Hits: 9
“Wanginya mengisi mimpi-mimpiku, dan aku terjaga, berkeringat serta kelaparan. Dalam mimpiku aku melahap coklat, aku bergulung dalam coklat, teksturnya tidak kaku namun selembut daging, seperti seribu mulut pada tubuhku, menyantapku dalam gigitan-gigitan kecil yang mendebarkan. Dalam momen seperti itu aku hampir bisa memahami Armande Voizin, yang rela membahayakan nyawanya pada setiap suapan seisi mulut”
Pijar, Medan. Chocolat bercerita mengenai pengembaraan seorang wanita bernama Vianne Rocher, berkebangsaan Prancis dengan latar belakang psikologi yang kompleks dan anak perempuannya bernama Anouk yang memiliki sesosok teman imajinasi. Mereka memutuskan untuk tinggal di sebuah desa kecil bernama Lansquenet-sous-Tannes, dimana penduduknya sangat taat beragama karena dipengaruhi oleh sebuah gereja Katolik pimpinan pendeta Francis Reynaud.
Vianne Rocher adalah seorang master dalam mengolah coklat menjadi makanan, permen, dan minuman yang lezat tanpa banding. Tepat di depan sebuah gereja di Lansquenet-sous-Tannes, ia mendirikan sebuah toko coklat bernama La Celeste Praline. Cerita ini dimulai pada masa itu adalah masa menjelang Paskah, dimana penganut Katolik dianjurkan untuk berpuasa. Pendirian toko coklat ini membuat pendeta Francis Reynaud murka dan kemudian menganjurkan pengikutnya dan kelompok Injil di kota itu untuk berusaha sekuat tenaga menolak kehadiran Vianne Rocher di kota itu.
Kelompok Injil dengan aktivis taat yang bernama Caroline “Caro” Clairmont menolak kehadiran toko coklat itu dan berusaha menghasut penduduk lain untuk mengusirnya. Dia bahkan mengungkit status anak Vianne, Anouk, sebagai anak haram yang tidak berayah. Tapi untungnya tidak semua penduduk kota itu membenci Vianne dan Anouk. Ibu Caroline yang sudah tua tapi keras kepala, Armande Voizin, justru menyukai Vianne dan menjadi pelanggan tetap La Celeste Praline. Caro menentang keras kebiasaan baru ibunya meminum coklat manis, mengingat Armande pengidap diabetes. Caro bahkan melarang Armande bertemu dengan cucunya sendiri, Luc, meskipun Armande sangat merindukan cucunya tersebut.
Datangnya sekelompok gipsi yang bersandar di sungai dekat kota tersebut memperparah keadaan. Mayoritas penduduk pedesaan Prancis yang taat beragama tersebut membenci orang gipsi. Dalam pikiran mereka, orang-orang gipsi adalah penyembah setan dan pelaku kriminal. Francis Reynaud, dalam khotbahnya menjelang paskah, mengobarkan ‘perang salib’ kepada dua musuh, Vianne Rocher dan orang-orang gipsi. Vianne Rocher yang keras kepala tidak menyerah atas intimidasi Reynaud, justru dia mengumumkan bahwa dia akan mengadakan sebuah festival coklat, tepat di hari Minggu Paskah. Secara tidak terduga, penduduk kota itu mulai menyukai coklat dan hubungan sosial mereka membaik karena toko coklat Vianne.
Novel ini membahas segala macam jenis coklat dan pengolahannya, tidak bisa dipungkiri Joanne Harris memiliki prosa yang luar biasa. Gaya bercerita Harris sangat menyenangkan untuk dibaca, membuat saya terpaku di depan bukunya tanpa kenal waktu. Saya baru mengetahui begitu banyaknya olahan yang bisa dibuat dari sebongkah coklat setelah membaca buku ini. Bahkan ada yang namanya belum pernah saya dengar sebelumnya. Ketika membaca penggambaran oleh Joanne Harris, kita bisa mengerti rasa bersalah yang dialami Pendeta Francis Renaud ketika dia menggambarkan sensasi coklat meleleh di mulutnya.
Akan tetapi benang merah dalam novel ini membahas tentang hal yang tak pernah selesai diributkan dari masa kegelapan hingga kini yaitu dominasi akan kebenaran moralitas dan agama. Dalam novel ini kita dibukakan kepada argumen dan sudut pandang bahwa semakin taat orang beragama tidaklah berbanding lurus terhadap kemaslahatan sosial. Hal ini digambarkan dengan sikap pendeta Francis Reynaud yang membenci keberagaman, menganggap coklat adalah makanan dari setan yang menggoda umat manusia dengan kenikmatannya dan menganggap pemilik toko coklat adalah kaki tangan setan.
Pendeta Francis Reynaud bukanlah gambaran mengenai agama Katolik semata, semua agama pasti mempunyai figur seperti itu. Keras, militan, dan hanya mempunyai satu logika kebenaran, yaitu logika Tuhannya sendiri. Reynaud merasa berkewajiban untuk membela Tuhannya. Reynaud merasa paling dekat dengan Tuhan. Ini seharusnya tidak aneh, bukankah kita semua, dalam kadar tertentu, juga merasa seperti itu? Tuhan sendiri tidak turun ke bumi dan mengumumkan bahwa yang benar selama ini adalah pihak A bukan pula pihak B. Jika hal ini yang terjadi yakinlah, tidak akan ada lagi masalah yang timbul akibat gesekan antara Front Preman Islam, Islam Syiah, Islam Sunni, Ahmadiyah, Katolik, Protestan, Kristen Ortodoks, Kristen Koptik, Buddha, Hindu, dan sebagainya. Umat manusia menciptakan Tuhannya sendiri dalam kepalanya. Mereka saling memusuhi, saling mengusir, saling membunuh dan berperang. Mereka berperang hanya karena isi kepala mereka berbeda.
Ada yang antikehidupan dalam kehidupan beragama yang taat di dunia ini. Coklat yang semata-mata hanya rempah-rempah, dituduh sebagai alat setan. Orang-orang taat beragama rela meledakkan dirinya di sekelompok orang agar ikut mati bersamanya. Mereka beranggapan bahwa Tuhan akan memberikan kehidupan yang lebih indah setelah mati apabila dia berhasil membunuh orang-orang kafir. Seakan tidak ada jalan lain dalam dialog antar peradaban. Saling memusnahkan dan merusak adalah cara satu-satunya. Mengapa agama sampai sedemikian anti kehidupan? Ini merupakan otokritik buat kita, umat beragama.
Menurut saya meminum coklat panas disaat hujan lebat bersama teman-teman membuat hari-hari yang melelahkan serasa ringan, tenang dan berlalu. Coklat tidak membuat kita membenci orang lain atau merusak kehidupan. Coklat hanyalah rempah-rempah maka biarlah dia begitu, tanpa ada embel-embel lain dibaliknya. Hidup ini sudah berat, bahkan tanpa memikirkan hal-hal seperti itu. (ff)