Hits: 5

Salsabila Sagala

Di sebuah sudut kota yang jauh dari hiruk pikuk dunia, di antara rumah-rumah kayu yang entah sudah berapa umurnya, ada sebuah toko bunga kecil bernama “Anindya”. Toko itu milik seorang perempuan yang namanya sama, yakni Anindya, yang setiap hari mengisi udara sekitar dengan aroma harum bunga-bunga segar yang diurusnya dengan penuh cinta.

Anindya adalah perempuan berusia 27 tahun dengan rambut hitam yang selalu ia jepit rapi. Wajahnya sederhana penuh dengan senyuman tulus dan matanya memancarkan ketenangan yang rasanya membuat satu dunia ingin terjebak di dalam selamanya. Ia tidak pernah terburu-buru. Hidupnya seakan-akan mengikuti irama alunan musik dari angin yang berbisik di antara kelopak bunga yang tergantung di toko kecilnya.

Setiap pagi, Anindya membuka jendela tokonya dengan semangat, membiarkan cahaya matahari pagi masuk dan memberi kehangatan pada bunga-bunga yang ia susun dengan rapi. Setiap harinya banyak orang yang berlalu lalang dan singgah untuk membeli berbagai macam bunga yang ia miliki. Sering kali pelanggan yang datang tidak hanya sekadar membeli bunga, tetapi mereka datang dengan cerita yang mereka miliki, beberapa penuh kebahagiaan, yang lain dipenuhi kesedihan.

Anindya tidak pernah terburu-buru, sama seperti matanya yang memiliki ketenangan, dirinya selalu punya waktu untuk mendengarkan segala cerita dengan ketulusan yang ia miliki.

Suatu siang, seorang gadis muda bernama Raya datang ke toko dengan wajah murung. Ia tampak ragu memilih bunga-bunga yang berjejer di barisan dan menatapnya dengan tatapan sedih.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Anindya dengan lembut, dirinya melihat kesedihan yang tergambar jelas di wajah Raya.

Raya sedikit terkejut, lalu mengangguk pelan. “Saya ingin membeli bunga, tapi tidak tahu harus memilih yang mana,” jawabnya dengan suara yang halus hampir tidak terdengar.

Anindya menunggu ucapan Raya yang masih tertahan olehnya. “Saya baru saja kehilangan ibu saya. Usia saya masih cukup muda, rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidup saya,” Raya menundukkan kepalanya, kini suaranya bergetar.

Anindya tersenyum hangat, menepuk pelan berkali-kali pundak Raya berusaha menguatkan gadis muda ini. “Kepergian orang yang kita cintai memang pastinya membuat hati kita terasa kosong, dunia pun serasa ingin runtuh.”

Anindya mengambil setangkai mawar putih dan memberikannya kepada Raya. “Mawar putih ini melambangkan ketulusan dan kedamaian. Terkadang, kita butuh sedikit kedamaian untuk menyembuhkan hati yang terluka. Setiap bunga memiliki arti dan kenangannya sendiri, bagaikan bunga pula, meskipun sesuatu berakhir, selalu ada sesuatu yang tumbuh kembali dan mekar kembali walau dalam bentuk yang berbeda,” Anindya menjawab dengan lembut.

Raya menatap Anindya dengan berkaca-kaca, dirinya mengangguk pelan. “Terima kasih, kata-kata yang sangat hangat dan cukup menenangkan saya,” ucapnya pelan.

Raya membeli bunga yang diberikan Anindya tadi dan tersenyum tipis. Sebelum ia pergi, ia menoleh lagi ke Anindya. “Terima kasih, semoga bunga-bunga yang bermekaran di sini dapat memberikan kebahagiaan bagi orang-orang yang melihatnya. Saya akan selalu mengingat hari ini, semoga kamu bahagia selalu.”

Anindya tersenyum melambaikan tangannya, hari ini dirinya belajar, hal sekecil apa pun yang ia lakukan, selagi itu berniat baik, tanpa sangka memberikan dampak yang luar biasa bagi mereka yang membutuhkan. Bagi Anindya, toko bunga ini tidak hanya sebagai mata pencahariannya saja, tetapi dirinya bertekad untuk menjadikan toko bunga ini menjadi harapan dan itu sudah cukup untuk membuat hidupnya berarti.

Leave a comment