Mendaki Mimpi Ala ‘Sang Ibu Komunikasi’

Hits: 22

 

 

Pijar, Medan. Tak terlihat sedikitpun ekspresi lelah pada raut muka Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU ini, meski sejak pagi tadi beliau telah menerima cukup banyak tamu. Bahkan ekspresi itu terkesan semakin ramah dan ceria saat sesi pemotretan sebelum dimulainya wawancara.

Obrolan siang itu berlangsung hangat dan santai. Dimulai dari kisah unik dualisme tanggal kelahiran sang ibu. 28 Agustus 1962 merupakan tanggal lahir yang tertulis di ijazah Bu Fatma. Namun tanggal ini bukanlah tanggal lahir yang sebenarnya, sebab kenyataannya Bu Fatma telah lahir lima hari lebih dulu dari tanggal tersebut, yakni 23 Agustus 1962 di Sibolga, Sumatera Utara. Perbedaan tanggal ini terjadi tak lain cuma ditengarai oleh kemiripan bentuk angka 3 dan 8 yang salah dipahami oleh guru Bu Fatma saat masih duduk di bangku sekolah dasar, alhasil dualisme ini berlangsung terus hingga jenjang perguruan tinggi. Sejatinya Bu Fatma tidak terlalu mempermasalahkan hal ini, sebab baginya dualisme ini justru membuat dirinya dapat merayakan hari ulang tahun dua kali dalam setahun. “Kalau dengan keluarga Ibu merayakannya tanggal 23, tapi dengan teman-teman di kampus biasanya makan bersamanya tanggal 28. Ibu jadi banyak  dapat ucapan selamat“, ucapnya sambil tersenyum.

Anak ke-3 dari delapan bersaudara ini menjalani hidup masa kecil dalam lingkungan kebahagiaan. Cinta dan kasih sayang senantiasa berlimpah dalam keluarga besarnya, terutama dari kedua orang tua yang sangat ia sayangi. Ayahnya yang merupakan seorang pegawai Departemen Agama menanamkan kuat nilai-nilai keagamaan dalam jiwa seluruh anak-anaknya, termasuk Bu Fatma. Meski hanya berpangkat golongan 2A dengan gaji seadanya, ayahnya selalu berusaha mendukung dan memberikan yang terbaik bagi kemajuan pendidikan anak-anaknya. Hal inilah yang membangun tekad Bu Fatma untuk berani bermimpi akan cita-citanya, meski hidup dalam kesederhanaan. Terlebih kegigihan dan pengorbanan yang tak kalah besar dari sang ibu. “Ibu saya yang berjualan kue sampai-sampai membuat celengan untuk masing-masing anaknya, untuk membiayai pendidikan kami”, kenang Bu Fatma dengan mata berkaca-kaca menahan haru.

Pengorbanan besar orang tua yang dibarengi tekad kuat Bu Fatma akhirnya mengantarkan dirinya memasuki FISIPOL USU di tahun 1981, dengan hanya sekali mengikuti Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru), nama seleksi masuk PTN kala itu. Bahkan tidak hanya USU, sebenarnya Bu Fatma juga lulus dalam seleksi masuk UNIMED. “Tapi ya tentu ibu pilih USU, karena tak terbayang keinginan ibu untuk menjadi guru saat itu, “ ungkapnya.  Bagi Bu Fatma, kelulusan ini merupakan pintu gerbang dirinya untuk merajut mimpi demi mengubah jalan hidup melalui pendidikan.

Namun, tersembunyi kisah unik tersendiri dibalik kelulusannya itu. “Malam setelah ujian akhir kelulusan di SMA 1 Sibolga, sebelum dapat pengumuman lulus atau tidak lulus, tapi mungkin karena ibu yakin sekali lulus, Ibu langsung pergi ke Medan bersama seorang teman bernama Ida. Kepergian kami hanya diketahui keluarga, dan tidak diberitahu pada seorang kawan pun”, tutur Bu Fatma mengenang kisahnya. Ia mengatakan kepergian ‘diam-diamnya’ ini tak lain untuk mencari dan mengikuti bimbingan belajar yang murah di Medan. Dengan menumpang tinggal di rumah keluarga temannya, Bu Fatma akhirnya menemukan dan mengikuti program bimbel yang dikelola Organisasi HMI.

