Hits: 38

Pijar, Medan. Februari ini, bertambah lagi satu titel film Indonesia hasil adaptasi. Setelah “5 cm” dan “Habibie dan Ainun”, kini hadir film Rectoverso. Film ini diangkat dari kumpulan cerpen dengan judul yang sama karya novelis papan atas Indonesia, Dewi Lestari atau yang akrab disapa Dee. Karya Dee ini dinilai fenomenal bukan hanya karena sukses secara komersil, tapi juga karena memadukan ruang baca dan ruang dengar. Rectoverso tak hanya dirilis dalam bentuk buku, tetapi juga dalam bentuk CD. Rectoverso merupakan hibrida fiksi dan musik, sesuai dengan tagline “dengar bukunya, baca musiknya”.
Dari sebelas kisah di buku, terpilih lima kisah untuk difilmkan. Kelima kisah tersebut adalah Malaikat Juga Tahu, Firasat, Curhat Buat Sahabat, Hanya Isyarat, dan Cicak di Dinding. Lima fragmen Rectoverso mengusung satu tema besar, yaitu “cinta yang tak terucap”. Lima sutradara wanita dipercaya untuk menghidupkan napas kelima kisah tersebut. Mereka adalah Marcella Zalianty, Rachel Maryam, Olga Lidya, Happy Salma, dan Cathy Sharon. Rectoverso dirilis ke bioskop seluruh Indonesia bertepatan pada hari Valentine 14 Februari 2013 lalu.
Film Rectoverso memiliki format omnibus. Meski berbeda cerita dan makna, kelima fragmen ditampilkan dalam sinkronitas yang halus dan rapi. Editing yang mulus merupakan salah satu poin kuat film ini. Menarik untuk menyimak hasil kolaborasi sutradara, penulis skrip, dan para pemain menerjemahkan cerita-cerita pendek Dee yang amat personal ini. Pembaca setia Rectoverso, khususnya, akan menemukan kejutan-kejutan kecil dari adaptasi lima kisah tersebut. Namun, penonton yang belum membaca novelnya pun tetap bisa menikmati film ini.
Berikut ini ulasan singkat dari lima fragmen semesta Rectoverso:
1. Malaikat Juga Tahu

Sutradara : Marcella Zalianty
Skrip : Ve Handojo
Pemain : Lukman Sardi, Prisia Nasution, Dewi Irawan
Malaikat Juga Tahu bercerita tentang kehidupan tiga manusia dalam naungan sebuah rumah kos, yaitu Abang, Bunda, dan Leia. Abang mengidap autisme. Dia hidup di dunianya sendiri dan berkomunikasi dengan cara yang tak biasa bagi kebanyakan orang. Perilakunya repetitif dan cenderung obsesif. Abang hobi menyusun seratus sabun hingga membentuk piramida, mengurutkan koleksi musiknya sesuai abjad, dan bermain biola. Di balik pola hidupnya yang tak biasa, Abang sejatinya tetaplah manusia biasa, tetap punya hati mampu yang merasa.
Bunda, yang setia memerhatikan Abang, tahu bahwa sesuatu tengah terjadi pada hati anaknya. Semua itu tak lain karena keberadaan Leia, salah satu penghuni kos miliknya yang kerap menghabiskan waktu luangnya dengan Abang. Tak seperti anak kos lain yang cenderung iseng atau menghindari Abang, Leia mampu mengerti Abang dan memperlakukannya dengan lembut. Hubungan Abang dan Leia yang sepintas tampak aneh itu menjadi istimewa di mata Bunda.
Suatu hari, Hans, anak bungsu Bunda, pulang. Hans berkarakter menyenangkan, pintar, dan menawan. Perkenalannya dengan Leia membuat Hans jatuh cinta pada gadis itu. Leia ternyata merasakan hal yang sama. Tahu bahwa Abang akan menderita karena ini, Bunda mencoba meyakinkan Leia bahwa Abang mencintainya lebih dari apapun juga.
Posisi Leia sulit. Dua cinta ada untuknya. Cara mencintai siapakah yang Leia pilih—cinta Abang yang seumur hidup dan tanpa pilihan, atau cinta Hans yang datang padanya dari sekian banyak pilihan?
2. Firasat

Sutradara : Rachel Maryam
Skrip : Indra Herlambang
Pemain : Asmirandah, Dwi Sasono, Widyawati
Setahun sudah Senja bergabung di klub Firasat. Klub yang mengadakan pertemuan seminggu sekali ini dipimpin oleh seorang lelaki karismatik bernama Panca. Di klub itu, anggotanya bisa berbagi tentang firasat yang pernah mereka rasakan. Menurut Panca, firasat adalah cara alam berbicara. Tapi sayangnya, manusia tidak pernah bisa memahami. Padahal semua insan bisa berdialog dengan semesta.
Diam-diam Senja jatuh hati pada Panca. Itulah mengapa dia bertahan di klub walau tak sekalipun pernah membagi ceritanya. Senja pernah didatangi firasat tentang orang-orang terdekatnya di masa lalu. Kejadian yang menyusul firasat tersebut meninggalkan trauma mendalam pada dirinya. Karena itulah, saat firasat yang menggelisahkan datang kembali, Senja panik. Dia lalu bertanya pada Panca, “Kalau kita punya firasat tentang seseorang, apa kita harus kasih tahu orang itu?”
Dua kata jawab Panca. “Buat apa?”
Apa gunanya tahu sebelum waktunya? Apa baiknya tahu tanpa bisa berbuat apa-apa? Firasat adalah proses untuk mengetahui—tidak hanya bagi Senja, tapi juga bagi penonton—bahwa kadang-kadang pilihan yang terbaik adalah menerima.
3. Curhat Buat Sahabat

