Hits: 103
Aqillah Syahza Non
Namaku Anya. Aku terlahir dengan fisik yang jauh dari kata cantik menurut standar masyarakat. Tubuh yang tidak proporsional, diikuti dengan kekurangan-kekurangan lainnya. Bentuk wajahku pun standar dan tak memiliki kecantikan tersendiri. Aku sangat menyadari bahwa diriku tidak bisa dikategorikan cantik seperti stigma yang sudah secara tak kasat mata terbentuk di lingkungan sekitarku, cantik ini begitu, cantik itu harus begini, dan sebagainya.
Suatu hari, entah mengapa semua teman sekelasku malah menunjukku untuk mewakili pemilihan cover book yang diadakan tiap bulan. Cover book majalah SMA Mutiara yang bernama “MAMUT” singkatan dari Majalah Mutiara. Aku benar-benar tak habis pikir apa alasan mereka menunjukku. Bahkan aku tidak tahu apakah mereka sedang mengejekku atau memang tulus memintaku menjadi perwakilan. Rasanya benar-benar memalukan.
Sejak saat itu, Luna, teman sebangkuku terus saja membujukku dengan alasan kelas kami harus menang. Dia terus mendesakku dan menggangguku. Padahal sudah kujelaskan padanya dan teman sekelas kami, bahwa kami tidak akan menang jika mereka menunjukku. Sudah salah sejak awal, mengapa mereka menunjukku sementara banyak yang lebih pantas untuk posisi cover girl itu?
Mau tak mau, karena Luna yang terus menggangguku aku pun terpaksa menuruti kemauannya. Demi dirinya dan teman sekelas yang terus-terusan mendukungku, aku mulai menuruti Luna.
Kecemasan mulai menggangguku. Aku mulai memikirkan banyak pertanyaan. Bagaimana jika nanti kalah? Apa yang harus kuceritakan pada sesi wawancara? Bagaimana cara menjadi cantik dalam sekejap? Berapa biaya operasi plastik? Tolong abaikan pertanyaan terakhirku karena aku tau itu gila. Ah! pusing sekali rasanya menjadi diriku, apa tidak bisa saja aku terlahir seperti Kendall Jenner?
Akhirnya, aku bercerita kepada Luna bahwa aku ingin mengatur pola makanku agar berat badanku sesuai dengan tinggiku, setidaknya aku ingin berusaha memantaskan diri agar tidak terlalu memalukan. Teman-temanku sangat mengapresiasi usahaku itu, bahkan tak segan-segan memantau dengan bertanya lewat ibuku di rumah.
Seminggu terlewati dengan paksaan, memang benar berat badanku menjadi ideal menurut kalkulator BMI, tapi itu tidak menutup fakta bahwa penampilanku masih sangat buruk. Aku bertanya pada Luna apa yang harus kulakukan lagi agar terlihat cantik. Tapi jawaban Luna sedikit membuatku jengkel.
“Kamu udah cantik, Nya. Nggak harus mengubah penampilan kamu kok, fokus sama kelebihan-kelebihan kamu yang lain aja, cantik nggak semuanya tentang fisik,” ujarnya sambil tersenyum.
Tentu saja aku kesal! Dengan penampilanku ini, tentu saja aku malu menjadi kandidat cover girl di antara perempuan-perempuan cantik yang lain. Aku tidak seberuntung dan sebahagia mereka terlahir dengan fisik yang cantik.
Tidak sampai di situ, bahkan Luna menolak saat aku memintanya menemaniku untuk membeli softlens, katanya itu berlebihan. Sebagai gantinya, Luna mengajakku ke toko optik untuk membeli kacamata baru yang menurutnya lebih baik. Jadi aku tetap menjadi diriku sendiri yang nyaman dengan kacamata.
Aku menurut saja, lagi pula setelah dipikir-pikir aku juga tidak akan menjadi cantik dan langsung menang jika melepas kacamata.
Setelah melewati wawancara bakat, hari di mana pemotretan diadakan akhirnya tiba. Teman-teman sekelasku memilih pemotretan di kelas dengan gaya yang sederhana. Berkali-kali aku hanya menghela nafas kasar karena bagiku ini semua tak akan pernah berhasil. Aku berfoto sendiri beberapa kali sebelum teman-teman sekelas meminta foto denganku.
Setelah pemotretan selesai, Luna menghampiriku.
“Senyum dong, cantik!” goda Luna saat aku menghapus riasan wajahku. Aku hanya memutar bola mataku dengan tidak peduli.
“Aku udah bilang ya, kalau kita nggak akan pernah menang. Kenapa juga kalian ngotot banget kalau aku harus maju jadi cover girl? Mustahil banget aku menang, tau nggak?” balasku ketus.
“Udah cantik jangan jutek gitu dong!” goda Luna. Aku meliriknya dengan heran. Kenapa dia terus menggodaku dengan berpura-pura mengatakan aku cantik? Aku sedikit merasa terundung jika dia begitu terus.
