Hits: 31
Indra Rana Zafira Silaban / Syah Hendra Mahadi
Pijar, Medan. Film Dua Hati Biru, yang dirilis pada tahun 2024, telah ditonton lebih dari 263 ribu orang sejak hari pertama penayangannya, menjadikannya salah satu film paling laris di tahun tersebut. Disutradarai oleh Gina S. Noer dan Dinna Jasanti, film ini dibintangi oleh Angga Yunanda, Aisha Nurra Datau, dan Farrell Rafisqy.
Dua Hati Biru merupakan kelanjutan dari Dua Garis Biru, yang mengisahkan kehidupan Bima (Angga Yunanda) dan Dara (Aisha Nurra Datau) setelah kelahiran anak mereka, Adam (Farrell Rafisqy).
Kisah bermula ketika Dara memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Korea Selatan selama empat tahun, sementara Adam dirawat oleh Bima dan keluarganya di rumah orang tua Bima. Selama kepergian Dara, Adam hanya bisa merasakan kasih sayang ibunya melalui video call, yang tak selalu bisa dilakukan setiap waktu.
Disamping itu, Bima yang menjadi seorang ayah tunggal, bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah pusat perbelanjaan.
Kisah ini mengajak penonton untuk melihat dampak dari pernikahan dini, yang mana hubungan bebas di masa remaja memaksa Bima dan Dara menikah sebelum mencapai usia yang matang. Di Indonesia sendiri pernikahan dini seperti Bima dan Dara masih marak terjadi.
Berdasarkan data kompas.id, rata-rata kasus perkawinan anak secara nasional mencapai 8,64% pada periode 2020-2023. Penyebab utamanya termasuk pergaulan bebas dan perjodohan.
Pernikahan dini memengaruhi pola asuh anak, terutama jika orang tua belum siap secara fisik, mental, dan finansial. Dalam film ini, terlihat bagaimana Adam mengalami kesulitan mengendalikan emosi karena kurangnya kasih sayang langsung dari ibunya.
Dara yang sibuk dengan pendidikannya membuat Adam merasa diabaikan, hingga Dara harus berkonsultasi dengan psikolog. Konflik rumah tangga terkait ekonomi dan ego yang masih tinggi antara Bima dan Dara juga menjadi salah satu faktor yang mengganggu perkembangan Adam.
Pertengkaran di depan anak serta didikan keras Dara terhadap Adam menunjukkan dampak negatif dari kurangnya kesiapan dalam menjalani pernikahan dan menjadi orang tua. Keegoisan dan kelalaian sering kali menjadi akar permasalahan.
Film ini menggugah penonton untuk mempertimbangkan pentingnya kesiapan sebelum memasuki pernikahan, terutama bagi mereka yang masih berusia muda. Kesiapan ini yang sering kali terabaikan pada usia tersebut.
Remaja diharapkan dapat lebih berhati-hati dan bijak dalam mengambil keputusan besar seperti menikah. Pernikahan dini bukan hanya memengaruhi masa depan mereka, tetapi juga berdampak pada anak-anak yang lahir dari hubungan tersebut.
Penempatan emosi yang tepat dan alur cerita yang padat berhasil membawa penonton larut dalam kisah yang ditampilkan. Setiap konflik dan dinamika keluarga yang dihadirkan terasa sangat nyata, membuat penonton merasakan beratnya beban yang harus ditanggung Adam. Ia hidup dalam rumah yang penuh kasih sayang, sekaligus diwarnai dengan ketegangan dan kesalahan pola asuh yang tak terhindarkan.
Penonton diharapkan dapat meresapi pesan ini dan belajar untuk lebih sadar akan tanggung jawab yang diemban ketika memutuskan untuk menikah dan memiliki anak. Remaja perlu lebih waspada terhadap dampak jangka panjang dari keputusan yang diambil tergesa-gesa. Jangan sampai keputusan yang salah melahirkan korban tak bersalah, seperti anak yang datang di waktu yang belum tepat. Lebih baik mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum berkeluarga, daripada menyesali keputusan yang diambil di masa lalu.
(Redaktur Tulisan: Marcheline Darmawan)