Layaknya mahasiswa lainnya, masa-masa kuliah dilalui Bu Fatma dengan rangkaian suka dan duka. Meskipun begitu, suka dan duka Bu Fatma punya kekhasan tersendiri dengan beragam kisah yang terjalin satu . Kekhasan itu diceritakan Bu Fatma dimulai dari masalah keuangan yang kerap melanda selama masa kuliahnya S1-nya di USU. Sebagai seorang anak PNS golongan 2A dengan ibu yang berdagang kue, tidaklah banyak jumlah uang yang mampu dikirimkan kepadanya setiap bulan. Yakni hanya tiga puluh ribu rupiah per bulan, sementara standar kawan-kawannya pada waktu itu berkisar antara 80-120 ribu rupiah. Mengenang hal itu Bu Fatma tak kuasa menahan haru, dengan mata yang merah berkaca ia menyeka mata dan berujar, “Aku jadi pengen nangis.”

Dengan jumlah yang menurut Bu Fatma ‘di bawah pas-pasan’ itu, dirinya harus bertahan hingga akhir bulan. Tak jarang baru sampai minggu kedua, uang kiriman sudah habis. Jika sudah begitu, ia pun kerap memutar akal, mencari cara agar bertahan hingga akhir bulan. Mulai dari menumpang tinggal di rumah Nurbani, teman sekelasnya di kampus, hingga datang ke pesta yang kerap diadakan teman-temannya.

Mengenai Bu Bani, panggilan akrab dari Bu Fatma untuk  Bu Nurbani, dirinya memiliki kisah tersendiri yang tetap dikenangnya hingga kini. Teman kampus yang kemudian menjadi temannya sesama dosen hingga kini itu kerap didatangi rumahnya, terutama menjelang akhir bulan. Keluarga Bu Nurbani dengan senang hati menerimanya, disebabkan dirinya yang pandai ‘Mambuat roha,’ istilah mandailing yang berarti mengambil hati dengan sikap yang santun. Bu Fatma juga senang menginap karena Bu Bani memiliki koleksi buku yang lengkap untuk dipelajari dan dicatatnya, maklum saat itu belum ada mesin photocopy seperti sekarang ini. “Jadi ibu datang untuk menyelamatkan hidup sekaligus menyelamatkan kuliah,” ucap Bu Fatma sembari tersenyum.

Sampai disini, sesaat Bu Fatma terdiam. Seolah mengumpulkan lagi kepingan memori yang terserak. Tak lama kemudian ia bercerita kembali tentang saat-saat duka lain yang pernah dialaminya. Pernah satu ketika ia sakit cukup parah, obat-obat biasa yang dibelinya dari warung tidak berefek nyata bagi kesembuhan penyakitnya. Sementara uang kiriman bulanan dari kampung telah habis sama sekali. Karena kebutuhan uang yang begitu mendesak, terpaksa dirinya menjual cincin warisan neneknya lewat teman kosnya di Pasar Sambu. Cincin warisan turun temurun yang tanpa surat itu akhirnya terjual dengan harga 30 ribu rupiah. Yang kemudian digunakan untuk membeli obat dan buah.

Layaknya mahasiswa pada umumnya, Bu Fatma juga mengikuti berbagai organisasi semasa ia kuliah. Mulai dari HMI, KOMPAS, hinga MENWA. Bu Fatma mengakui bahwa ketiga organisasi yang pernah diikiutinya semasa kuliah dulu banyak memberikan kontribusi nyata pada proses pembentukan karakter dirinya. “Dari Menwa ibu belajar untuk disiplin, bertanggung jawab, dan cepat memutuskan masalah atau mengambil keputusan. Sementara dari Kompas, dengan bermain di alam ibu belajar ketegaran dan kemandirian. Sementara dari HMI ibu mendapatkan nilai-nilai religius,” ungkap Bu Fatma.