Sutradara : Olga Lydia
Skrip : Ilya Sigma dan Priesnanda Dwi Satria
Pemain : Acha Septriasa, Indra Birowo, Tetty Liz Indriati
Reggie tak pernah tahu, entah bagian apa dari diri laki-laki yang dicari Amanda selama lima tahun. Sahabat terbaiknya itu sudah putus cinta berkali-kali. Tiap kali patah hati, Amanda selalu lari ke Reggie, mencurahkan isi hatinya.
Tetapi, ada yang berbeda dalam dialog kali ini. “Malam ini, aku lahir baru,” kata Amanda.
Reggie heran. Amanda rupanya letih menghadapi laki-laki yang tak pernah merasa dirinya cukup. Amanda lelah dituntut harus ini-itu. Saat sakit beberapa waktu lalu, Amanda akhirnya menyadari sesuatu. Bahwa yang dia butuhkan cukuplah seseorang yang menyayanginya dan ada untuknya, tak peduli jam berapa pun itu. Ironisnya, Amanda luput menyadari bahwa sosok yang ia cari-cari ada pada Reggie, sahabatnya sendiri.
4. Hanya Isyarat

Sutradara : Happy Salma
Skrip : Key Mangunsong
Pemain : Amanda Soekasah, Hamish Daud, Fauzi Baadila
Lima orang backpacker berkenalan di suatu milis. Setelah dua tahun, akhirnya mereka sepakat untuk bertemu dalam suatu liburan kelompok. Al, satu-satunya perempuan di dalam grup, menyadari bahwa dirinya telah jatuh cinta pada Raga, rekannya. Raga, yang selama ini dia kagumi pemikiran dan pandangan hidupnya lewat tulisan-tulisannya di milis. Raga, yang bicara dan tertawa santai tanpa menyadari tatapan damba Al yang memerhatikannya dari belakang. Raga, yang hanya sanggup ia gapai sebatas punggungnya. Al bahkan tak tahu warna matanya.
Setelah beberapa lama, Al yang hanya menjadi pemerhati akhirnya bergabung dengan rekan-rekannya. Malam itu, ditemani debur ombak, kelima backpacker itu duduk mengelilingi meja bar. Satu permainan kecil mereka jalankan. Tiap orang harus berbagi kisah paling sedih dalam hidupnya. Pada posisi itulah Al akhirnya bisa cukup dekat dengan Raga. Dia pun mulai berbagi kisah tentang cinta tanpa kata, cinta yang hanya bisa tersampaikan lewat isyarat.
5. Cicak di Dinding

Sutradara : Cathy Sharon
Skrip : Ve Handojo
Pemain : Sophia Latjuba, Tio Pakusadewo, Yama Carlos
Saras hadir begitu saja di kehidupan Taja, seorang pelukis muda. Pembawaan Saras yang berani dan menggoda membuat Taja terpersona. Perkenalan singkat mereka di suatu kafe berujung pada one night affair. Siapa sangka, keesokan harinya mereka bertemu lagi di suatu kedai kopi. Obrolan mereka berlanjut panjang. Rasa yang ada di hati Taja menguat. Namun, setelah mereka lalui malam kedua bersama, Saras menghilang.
Enam tahun berlalu. Taja tenga h bersiap membuka pangeran lukisan pertamanya. Adalah Irwan, sahabat terdekatnya, yang membantu Taja hingga sampai ke taraf ini. Hari itu juga, Irwan berkata bahwa ia hendak memperkenalkan calon istrinya pada Taja. Alangkah kagetnya Taja ketika tahu bahwa Saraslah orangnya.
Taja tak ingin berkompetisi. Dia hanya ingin tahu, apa benar Saras mencintai Irwan. Saras kini harus hadapi kebenaran di hati. Benarkah rasanya pada Taja tak pernah ada, atau selalu ada, layaknya cicak yang lekat di dinding?
Secara keseluruhan, Rectoverso menghadirkan jajaran cast yang kuat dan apik dalam perannya. Dialog-dialog yang diutarakan lugas, tak sampai membuat kening berkerut. Beberapa dialog indah dikutip langsung dari buku Rectoverso sendiri. Musik latar yang menghiasi scene-scene penting disajikan dengan timing yang tepat. Ruang dengar penonton akan dibuai oleh lima lagu ciptaan Dee yang diaransir dan dinyanyikan ulang oleh musisi-musisi piawai seperti Glenn Fredly dan Tohpati. Visualisasi di layar lebar menggunakan warna-warna yang cerah tapi di saat yang bersamaan memberi kesan teduh dan menenangkan. Penonton yang biasa menikmati film bertempo cepat mungkin akan merasa pace film Rectoverso agak lambat. Namun, di sisi lain, jika ingin sejenak lepas dari hingar-bingar hidup, atau sekadar ingin merenung dengan damai, film Rectoverso layak menjadi pilihan. [shs]