Hits: 20

Anastasia Yolanda / Farah Asy-Syifa

Pijar, Medan. Fakta umum negara Indonesia yang diketahui oleh seluruh dunia yaitu, kekayaan budaya Indonesia yang melimpah ruah dan tersebar di tiap daerahnya. Bukan hanya budaya soal makanan, tarian, dan tempat wisata yang dimiliki oleh Indonesia, tetapi juga terdapat budaya mengenai olahraga.

Salah satu budaya olahraga yang dimiliki oleh Indonesia adalah sumpitan. Sumpitan merupakan olahraga tradisional yang berasal dari suku Dayak, yang berada di daerah Kalimantan Selatan. Mudah untuk menemukan olahraga lain dengan jenis menembak seperti ini, contohnya adalah olahraga panahan. Keduanya sama-sama memerlukan keterampilan dalam membidik sasaran dan menembaknya secara tepat untuk mendapatkan poin.

Meski terlihat mirip, panahan dan sumpitan memiliki perbedaan dalam cara penggunaan serta faktor keberhasilannya. Seorang pemanah harus menggunakan lengan ototnya untuk menarik tali busur, lalu melepasnya secara akurat dengan tetap mengontrol pernapasan. Sedangkan sumpitan lebih mengandalkan kekuatan pernapasan seseorang, yang mampu membidik dengan tepat.

Awalnya, sumpitan digunakan sebagai senjata oleh para pendekar Dayak untuk berburu dan bertarung. Senjata ini pernah dianggap senjata mematikan karena tidak menimbulkan suara ketika peluru ditujukan kepada lawan. Terlebih lagi karena mereka mengoleskan racun, yang mengandung getah dari pohon beracun dan liur bisa dari ular kobra cokelat maupun hitam. Racun yang sudah siap pakai harus dibungkus oleh daun tertentu, untuk menghindari kerusakan terhadap lingkungan sekitar.

Alat-alat yang digunakan dalam sumpitan adalah galah yang terbuat dari kayu besi (kayu ulin), dengan panjang 1,5 meter sampai 2 meter dan diameter galah sekitar 2,5 cm. Lalu, akan dibuat sebuah lubang di tengah galah untuk nantinya menjadi tempat meletakkan anak sumpit ke dalamnya. Anak sumpit atau bisa disebut damek, terbuat dari kayu ulin kering, pelepah enau, dan bambu dengan panjang 20—30 cm.

Terdapat juga wadah untuk anak sumpit atau selooq yang dibuat dari bambu jenis khusus bernama lutuq. Wadah ini dipakaikan pengait yang terbuat dari cabang kayu atau potongan kayu yang dibentuk seperti kaitan. Hal ini untuk memudahkan pengguna dalam membawa wadah, hanya dengan disangkutkan pada belitan cawat pemburu sementara sumpit diletakkan pada bahu.

Seiring berjalannya waktu, sumpitan tak lagi digunakan sebagai alat pertempuran. Hingga saat ini meskipun sumpitan tetap ada, tetapi terjadi perubahan cara penggunaannya pada masyarakat sekarang. Jika sumpitan untuk senjata menggunakan kayu besi sebagai bahannya, sumpitan saat ini menggunakan bambu yang lebih ringan.

Anak sumpit atau damek juga mengalami perubahan dalam bahannya, dari awalnya menggunakan kayu menjadi menggunakan tanah liat yang tidak berbahaya dan tidak beracun. Alasannya, karena sekarang anak-anak juga menggunakan sumpitan ini untuk bermain bersama teman-temannya. Maka dari itu, mereka mencari alternatif bahan lain yang mudah didapatkan di lingkungan sekitar.

Sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaan sumpitan ini, diadakan festival ataupun perlombaan yang mengikutsertakan sumpitan dalam acara tersebut. Salah satu perlombaannya yaitu Pekan Olahraga Tradisional Tingkat Nasional (Potradnas) oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) setiap tahunnya. Pada Potradnas di tahun 2023, Kemenpora memasukkan sumpitan sebagai salah satu perlombaan bersama dengan hadang, egrang, terompah panjang, dan gasing.

“Olahraga tradisional bisa menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan kebugaran jasmani, sekaligus diharapkan pada suatu saat dari olahraga tradisional bisa menjadi prestasi,” ujar Dito, Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia.

Sebagai masyarakat, kita juga diharapkan aktif untuk melestarikan kebudayaan daerah masing-masing. Tidak perlu kontribusi besar-besaran, tetapi cukup dengan memperkenalkan budaya daerah asal kepada orang lain, sudah memberikan pengaruh yang berarti atas pelestarian kebudayaan kita di Indonesia.

(Redaktur Tulisan: Hana Anggie)

Leave a comment