Meskipun banyak mengikuti organisasi, Bu Fatma tidak pernah lalai menjalankan kewajibannya belajar. Dalam pesannya Bu Fatma menekankan pentingnya berorganisasi yang harus sejalan pula dengan keseriusan belajar. “Kalau sedang belajar, pikirkan belajar, dan kalau sedang organisasi ya pikirkan organisasi. Jadi kita bisa fokus menjalani dan tidak setengah-setengah,” pesannya. Kata-kata ini sesungguhnya bukan hanya pesan kosong belaka, sebab beliau sendiri telah lebih dahulu menjalani dan membuktikannya. Tak lama setelah ia lulus kuliah S1 pada tahun 1986 dengan nilai yang memuaskan, beliau langsung diangkat menjadi asisten dosen, oleh Pak Rusli, dosen beliau saat itu. Bahkan pada 1 Januari 1987 beliau resmi mendapat SK pengangkatannya sebagai PNS.

Pada tahun 1989, Syamsul Rizal Damanik S.E, lelaki yang menjadi seniornya di Organisasi MENWA dahulu, kini menjadi pendamping hidup ibu Fatma selama 24 tahun. Hingga kini mereka telah dikaruniai tiga orang putri, yaitu Risa Fadillah, Sari Maysarah, dan Meutia Faradiba. Kehadiran ketiga buah hatinya ini melengkapi kebahagiannya sebagai seorang ibu. “Keluarga merupakan separuh dari hidup saya,” ujar Bu Fatma dengan mantap.

Di tahun 2000, beliau melanjutkan studi S2-nya di Universitas Sains Malaysia. Namun sayang, studinya ini kandas di tengah jalan. Disebabkan adanya perbedaan kesepahaman antara dirinya dan dosen pembimbing tesisnya. Perbedaan ini mengakibatkan terluntang-lantungnya studinya hingga 1,5 tahun tanpa arah yang jelas. Menceritakan hal ini, terlihat raut kesal namun tegar dari wajahnya. “Saat memutuskan untuk berhenti dari USM ibu telah mempertimbangkan semuanya. Ibu juga sudah berdiskusi dengan keluarga dan  beberapa kawan sesama dosen seperti Prof Subilhar dan Pak Safrin. Sudah terlalu banyak yang ibu korbankan selama 1,5 tahun itu”, ungkapnya. Seakan tak ingin larut mengenang pengalaman pahitnya di masa lalu, seketika ia berkelakar, “meski sudah banyak yang ibu korbankan mulai dari waktu, biaya, tenaga, pikiran, juga meninggalkan anak-anak, tapi begitupun ibu senang, paling tidak ibu jadi sering pergi ke luar negeri.”

Hidup memang rangkaian rahasia takdir yang sarat akan hikmah dalam perjalanannya. Selepas dari USM, Bu Fatma diajak untuk melanjutkan studi S2-nya di IAIN Sumut, langsung oleh Prof. Syukur Kholil Dalimunthe, Direktur Program Pascasarjana Komunikasi Islam. “Ibu seperti muallaf saat kuliah disitu, Ibu mendapat ilmu dunia akhirat sekaligus” ungkapnya. Dirinya merasa sangat bersyukur akan hal itu, terlebih juga mendapat beasiswa berkat prestasi nilai yang dicapainya, hingga  nyaris tak keluar biaya sedikitpun selama kuliah disana.

Ketika  PIJAR  hendak menyudahi wawancara, kami mengajukan sebuah pertanyaan pamungkas, pesan apa yang ingin disampaikannya kepada mahasiswa ilmu komunikasi FISIP USU?  Sembari membuka buku profil Departemen ia menjawab, “Mari bersama-sama membesarkan rumah ini untuk mewujudkan visi ilmu komunikasi yakni melahirkan sarjana yang professional di bidang ilmu komunikasi”, tutur wanita yang mengaku memilih ilmu komunikasi karena kesenangannya menjalin relasi ini.[afn]

Leave a comment