Hits: 23
Shafna Jonanda Soefit Pane
Aku mematut diriku di depan cermin, memperhatikan kembali hasil riasan tangan dari seorang make up artist terkenal yang sudah lama bekerja untuk merias wajahku. Aku tersenyum puas, merasa berkali lipat lebih percaya diri dari sebelumnya. Wajahku tampak begitu cantik rasanya, membuat semangatku semakin bergejolak dan aku sangat siap untuk tampil malam ini.
“Sepuluh menit lagi, bersiap!”
Aku berjalan cepat menuju belakang panggung, berdiri di balik tirai hingga menunggu arahan selanjutnya. Suara teriakan yang begitu memekakkan telinga terdengar. Mereka tengah menyerukan namaku, membuat suara itu terasa melegakan di telingaku. Aku memperbaiki posisi mikrofonku, memastikannya menyala dengan baik dan memberi kode pada beberapa staf yang ada di sana. Setelah semuanya terasa aman, aku mulai berjalan keluar sesuai arahan.
Teriakan tadi semakin terdengar kencang di telinga—menembus in ear-ku. Aku tersenyum dan mulai berteriak untuk membakar semangat para penggemar. Suara mereka memanggil namaku semakin keras, diiringi dengan ikut bernyanyinya mereka bersamaku. Menyanyikan laguku bersama-sama dengan penuh semangat, mengangkat ponsel mereka untuk merekamku sepanjang aku bernyanyi di atas panggung, tersenyum dan bahkan ada yang menangis karena berhasil melihatku.
Aku terus bernyanyi, melantunkan lirik demi lirik hingga lagu selesai. Mataku menyapu pada seluruh penggemar yang ada di dalam venue konser tunggal perdanaku. Ada banyak sekali manusia di sini. Ada banyak pula spanduk penyemangat yang mereka buat untukku. Apakah mereka semua sungguh menyukaiku? Apakah mereka semua sungguh menyukai lagu-lagu dan karyaku? Apakah mereka semua sungguh datang ke sini entah darimana saja hanya untuk melihatku bernyanyi di sini, di atas panggung ini?
Apakah ini sungguhan?
“Terima kasih sudah hadir! Hati-hati di jalan semuanya! Sampai jumpa di kesempatan berikutnya!”
Perjalanan pulang terasa menyenangkan. Hatiku terasa ringan. Aku memainkan ponselku sembari melihat beberapa rekaman yang sudah dibagikan penggemarku. Ada pula banyak pesan menyentuh yang mereka kirimkan melalui pesan, mengatakan bahwa mereka sangat senang bisa bertemu denganku dan puas dengan penampilanku. Banyak pula orang yang mendoakan kesuksesan karirku ke depannya.
Aku tersenyum bahagia, diam-diam mengaminkan doa-doa yang mereka tulis untukku. Senyumku tidak luntur sedikitpun, hingga seseorang yang kini duduk di sebelahku dengan mata lurus ke depan dan kedua tangan menggenggam setir, mengalihkan perhatianku.
“Kamu senang?” tanyanya.
Pertanyaan retoris, batinku. “Ya, tentu. Aku tidak pernah menyangka akan ada di titik ini. Aku sangat bersyukur memiliki penggemar yang dengan setia mendukungku dan selalu mendoakan yang terbaik untuk karirku. Tentu saja, aku merasa senang dan pastinya bersyukur. Sangat bersyukur.”
Orang itu tersenyum, kemudian melanjutkan, “Aku juga senang, melihatmu dengan percaya diri tampil di atas panggung, bernyanyi di hadapan banyak sekali penggemarmu, dan bagaimana kamu tampil tanpa kesalahan bahkan hampir sempurna membuatku tambah senang dan bangga.”
Aku tersenyum. “Terima kasih karena selalu ada, mendukungku dan bahkan bangga padaku. Kamu benar-benar menemani perjalananku dari dulu hingga sekarang.”
“Terima kasih juga karena kamu memilih bertahan dan melanjutkan mimpimu,” ia kemudian tersenyum lagi. “Aku lebih bangga dengan hal itu, aku lebih bangga karena kamu memilih bertahan dan tidak menyerah atas masa depanmu. Aku saksi dari segala jatuh bangunmu, dan melihatmu kini semakin sukses, aku jadi terharu dan ingin menangis rasanya. Terima kasih karena kamu tidak pernah benar-benar mengakhiri segala perjalanan hidupmu. Terima kasih karena mau menjadikanku teman ceritamu sehingga aku tau apa saja yang kamu rasakan sehingga aku bisa mencegah hal-hal buruk terjadi padamu.”
Tanpa sadar, setitik air mata turun dari pipiku. Aku menangis dalam diam, tanpa suara. Air mataku terus jatuh tanpa ku minta, tanpa pula aku terisak. Aku sendiri tidak tahu air mata ini mewakili apa; perasaan senangku, kah? Atau justru sedihku karena mendengar ucapannya tadi?
“Kalau hari itu kamu memilih memendam semuanya sendiri, lari sendiri, dan kemudian menyerah atas segala harapanmu sendiri, aku tidak tahu hari ini akan jadi seperti apa,” ia masih melanjutkan ucapannya. Namun kini, demi keselamatan kami tentunya, ia memberhentikan mobilnya di pinggir jalan. “Jika saja hari itu aku terlambat menyelamatkanmu, terlambat menyadari pesan-pesan darimu, mungkin aku tidak akan duduk di sampingmu setelah kamu menyelesaikan konser tunggal perdanamu.”
“…”
“Dan mungkin, jika aku terlambat hari itu, aku tidak akan berada di sini. Aku mungkin akan ada di pemakaman sepi setiap hari dan menangisi kepergianmu.”
“…kamu—”
“Jangan pernah berpikir untuk menyerah lagi, ya?” ia mengucapkannya dengan sungguh-sungguh, aku bisa merasakannya. Aku bisa melihat harapan dari kedua matanya.
“Ayo, berjuang terus. Aku akan selalu di sini, di tempat ini, bersama kamu. Menggenggam tangan kamu, membantu kamu, mendukung kamu. Semuanya akan aku lakukan bersama kamu.”
“…”
“Kamu harus bertahan hingga Tuhan sendiri yang nantinya memanggil kamu untuk pulang..”
Orang itu menarikku dalam peluk. Erat, kelewat erat hingga rasanya aku hampir habis nafas. Kelewat erat hingga rasanya tanpa berbicara, aku tau apa yang akan ia sampaikan. Aku membalas peluknya, tidak seerat itu. Namun, aku berharap pesan itu dapat sampai kepadanya tanpa perlu aku ucapkan.
“Terima kasih. Aku akan mencoba, aku akan bertahan. Aku akan berjuang, aku akan berusaha. Asalkan kamu sama aku terus, ya? Jangan tinggalkan aku yang sedang berjuang ini..”
Ia mengangguk, aku dapat merasakannya. Aku tersenyum lagi, dan melanjutkan,
“Jika hari itu tiba—hari di mana Tuhan akhirnya ingin aku pulang pada-Nya, tolong jangan tangisi aku terlalu lama, ya? Jangan sedih berlarut karenaku juga. Kamu harus melanjutkan hidupmu dengan penuh bahagia meski aku tidak di sini,” ucapku pelan. “Janji, ya?”