Hits: 46
Elisabeth Steffany Kesara Sianipar/ Muhammad Afif Ramadhan
Pijar, Medan. Akhir-akhir ini, dunia sepak bola Indonesia sedang disorot tidak hanya oleh masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat dunia. Sayangnya, kali ini yang menjadi sorotan bukanlah sebuah prestasi, melainkan kabar duka.
Meninggalnya ratusan suporter dalam kerusuhan laga Arema FC vs. Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, pada Sabtu (1/10/22) menjadi kabar terhangat pada awal Oktober tahun ini. Hal ini diduga akibat adanya tembakan gas air mata yang terjadi sebanyak 11 kali. Hal tersebut dilakukan guna meredakan kerusuhan suporter yang terjadi setelah pertandingan usai.
Terkait adanya penembakan gas air mata tersebut, FIFA sendiri selaku induk sepak bola dunia melarang adanya penggunaan gas air mata di dalam stadion. Peraturan tersebut tertulis dalam pedoman FIFA Stadium Safety and Security Regulation pasal 19 poin B yaitu ‘No firearms or ‘crowd control gas’ shall be carried or used”, yang artinya bahwa senjata api atau gas untuk mengontrol kerumunan dilarang dibawa serta digunakan.
Di Indonesia sendiri, izin penggunaan gas air mata di atur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian Gas air mata diatur dalam Pasal 5 Bab II tentang Penggunaan Kekuatan. Dalam pasal tersebut dijelaskan perizinan penggunaan gas air mata dapat dilakukan apabila sudah terjadi kerusuhan pada tahap ke-5.
Perlu diketahui bahwa tragedi serupa juga sudah pernah terjadi sebelumnya, tepatnya saat pertandingan Persebaya 1927 melawan Persija Jakarta pada kompetisi lanjutan Liga Prima Indonesia, 3 Juni 2012 di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT), Jawa Timur, yang mengakibatkan seorang suporter tewas.
Tak hanya di Indonesia, beberapa negara lainnya juga pernah melakukan penembakan gas air mata ketika terjadi kerusuhan sepak bola. Setidaknya terdapat 10 tragedi kerusuhan sepak bola yang paling mematikan dalam sejarah. Kanjuruhan menempati posisi kedua setelah tragedi terparah terjadi di Estadio National, Lima, Peru, dengan korban tewas sebanyak 328 jiwa, sementara di posisi ketiga ditempati oleh tragedi yang terjadi di Accra Stadium, Ghana, dengan korban tewas sebanyak 126 jiwa.
Adanya kasus ini tentunya mendapat respons cepat dari Presiden Joko Widodo untuk segera turun tangan dalam menghubungi FIFA secara langsung. Hal tersebut pada akhirnya membuat sepak bola Indonesia tidak mendapatkan sanksi dari FIFA.
“Saya telah menerima surat dari FIFA. Ini adalah tindak lanjut dari hasil pembicaraan saya, bertelepon dengan Presiden FIFA Gianni Infantino pada tanggal 3 Oktober 2022 yang lalu. Berdasarkan surat tersebut, Alhamdulillah, sepak bola Indonesia tidak dikenakan sanksi oleh FIFA, dan FIFA bersama-sama dengan pemerintah akan membentuk tim transformasi sepak bola Indonesia,” jelas Presiden RI, dikutip dari Kompas.com.
Untuk menghindari tragedi Kanjuruhan terulang kembali, presiden melakukan evaluasi kelayakan bangunan stadion Kanjuruhan. Ia menilai bahwa stadion tersebut belum memenuhi standar kelayakan FIFA. Oleh karena itu, stadion Kanjuruhan akan diruntuhkan dan dibangun kembali dengan mengikuti standar kelayakan FIFA dalam waktu dekat. Pemerintah dengan FIFA akan bekerja sama untuk memastikan kemajuan sepak bola Indonesia yang saat ini sedang disorot masyarakat Indonesia maupun dunia.
Selain dari peran penting pemerintah dan lembaga yang berwenang, kesadaran para pemain dan suporter untuk dapat sama-sama menjaga kekondusifan selama pertandingan berlangsung juga diperlukan guna menghindari hal yang tidak diinginkan. Nah, kalau pertandingan dapat berjalan dengan baik sampai akhir, maka baik pemain maupun suporter dapat sama-sama memiliki memori yang indah untuk diingat bukan?
(Redaktur Tulisan: Laura Nadapdap)