Hits: 44

Bullying merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kompleks dan meluas yang memengaruhi anak-anak dari segala usia dan orang dewasa. Bullying saat ini dipahami sebagai fenomena sosial dan budaya yang terkait dengan konsekuensi fisik dan psikologis jangka  panjang yang serius bagi para pengganggu, korban, dan mereka yang berosilasi di antara kedua peran (korban dan pengganggu).

Bullying merupakan perilaku agresif yang disengaja untuk menyebabkan ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Perilaku ini menekankan pada faktor motivasional dari pelaku bullying dan memberikan gambaran terhadap tujuan di balik perilaku mereka.

Bentuk bullying berubah sejalan dengan usia: bullying di taman bermain (playgound bullying), kekerasan seksual, penyerangan secara berkelompok, dating violence, marital violence, child abuse, kekerasan di tempat kerja, dan berbagai jenis kekerasan lain.

Bullying termasuk bullying secara fisik (misalnya: memukul, menendang), bullying verbal (misalnya: olok-olok, ancaman), manuver psikologis (misalnya: rumor, pengucilan), segala jenis perilaku yang membahayakan atau mengganggu, yang mana perilaku tersebut berulang dalam waktu yang berbeda, dan terdapat kekuatan yang tidak seimbang (orang/kelompok yang lebih berkuasa menyerang orang atau kelompok yang kurang memiliki kekuasaan) (Pepler dan Craig, 1997, dalam Maliki, dkk, 2009).

Sebagian anak menjadi target bullying karena berasal dari latar belakang etnik, keyakinan, ataupun budaya yang berbeda dari kebanyakan anak di lingkungan tersebut. Sebagian anak yang lain juga menjadi target dikarenakan mereka memiliki kemampuan atau bakat istimewa. Ada pula anak- anak yang menjadi korban bullying karena mereka memiliki keterbatasan kemampuan tertentu, misalnya mengalami kesulitan membaca atau kesulitan berhitung.

Hal-hal tersebut merupakan karakteristik khas korban bullying yang bersifat eksternal. Selain karakteristik eksternal tersebut, ada jenis karakteristik internal yang khas dari korban bullying yang seringkali justru menjadikan mereka sebagai korban berkepanjangan dari bullying.

Anak dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Dalam pasal 54 jo pasal 9 ayat (1a) dituliskan bahwa: “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.”

Pasal 9 ayat (1a): “Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lainnya”. Perlindungan bagi anak di lingkungan pendidikan merupakan tanggung jawab dari guru, staf pendidik, pemerintah dan masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun   2014 Pasal 54 ayat (2) yaitu “Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat”.

Sarana hukum pidana melalui sistem Peradilan Pidana termasuk Peradilan Pidana Anak, bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara anak sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), menyebutkan “Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana”.

Untuk mengajukan seorang anak ke depan sidang pengadilan, terdapat batasan umur layak tidaknya anak tersebut diajukan di depan persidangan. Secara eksplisit dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 1 butir 1 yaitu “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”; dan Pasal 4 ayat (1) yaitu “Batas umur anak nakal yang dapat  diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”.

Kedua pasal tersebut menunjukkan bahwa yang disebut sebagai anak yang dapat dibawa ke sidang anak hanyalah anak yang berumur antara 8-18 tahun dan belum pernah kawin. Terhadap anak yang walaupun belum mencapai 18 tahun tetapi telah menikah, secara a contrario tidak dapat diajukan ke sidang anak, tetapi ke sidang orang dewasa berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Batas umur 8 tahun bagi anak nakal untuk diajukan ke persidangan anak didasarkan atas pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis. Yang pada dasarnya anak yang belum berusia 8 tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya (penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pengadilan Anak).

Sehubungan dengan sanksi yang dapat diberikan terhadap anak nakal telah diatur dalam Undang-Undang  Pengadilan Anak yang secara garis besar, sanksi yang dapat dijatuhkan bagi anak yang telah melakukan kenakalan terdiri dari dua yaitu: sanksi pidana dan sanksi tindakan.

Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.

Sanksi bagi anak nakal yang berupa sanksi pidana terdiri atas pidana   pokok dan pidana tambahan. Untuk pidana pokok, terdapat empat macam sebagaimana yang ditetapkan dalam pasal 23 ayat (2), yaitu:

1) Pidana penjara;

2) Pidana kurungan;

3) Pidana denda;

4) Pidana pengawasan.

Sedangkan mengenai pidana tambahan berdasarkan pasal 23 ayat (2) ada dua, yakni:

1) Perampasan barang-barang tertentu;

2) Pembayaran ganti rugi.

Jenis sanksi hukuman yang kedua bagi anak nakal adalah berupa  tindakan. Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Anak, sanksi tersebut ada tiga macam, yaitu:

  • Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;
  • Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan pembinaan, dan latihan kerja;
  • Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan pembinaan dan latihan kerja.

Penjatuhan sanksi hukum berupa tindakan tersebut dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim (Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997). Yang dimaksud dengan teguran adalah peringatan dari hakim, baik secara langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan. Sedangkan untuk syarat tambahan dapat berupa kewajiban untuk melapor secara periodik kepada Pembimbing Kemasyarakatan.

Pristina Sari Ananda Tarigan, S.H

Leave a comment