Hits: 23
Davva Abror Supriadi / Maureen Christy
Pijar, Medan. Di balik aroma gurih dan warna kuning keemasan yang menggugah selera, terselip kuliner khas Banyumas bernama Mendoan. Gorengan ini bisa diolah dengan tahu atau tempe, meski umumnya masyarakat lebih sering mengolah tempe mendoan. Kuliner ini diselimuti adonan tepung berbumbu, lalu digoreng dalam minyak panas. Bagi masyarakat Banyumas, olahan Mendoan bukan sekadar gorengan biasa, melainkan simbol kuliner ikonik yang menjadi bagian dari identitas budaya dan diwariskan turun-temurun.
Berbeda dengan tempe goreng pada umumnya, Mendoan disajikan dalam keadaan setengah matang. Adonannya lembek dan berwarna kuning pucat karena hanya digoreng sebentar. Tekstur luar yang lembut dengan pinggiran sedikit renyah berpadu dengan bagian dalam tempe yang masih hangat dan agak basah, menciptakan sensasi rasa khas yang membedakannya dari gorengan lain. Rasa gurih yang berpadu dengan aroma daun bawang dan ketumbar menjadikan Mendoan nikmat dinikmati kapan saja, baik pagi maupun sore hari.
Nama “mendoan” berasal dari bahasa Banyumasan, di mana “mendo” berarti lembek atau setengah matang. Proses penggorengan yang hanya setengah matang bukanlah kesalahan, melainkan ciri khas yang menjadi identitas Mendoan itu sendiri. Bagi masyarakat Banyumas, Mendoan juga melambangkan keakraban, karena kerap dihidangkan saat keluarga berkumpul atau ketika tamu datang berkunjung.
Dari sisi gizi, Mendoan memiliki kandungan yang cukup lengkap. Protein dari tempe berpadu dengan karbohidrat dari tepung dan lemak dari minyak goreng. Kombinasi ini menjadikan Mendoan tidak hanya lezat, tetapi juga bernilai gizi sebagai camilan tradisional. Meski bukan makanan utama, Mendoan bisa menjadi sumber energi ringan yang mengenyangkan.
Kandungan isoflavon pada tempe juga bermanfaat bagi kesehatan, seperti membantu menjaga kadar kolesterol, menyeimbangkan hormon, dan memperkuat daya tahan tubuh. Karena prosesnya digoreng cepat, kandungan gizinya relatif masih terjaga.
Mendoan paling nikmat disantap saat masih hangat, karena pada saat inilah cita rasanya terasa sempurna terlebih jika dinikmati dengan kecap manis, saus sambal, atau cabai rawit segar. Dari warung pinggir jalan hingga restoran modern, Mendoan selalu punya tempat istimewa di hati penggemarnya. Kini, Mendoan tidak lagi eksklusif milik Banyumas.
Mendoan hadir di berbagai kota dengan beragam variasi. Ada yang dibuat lebih kering, diberi topping, bahkan diolah menjadi menu kekinian di kafe dan coffee shop. Kreasi baru ini membuktikan bahwa mendoan mampu beradaptasi tanpa kehilangan karakter aslinya.
Di tengah derasnya arus modernisasi kuliner, Mendoan menjadi pengingat bahwa cita rasa tradisional tidak pernah lekang oleh waktu. Dalam setiap gigitan Mendoan, tersimpan kehangatan budaya lokal, sejarah panjang, dan rasa kebersamaan yang membuatnya tetap dicintai lintas generasi.
Mendoan adalah bukti bahwa kelezatan tidak selalu datang dari sesuatu yang sempurna matang, melainkan dari keaslian rasa yang dijaga sepenuh hati oleh masyarakat yang mencintainya.
(Redaktur Tulisan: Kelly Kidman Salim)

