Hits: 226
Judul : Robohnya Surau Kami
Pengarang : A.A Navis
Penerbit : Gramedia
Tahun Terbit : 2000
Kota Terbit : Jakarta
Jenis Buku : Antologi Cerpen
Ukuran & Jumlah hal : 147 hal, 21 cm
‘………..kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak…..’
Pijar, Medan. Kutipan di atas adalah sepenggal kalimat ucapan ‘Tuhan’ tentang kekeliruan iman Haji Soleh dalam anggapan Ajo Sidi yang ditulis secara dramatis oleh A.A Navis dalam cerpen karyanya yang berjudul “Robohnya Surau Kami”. Cerpen yang sarat nasihat ini kemudian dibukukan bersama sembilan judul lainnya dalam sebuah antologi cerpen yang mengambil judul ‘Robohnya Surau Kami’. Dari buku yang diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2000 ini kita dapat menyelami detail-detail makna kehidupan yang disajikan Navis dengan dalam setiap judul cerpen di dalamnya.
Selain dalam cerpen Robohnya Surau Kami, nasihat hidup juga disajikan gamblang dalam kisah Ompi yang harus merasakan pahitnya kecewa pada anak semata wayang yang kerap digembar-gemborkannya pada tetangga akan pulang dengan membawa titel dokter. Namun justru hilang dalam kelamnya kehidupan ibukota. Membuat Ompi harus mengubur kesombongannya bersama kematiannya yang mengharukan. Juga masih banyak lagi pelajaran yang dapat diambil dari kisah-kisah lain yang dimuat dalam buku ini.
Dengan mengangkat latar aspek kehidupan bermasyarakat masyarakat Indonesia, Navis ingin menunjukkan realitas kisah setiap cerpennya. Memberikan kedekatan emosional dan membawa pembacanya seolah terlibat masuk dan merasakan langsung problematika yang dihadapi sang tokoh. Sementara permainan jalinan kata-kata yang yang kadang terasa romantis mengalun namun seketika pula dapat menyerang tajam jiwa dan logika pembaca, serasa mengobrak-abrik pandangan dan keyakinan hidup yang telah dibangun pembaca selama ini. Memaksa pembaca seringkali perlu mengkritisi lagi eksistensi dirinya sendiri.
Dalam buku setebal 147 halaman nilai-nilai humanis terasa kuat sekali. Menggiring pembacanya untuk memandang kehidupan dari sudut yang berbeda, untuk kemudian menjalaninya dengan cara yang berbeda pula. Sebab Navis seolah menunjukkan kejemuannya pada masyarakat Indonesia yang terkungkung dalam tradisi absurd yang melekat kuat. Hingga terkadang tidak mampu lagi melihat jalan lain yang tak jarang lebih baik.
Meskipun begitu, dibalik semua kebijaksanaan filosofis yang disajikan tiap cerpen dalam buku ini, tak terlepas dari kekurangan di dalamnya. Sengatan kata-kata kritis yang disusun Navis seringkali terkesan mencampakkan dan menyalahkan secara sepihak pandangan umum yang telah lama menjadi budaya masyarakat. Kritik yang dibangunnya terasa sangat subjektif tanpa didampingi oleh kesahihan argumen yang didasarkan pada fakta yang kuat. Hingga secara umum buku ini menawarkan satu kebenaran mutlak pada pembacanya, yakni kebenaran menurut penulisnya sendiri.
Namun bagaimanapun, tak dapat dipungkiri buku ini baik dibaca oleh masyarakat Indonesia dari kalangan apapun sebagai cermin hikmah atas rupa diri kita satu sama lain. Hal ini penting sebagai satu upaya dalam proses pencapaian kebijaksanaan dalam perjalanan hidup. [Amir Fadli Nasution]