Hits: 20
OLEH HISHAQEE NURAINI
[penulis adalah mahasiswa Departemen Ilmu Politik USU]
Teringat sebuah kalimat seorang dokter perempuan bergaya sosialita. Ia juga aktivis di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang sudah cukup tersohor dan mapan. Kala itu, dengan logat khas cedal dan sengau, si dokter menjelaskan berbagai macam program sosial yang dirancangnya, mulai dari acara sunatan massal gratis, bantuan kaki palsu dan tangan palsu, operasi katarak, sampai ke masalah perbaikan gizi masyarakat miskin. Sangat menarik, sangat bermanfaat bagi banyak orang.
Dia bilang begini, “Kalau anak jalanan jangan pernah cobalah. Payah, aku kapoklah, mereka cuma mau memanfaatkan kita aja. Banyak menipunya. Aku pokoknya mau bantu siapa aja yang butuh, tapi kalau anak jalanan, aku lebih baik nggak bantu.”
Sekarang, mari kita fokuskan ke anak jalanan itu. Apa yang langsung berkelebat di pikiran Anda saat mendengar dan melihat anak jalanan? Jujur saja, walau tidak terlalu setuju dengan intonasi perkataan sang dokter, saat itu yang terbayang memang hal yang cukup “mengerikan”.
Seorang atau sekelompok orang di jalanan, dengan bermacam gaya dan penampilan, namun serentak memberi perbedaan dirinya dengan orang “kebanyakan”. Perbedaan kecil yang mencolok: rambut dan pakaian kumal, kulit legam terbakar matahari, dan tentu saja berdaki “kental”. Pada tingkat ekstrim, penampilannya tampak lebih canggih dengan rambut warna-warni berpotongan abstrak dan aksesoris yang menghiasi hidung, telinga, dan bibir. Tujuannya satu, agar mendapat label yang sedikit lebih bergengsi: anak punk.
Soal tempat tidur bisa di mana saja. Yang pasti dipannya terasa keras, sekeras hidup yang meninabobokkannya sebelum lelap. Mereka makan dari upah bernyanyi, menengadahkan tangan demi sekeping recehan. Rumah bagi mereka adalah segala sudut yang dapat menyembunyikan mereka dari panas dan hujan kehidupan. Hidup mereka timbul tenggelam di aspal jalanan. Hidup yang sedikit berbeda dari hidup kebanyakan, namun ternyata itu membedakan dunia mereka dari kita. Begitu pula cara kita memandang dan memperlakukannya.
Sudut pandang
Perkataan sang dokter memang didasarkan pengalamannya. Dan itu tidak salah dalam satu sudut pandang. Mungkin sebagian dari kita juga pernah mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan dengan anak jalanan. Namun ternyata, ada satu sudut pandang lainnya, jika kita bersedia sedikit saja mau melihatnya dari sudut yang berbeda.
Mereka mencari peruntungan di jalanan, mulai dari berjualan asongan seadanya, mengamen, mengemis, menipu, mencopet, mencuri, merampok, dan semua kata kerja yang bersinonim dengannya. Berbeda dengan kita yang menggunakan standar mengais rezeki dengan bekerja dan segala jenis variannya. Kita hidup berkelompok dengan keluarga yang bertalian darah, mereka hidup berkelompok berdasarkan perasaan senasib seperjuangan.
Mereka yang hidup di jalanan lebih cepat lulus matematika kehidupan karena jalanan telah menunjukkan bagaimana rimba kehidupan kepada mereka, ketimbang kita yang hidup dengan proses yang teratur dalam tiap fase yang sudah begitu konvensional diikuti kebanyakan. Kita menjadi dewasa di usi sekian setelah melalui pendidikan yang cukup panjang, sedangkan mereka bisa menjadi dewasa sekejap udara jalanan yang memayungi mereka seharian.
Mereka memiliki nilai solidaritas, nilai kemandirian, ditempa nilai tanggung jawab bersama dengan kebebasan yang mereka dapatkan. Nilai yang sama dengan kita, tapi lagi-lagi aplikasinya sedikit berbeda dari kita kebanyakan.
Mereka yang di Jalanan
Namun, satu hal yang paling krusial. Jika kita sedikit menariknya sampai pada alasan awal mula anak jalanan mengadu nasib pada aspal jalanan, tentunya kita akan merasakan sebuah persamaan. Keluarga.
Keluarga adalah awal segalanya bermula. Kita lahir, kecil, bertumbuh kembang, dewasa, berada dalam keluarga. Pun demikian mereka. Hanya saja, pada fase tertentu mereka melepaskan diri dari keluarga, pada masa bayi, kanak-kanak, atau pada masa remaja, dan kemudian hidup mereka menjadi sebuah anomali.
Bagaimana mungkin jalanan menjadi rumah yang lebih nyaman bagi mereka, . padahal sangat jelas di jalanan tidak ada satu atap pun yang dapat menghangatkan dan melindungi mereka dari panas dan hujan. Jalanan memberikan banyak ancaman kekerasan yang fatal dan ketidakpastian yang panjang. Jalanan menuntut mereka memproduksi uang untuk menyangga senti lambung untuk hidup yang biasa dipenuhi kepala keluarga. Apa yang terjadi dengan kata keluarga bagi mereka?
Mereka yang memilih jalanan adalah anak yang berlabel sangat bandel dalam keluarga, mereka yang mengalami kekerasan fisik dan mental dalam keluarga, mereka yang tidak dipedulikan dalam keluarga, mereka yang dibuang dengan berbagai alasan dalam keluarga. Ketidaknyamanan keluarga yang membuat mereka keluar dan lebih memilih keganasan jalanan. Secara sederhana keluarga lebih mereka takuti daripada jalanan itu sendiri. Keluarga, tempat segala nilai ditanamkan, tempat segala perlakuan dicerminkan, tempat segala teladan dicontohkan.
Mengertilah
Mereka, anak jalanan, pada awalnya adalah korban dari sistem keluarga yang dijalankan. Jalanan menjadi sarana pembebasan hidup yang langsung menelan mereka untuk bermetamorfosa agar dapat bertahan di sana dengan segala cara. Mereka kembali pada hukum dasar manusia, yaitu bertahan hidup.
Advokasi adalah salah satu cara untuk memperbaiki apa yang telah terjadi pada mereka. Advokasi bukanlah memberikan perlindungan kepada korban, tetapi bagaimana membuat lebih banyak orang merasa bertanggung jawab dengan permasalahan itu. Kita mampu berbuat dan memberikan kontribusi dalam advokasi ini, minimal dengan memperhatikan dan memberikan kenyamanan pada anak dalam kondisi apapun. Jadi, selamatkan anak-anak kita, anak-anak tetangga kita, anak-anak saudara kita, agar tidak memilih jalanan sebagai sandara terakhirnya. Menyelamatkan satu anak, berarti mengurangi satu calon anak jalanan, dan berarti menghambat pertumbuhan jumlah anak jalanan. Anak jalanan adalah tanggung jawab kita bersama.