T-O-P-E-N-G

Hits: 11

OLEH IQBAL DAMANIK
[penulis adalah mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU]

Pada zaman Paleolitikum (± 30.000 tahun yang lalu), di dinding gua Trois Freses di sebelah selatan Perancis terdapat lukisan manusia berpakaian kulit binatang dan memakai topeng sedang menari, menyanyi dan memainkan instrumen. Begitulah topeng bersamai manusia, bahkan hingga mati pun topeng sering dibawa.

Tutankhamen sang Fir’aun, yang semasa hidup sibuk membaiat diri sebagai Tuhan, bertopeng ketika masuk liang lahat–mungkin ia masih berusaha mengelabui Tuhan sesungguhnya–Ia menyembunyikan sesuatu hingga makamnya pun tak dapat disentuh, terpahat kutukan di sana “Kematian akan segera mendatangi yang menyentuh makam Pharaoh”.

Ada banyak lakon di pentas pertiwi negeri ini. Tiap lakon mengenakan topeng beragam, satu wajah, dua wajah, seribu wajah. Topeng dimaksudkan untuk menutup yang tak mau diperlihatkan. Bertopeng belum berarti penyembunyi yang handal. Setiap topeng terselip nada pesan penyamar wajah.

Lakon topeng kali ini penuh cerita yang membuat penontonnya bahkan lupa bagaimana cara menangis, kita yang lelah, kita yang menjadi remah dalam “Lakon Koruptor bertopeng”. Setiap saat begitulah kita ketika mengintip jendela informasi. Semua menjadi dugaan, tersangka, terdakwah, fakta, konspirasi bernada korupsi. Tak memandang gender, posisi, kelembagaan, koruptor menyapuh bersih lini kenegaraan dari gawang hingga tembok pertahanan. Kita sedang membangun peradaban.

Robert Klitgaard punya cerita tentang koruptor (pasti) bertopeng ini, guru besar kebijakan publik Jhon F. Kennedy ini merumuskan korupsi sebagai gabungan monopoli yang bersetubuh dengan kekuasaan dikurang akuntabilitas. Konspirasi kekuasan menutup yang seharusnya bisa terhitung.

Lakon yang memerihkan hati, meremas perut, menaikkan asam lambung karena kelaparan. Namun para pelakon itu punya topeng, hingga Themis sang dewi keadilan pun tak mampu membuka topeng mereka, untuk menjerat dan menuntut tanggung jawab atas perih penonton dari lakon mereka.

Partai menjadi pabrikan topeng yang terus merasa tidak bersalah, menyetir Indonesia ke arah “Negara Partitokrasi”, tentunya ini tidak menjadi panasea dalam kronisnya penyakit korupsi di bangsa ini.

Namun, seperih apapun lakon topeng, kita memang bangsa yang sangat menghargai topeng. Seperti saat kita menyaksikan reog ponorogo yang bertampang mengerikan. Kita semua tetap riuh bertepuk tangan.

Leave a comment