas mereka sebagai muslim di tengah mayoritas, siap menanggung konsekuensi demi keyakinan, bagaikan oase ditengah hiruk-pikuk gemerlapnya dunia. Layaknya sepotong berlian, akan tetap menjadi berlian dimanapun berada, bahkan di dalam lumpur sekalipun berlian akan tetap bersinar. Lalu, bagaimana dengan kita?