Hits: 17

Shafna Jonanda Soefit Pane

Bagian I

“Antrian dua puluh tiga!”

Itu nomor antrian milikku. Dengan segera aku berdiri, berjalan menuju loket pengambilan makanan. Seorang laki-laki dengan apron melekat pada tubuhnya, menyodorkan pesananku–lengkap dengan senyum di wajahnya.

“Es krimnya enak banget ya, Kak? Kayanya kakak kemarin mesan ini juga.”

Ah, dia ingat rupanya. Aku tersenyum kecil. “Biasa aja, sih. Haha.”

“Kirain karena enak banget, Kak,” ia kembali tersenyum, kali ini disertai tawa di akhir kalimatnya. “Selamat menikmati, ya!”

Terima kasih aku ucapkan padanya—dengan sejuta makna di balik satu kalimat sederhana ini; terima kasih karena selalu ramah padaku, dan terima kasih untuk tidak bertanya lebih lanjut mengenai alasanku memesan menu yang sama setiap datang kemari.

Aku kembali ke bangku, kemudian mengeluarkan laptop dari tas dan mulai mengerjakan pekerjaanku. Sesekali, aku mengalihkan perhatian dari layar, demi menyuapkan es krim tersebut ke mulut. Beberapa kali pula aku berhenti mengetik untuk sekedar menghela nafas atau memandangi sekitar.

Es krim yang disajikan toko ini sebenarnya biasa saja. Tidak banyak orang yang menjadikan tempat ini sebagai rumah kedua mereka–kebanyakan hanya singgah atau datang sekali, dan tidak pernah kembali lagi. Terbukti, wajah yang datang ke toko ini selalu berbeda, selalu wajah-wajah baru. Bukan yang hari ini datang, besok datang lagi. Tidak, selalu berbeda setiap harinya. Sepertinya toko kecil ini tidak menjadi pilihan orang-orang untuk hadir sekali lagi.

Aku tidak asal menilai, kok. Memang begitu kenyataannya. Karena, hanya aku satu-satunya pelanggan yang hadir ke sini setiap harinya. Benar-benar setiap hari. Aku tidak pernah absen datang. Hampir setiap sudut sudah pernah aku rasakan, dan hal ini sudah terjadi selama hampir lima belas tahun lamanya.

Bahkan toko ini sudah tiga kali rebranding, meski tetap dengan menu utama yang sama, yakni es krim. Aku seperti mengikuti tumbuh kembangnya selama ini. Sangat wajar jika pelayan di toko ini penasaran dengan alasan kehadiranku di setiap harinya. Beruntung saja, belum ada yang bertanya. Aku juga malas menjawabnya.

Tapi, hari ini, sepertinya aku ingin menjawab rasa penasaran mereka. Aku tidak mau membicarakannya secara langsung, terkesan oversharing sekali. Jadi, ku putuskan untuk menulis cerita ini.

Dimulai ketika aku masih berumur lima tahun, dan toko es krim ini masih berbentuk sederhana. Kedai es krim yang tidak pernah ramai, dengan kayu-kayu sebagai penyanggahnya agar tetap kokoh. Cita rasanya tidak khas, benar-benar biasa aja. Kalian bisa temukan rasa serupa di toko-toko lainnya, kok. Benar-benar tidak ada yang spesial sama sekali. Penjualnya juga biasa saja. Ramah, murah senyum. Seperti penjual pada umumnya juga.

Sekali lagi, tidak ada yang spesial sebenarnya.

“Terus, kalau nggak spesial, apa?”

“…”

“INI LANJUTANNYA MANA?!”

Leave a comment