Hits: 23
Muhammad Fikri Haikal Saragih
Tahun 2020 adalah proses awal bumi bebas bernapas setelah sekian lama menghirup deburan asap, uap, dan polusi yang selalu menjadi agresi bagi bumi. Alam kembali lestari sesaat aktivitas manusia terhenti dan langit kembali biru seakan memulai awal baru. Manusia takut, gelisah, dan gerah selama pandemi menyerang seluruh daerah. Dan aku, aku pun juga begitu.
Sabtu/4 April 2020, 09.00 WIB
“Dio, tolong belikan ibu kecap ya. Jangan lupa pakai masker kalau mau keluar rumah ya!” ucap ibu kepadaku.
“Iya bu, ini di pake kok maskernya,” jawabku.
“Dio pergi ya bu,” ucapku sambil menutup pintu pagar.
Aku keluar untuk pertama kalinya setelah sekian lama kabar pademi muncul di kota. Aku merasakan hangatnya matahari yang bersinar terik sembari menilik langit cerah bergerak dengan pasif. Aku melihat burung terbang melintas di hadapanku dan menghirup wanginya bunga di sepanjang jalan kota. Suasana kota terasa amat sepi dan sunyi tetapi terasa segar dan asri. Aku tak tahu apakah ini cara bumi pulih dari akibat overpopulasi umat manusia. Tapi yang pasti, banyak orang yang akan meninggal akibat makhluk kecil yang cukup berbahaya bernama Covid-19 ini.
“Hai Rif, mau ke mana?” tanyaku sambil mendekatinya.
“Ini disuruh mama beli garam,” jawab Rifa.
“Oh, satu arah dong. Bareng aja,” ajakku.
“Boleh. Tapi harus jaga jarak ya,” kata Rifa.
“Iya juga, aku lupa hehe,” jawabku terkaget.
Aku sontak tersadar kalau harus menjaga jarak dengan orang lain. Sepanjang jalan kami mengobrol dan membahas mengenai pandemi yang sudah masuk ke kota. Sembari mengobrol, aku merasa aneh karena tidak terbiasa jalan dan berbicara dengan orang lain dengan jarak yang lebar seperti ini. Tapi mau tidak mau harus kami lakukan sampai tiba di tujuan.
“Aku hanya beli garam, kamu beli apa?” tanya Rifa kepadaku.
“Kalau aku beli ini aja,” jawabku sambil mengambil kecap di rak.
Setelah mengambil barang yang ingin dibeli, kami membayar di kasir. Kebetulan uangku pas, sedangkan uang Rifa cukup besar dan butuh kembalian. Jadi aku keluar terlebih dulu dan menunggu di luar toko untuk pulang bersama lagi.
“Ayo pulang!” ajak Rifa sambil memasukkan uang kembalian ke dalam saku celananya.
“Oke, yuk,” responku.
Sampai di persimpangan, aku dan Rifa berpisah karena dia sampai terlebih dulu. Sesampai di rumah aku menuju keran air di samping rumah dan segera menghentikan langkahku tepat di halaman rumah dan membuang masker yang sedang ku kenakan lalu mencuci tangan dan kaki. Aku membersihkan setiap ujung jari dengan sangat teliti. Kemudian aku pun masuk rumah dan menyerahkan barang yang sudah ku beli.
“Makasih ya. Oiya udah cuci tangan?” tanya Ibu memastikan.
“Udah di luar tadi, Bu,” jawabku.
Setelah menyerahkan barang belanja, aku langsung menuju kamar dan belajar. Awalnya bahagia libur panjang sampai-sampai tak terhingga senangnya. Namun sepanjang hari di rumah seperti harapan semua orang yang suka libur panjang, bukan berarti tidak membosankan sama sekali. Setiap hari yang ku jalani tidak jauh dari tempat tidur, kamar mandi, dapur, dan televisi. Namun, meski di rumah terus, angin malam pun terasa dingin menyegarkan. Demikian juga dengan luasnya hamparan langit malam yang begitu cantik dihiasi dengan bulan dan bintang yang berkilau terang. Terbilang langka melihat pemandangan yang begitu menakjubkan dan keren seperti ini tanpa terhalang asap-asap motor, mobil, dan pabrik yang menutupi langit malam.
Jumat/24 April 2020, 07.30 WIB
Pagi hari yang sepi seperti biasanya. Pagi ini hujan gerimis mengawali hari dengan membasahi tanaman di halaman rumah. Pepohonan yang rindang bergoyang terkena terpaan angin dan air hujan. Langit masih tampak sedikit mendung namun sudah mulai sedikit cerah. Tapi bagiku baik itu hujan ataupun tidak akan sama saja, akan tetap di rumah.
“Krrr…,” suara keroncongan perutku yang lapar.
Tapi aku ingat, kalau hari ini puasa. Ini adalah puasa pertama di tengah pandemi yang melanda. Tak jauh beda rasanya seperti puasa di tahun-tahun sebelumnya, hanya saja balik lagi ke masalah utamanya yaitu terus di rumah dan tetap di rumah. Ya mungkin memang ada baiknya juga puasa tanpa ke mana-mana. Sekolah pun hanya melalui aplikasi meeting, ya setidaknya aku tetap berusaha untuk belajar dengan tekun meskipun hanya huruf alfabet saja yang kuingat.
Siangnya aku keluar rumah karena di suruh ibu membeli sesuatu. Teringat belakangan ini Rifa tidak pernah mengikuti pembelajaran daring lagi. Jadi aku memutuskan untuk datang ke rumahnya. Tapi aku tidak bertemu dengan Rifa. Ketika aku kembali pun aku tak melihat seorang pun di rumahnya. Dan pada saat aku memutuskan untuk pergi dari rumahnya, ada yang menyapaku.
“Halo, Dio. Lagi nyari apa?” tanya bibi tetangga Rifa.
“Hai, Bi. Saya mau nanya, Rifa ada di rumah gak?” tanyaku penasaran.
“Loh kamu ga tau kabarnya ya?” tanya bibi lagi.
“Emangnya kenapa ya bi?” tanyaku khawatir.
“Hmm… itu. Rifa terkena Covid hari Sabtu tiga minggu lalu. Dan dia meninggal beberapa hari yang lalu juga. Orang tuanya sedang dikarantin sekarang. Jadi tidak ada orang di rumah,” jelas bibi itu.
Mendengar hal tersebut aku syok dan aku merasa amat sedih. Kupikir bibi itu bercanda, tapi mana ada orang bercanda dengan kematian. Aku lari pulang ke rumah dan mengabari ibuku. Aku kepikiran, kenapa Rifa bisa terpapar Covid padahal dia bilang kalau tak pernah keluar dan berkumpul dengan orang banyak. Dan terakhir kali dia keluar rumah adalah di hari Sabtu ketika dia bersamaku untuk membeli garam. Aku tersadar, aku ingat, dan aku baru menyadari.
“Karena uang kembalian,” terucapku tak sengaja.