Tak lama kemudian, guru pun datang untuk mengambil hasil fotoku. Setelah itu aku dan teman-temanku menunggu di kelas sambil bercanda bersama.
Sejujurnya aku sedikit kepikiran dengan perasaan teman-teman sekelasku. Aku berpikir tentang bagaimana perasaan mereka jika ternyata kelas kami kalah? Semua dukungan dan semangat yang mereka lakukan sia-sia. Dan akulah yang paling bertanggung jawab akan kekalahan itu. Hatiku berdebar dan gelisah menunggu hasilnya.
“Katanya pasti kalah? Kok kamu kaya gelisah gitu berharap bakal menang?” goda Luna sambil melipat kedua tangannya di dada.
Aku mendengus malu mendengar kata-katanya sebelum menjawab, “Aku nggak peduli kok! Lagi mikir kalau aku kalah kalian bakal apain aku lagi nanti?”
Luna pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum penuh arti.
Setelah menunggu beberapa saat, seorang guru pun muncul di pintu kelas sambil melihat ke arahku dari atas kepala sampai ujung kaki. Sebenarnya aku tidak begitu suka ditatap seperti itu. Rasanya seakan seluruh tubuhku sedang dinilai.
“Kelas kalian tidak menang, cover girl yang terpilih adalah Gita dari kelas 12 Mipa 2,” jelas guru itu. Hal itu tetap sukses membuatku kecewa. Aku menundukkan kepalaku. Bahkan tak berani menatap teman-temanku yang kurasa hanya terdiam juga.
“Tapi..,” lanjut guru itu, “Selamat, Anya! kamu terpilih menjadi kandidat favorit dan akan melakukan wawancara lanjutan untuk artikel tentang siswa berbakat.”
Aku kaget, bingung, dan tidak percaya. Guru itu menghampiriku dengan senyumnya dan memelukku singkat.
Aku dapat melihat teman-teman sekelasku tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala mereka, dengan bangga? Mengapa mereka bangga di saat aku kalah? Dan bahkan mereka sepertinya tidak terkejut saat mengetahui aku menjadi kandidat favorit. Hal itu membuatku bertambah bingung.
Teman-temanku mulai menghampiri dan memberikan selamat. Aku hanya menerimanya dengan perasaan yang sedikit bingung, tentu saja aku senang tapi bagaimana bisa? Pasti banyak siswi lain yang lebih pantas.
“Cieee siswa berbakat cieee,” goda salah satu temanku. Dan teman-temanku yang lainnya ikut menimpali.
“Aku masih nggak percaya… kok bisa ya?” tanyaku bingung.
“Ya bisalah! Kamu kan emang berbakat. Kamu jago main alat musik, gitar, biola, bahkan piano juga bisa! Canggih!” balas Luna.
“Prestasi akademikmu juga bagus, Nya. Juara kelas terus,” tambah temanku yang lainnya. Lalu muncul pujian-pujian lainnya tentang diriku.
Sementara itu, aku masih terpaku tidak percaya dengan apa yang terjadi barusan. Tiba-tiba aku baru sadar akan sesuatu. Kutatap Luna yang tersenyum tulus padaku. Dan kuarahkan pandanganku ke seluruh kelasku. Aku dapat melihat teman-temanku saling berlomba menggodaku dan tersenyum padaku.
“Kalian….”
“Ya, kami tahu kamu nggak akan menang. Tapi kami mau kamu lebih menyadari bahwa diri kamu itu cantik dan punya segudang hal berbakat. Jadi jangan selalu merutuk penampilanmu dan mulailah percaya diri!” ujar Luna sambil menepuk pundakku.
“Cantik itu nggak lahir sendirian, Nya. Cantik itu banyak faktornya, baik fisik, mental, pengetahuan, spiritual, bahkan finansial. Dari hal-hal itu, kamu nggak seharusnya mandang kecantikan dari satu sisi aja. Kecantikan secara luas adalah persepsi yang menimbulkan rasa senang. Jadi, kamu cantik Anya,” tambah Luna seraya memelukku singkat.
Aku tertegun mendengar ucapan Luna. Rasanya sangat sedih mengingat betapa jahatnya aku kepada diriku sendiri selama ini. Selalu mengeluh tidak cantik padahal aku punya hal-hal lain yang patut kusyukuri. Mengapa aku selalu menganggap diriku seburuk itu? Bahkan penampilanku tak begitu buruk di mata teman-temanku.
Sejak itu, aku tak lagi mengeluh dengan penampilan fisikku. Aku tidak lagi membanding-bandingkan diriku dengan orang lain lagi. Aku sadar bahwa rasa senang dalam diri sendiri adalah hal yang pertama yang harus diupayakan. Aku memang tidak cantik secara fisik, dan aku sudah menerimanya. Aku tidak butuh validasi agar orang menganggapku cantik. Lagi pula, ini sudah abad 20, siapa yang peduli dengan standar kecantikan?