Hits: 60
Rahmat Harun Harahap
Benarkah masa lalu yang belum terselesaikan dengan baik akan kembali muncul di masa depan? Mungkin itu yang sedang kualami sekarang. Hidup ku yang tenang kini diterpa angin sepoi-sepoi dari masa lalu. Akankah angin sepoi-sepoi itu akan menjadi badai di hidupku? Inilah kisahku.
Perkenalkan aku Dimas, mahasiswa semester 7 yang sedang menjalani KKN di suatu desa dan yang pasti bukan desa penari ya. Sebuah kebetulan atau memang sudah ditakdirkan, penempatan KKN dilaksanakan berdekatan dengan panti asuhan tempat aku ditampung dulu. Ya benar, aku terlahir dari keluarga broken home. Kedua orang tuaku memilih meninggalkanku sendiri di sini dan bahagia dengan keluarga barunya masing-masing. Hal itu membuatku merasa sendiri di dunia ini dan tidak percaya lagi dengan yang namanya cinta dan kasih sayang.
Sampai tiba di mana dia datang untuk pertama kalinya. Namanya Salwa, dia menjadi teman pertamaku di panti asuhan. “Halo! Mau berteman denganku?” Itu kata pertama Salwa yang membekas di ingatanku. Sejak saat itu kami menjadi teman dekat. Setiap saat kami menghabiskan waktu bersama dan kini aku tak lagi merasa sendirian. Kami pun dengan polosnya menulis janji di dinding belakang panti untuk terus hidup bersama dan tak akan meninggalkan satu sama lain.
Singkat cerita, usia 17 tahun menjadi saat terakhir kalinya kami bertemu setelah aku mengatakan perasaan suka kepadanya. Pada saat itu aku menyesal karena mengira dia pergi karena perkataanku. Ibu pengurus panti asuhan juga tidak mau memberi tahu alasan Salwa pergi dari sini.
Kembali di masa saat KKN berlangsung, aku bernostalgia menghampiri dinding belakang yang bertuliskan janji di masa lalu. Tepat disitu berdiri seorang gadis sambil menoleh ke arahku dan berkata, “Halo! Mau berteman denganku?” Persis dengan ucapan Salwa.
“Ke mana saja kamu pergi?“ Tanyaku sambil memeluk erat. Kemudian dia menjawab, “Salwa mengidap kanker otak sehingga harus dirawat di rumah sakit.”
“Kenapa tidak ada yang memberitahuku selama ini?” ucapku kembali. Ia pun menjawab, “Sebenarnya ibuku merupakan pengurus panti asuhan. Aku melarangnya untuk memberitahumu.”
Akupun berlari menuju halaman panti asuhan di mana ada wanita tua yang berdiri di sana, yang tak lain dan tak bukan merupakan ibu Salwa.
“Kenapa selama ini Ibu tidak memberitahu kepadaku yang sebenarnya?” ucapku sambil memegang tangannya. Kemudian ibu tersenyum sambil menuntunku ke sebuah tempat. Gadis tadi juga ada di sana.
“Salwaaa!!!!” teriakku dengan kencang.
Gadis itu menangis dan tersungkur di sebelah sebuah nisan dan berkata, “Aku Salsa, kembaran Salwa, kakak ada di dalam sini.”
“Tidak !!!” teriakku lagi dengan kencang.
Ibu Salwa pun memelukku sambil berkata, “Inilah alasan kenapa Ibu tidak ingin memberitahumu selama ini, Nak. Perjalananmu masih panjang, jangan patah semangat. Ibu tahu kalian berdua dekat, Salwa juga sering bercerita tentang dirimu kepada adiknya, Salsa. Salwa tidak mau membuatmu bersedih dan dia minta maaf untuk tidak bisa menetapi janjinya.”
Aku pun tak bisa berkata apa-apa lagi. Yang menjadi jawaban dari pertanyaan di atas, “Ya benar angin sepoi-sepoi itu kini menjadi badai di hidupku.”