Hits: 103
Anissa Nurul Faiza/ Salwa Salsabila
“Walaupun satu orang penting dalam hidup lo menghilang, bukan berarti yang lain juga akan pergi.”- hal 66.
Pijar, Medan. Pernahkah kamu merasa, hidupmu yang menurutmu sudah dalam porsi pas, tiba-tiba berubah menjadi hidup yang “katanya” lebih baik, tetapi kamu sama sekali tidak menginginkan itu? Atau orang-orang yang awal kehadirannya kamu anggap remeh, tetapi makin lama kamu malah justru bergantung dengan orang-orang tersebut?
Jungkir balik. Begitulah Aeryn mendefinisikan hidupnya setelah kepergian Mama. Ia selalu bertekad untuk tetap hidup disekitar bayang-bayang Mama, walaupun makin lama, aroma tubuh Mama makin samar. Seakan memaksa Aeryn untuk turut melepas sosok yang sangat disayanginya tersebut. Ia sangat berusaha keras untuk menghidupkan memori tentang Mama yang masih bersisa. Namun, sepertinya, Papa punya rencana lain.
Menikah lagi dalam waktu beberapa bulan setelah Mama meninggal adalah pilihan yang egois yang pernah diambil oleh Papa. Namun, sepertinya Papa sama sekali tidak sependapat dengan itu. Lalu, dengan begitu saja, Papa membawa dua pasang mata yang sama sekali asing bagi Aeryn. Gadis mungil yang dipanggil Flo dan ibunya resmi menjadi keluarga tiri yang tidak dibutuhkan oleh Aeryn.
Novel karya Winna Efendi ini terbit pertama kali pada tahun 2016 lalu. Bercerita tentang keluarga, persaudaraan, persahabatan, dan percintaan. Berisi kisah tentang kehilangan, harapan baru, dan penerimaan diri, buku ini mampu menghidupkan berbagai emosi dalam diri pembacanya.
Cerita diawali dari Aeryn, seorang gadis yang baru saja kehilangan sosok Mama yang sangat ia sayangi dan dituntut untuk harus menerima kenyataan pahit tersebut. Namun, Aeryn merasa keadaan terlalu tergesa-gesa untuk menghapus jejak-jejak Mama yang masih bersisa. Bahkan, Papa, sosok yang ia pikir akan tetap berada di posisi yang sama dengan dirinya, kehilangan yang teramat sangat, seakan sudah melupakannya.
Berbicara tentang saudara tirinya, Aeryn dan Flo hanya terpaut 2 bulan. Bagi Flo, Aeryn adalah sosok kakak yang sangat ia kagumi. Namun, tidak bagi Aeryn. Ia malah justru berusaha sekeras mungkin untuk mencoba tidak berbagi momen yang sama dengan saudara tirinya itu. Ia membenci seluruh asosiasi yang disematkan orang-orang kepada keduanya.
Keduanya sangat bertolak belakang. Aeryn digambarkan sebagai gadis yang cantik, pintar, dan populer di sekolahnya. Siapa pun berani bertaruh apa pun untuk bisa dekat dengan gadis ini. Sang adik, Flo, adalah gadis yang manis, bertubuh mungil dan hanya peduli dengan kue, ice cream, dan kain percanya. Di matanya, kehidupan selalu tentang gula-gula karamel atau icing di atas kue kering favoritnya.
Aeryn merasa sangat sulit untuk menjalani kehidupan barunya. Kehadiran Tante Hera dan Flo dalam keluarganya membuatnya takut. Takut dengan suasana baru yang datang setelah keduanya menempati rumah yang dipenuhi kenangan mendiang Mamanya.
Seperti dunia belum ingin selesai mengusiknya, Flo dengan keputusan besarnya setelah kecerobohan yang ia lakukan dengan sahabat lelakinya, membuat momok baru di dalam kehidupan keluarga Aeryn.
Bagaimana Aeryn menghadapi kehadiran demi kehadiran asing yang terus menerus datang? Apakah ia bisa perlahan-lahan menerima keadaan dan perlahan-lahan melepaskan? Lalu, bagaimana dengan Flo? Keputusan terbaik apakah yang akhirnya ia ambil? Menerima atau meninggalkan?
Buku ini berfokus kepada tema keluarga. Tentang kehilangan dan merelakan. Tentang pertemuan dan perpisahan. Tentang keputusan dan penyesalan. Berbeda dengan novel remaja lain yang lebih menitikberatkan pada cerita romance mendayu-dayu dan pergaulan sosial, novel ini dengan berani mengangkat isu sensitif dari pergaulan remaja. Ini pula yang sukses membangun suasana realistis, tetapi tetap manis di dalam novel setebal 419 halaman ini.
Cara penulis mengemas kisah ini sungguh indah. Bahasa yang sederhana dan alur yang mudah dipahami membuat kita nyaman membaca lembar demi lembar dari buku ini.
Di dalam buku ini, tersimpan pesan moral tentang konsekuensi dari keputusan dan tindakan yang ceroboh. Pada akhirnya segala tindakan yang kita ambil akan ada akibatnya. Namun, selama masih ada keluarga, kita memang tidak pernah sendiri, begitu juga dengan konsekuensi yang harus ditanggung bersama.
“Maka, jadilah kuat. Tapi, menjadi kuat butuh sebuah proses, sama seperti seperti menjadi dewasa. Nggak usah terburu-buru.”- hal 266
(Redaktur Tulisan: Marcheline Darmawan)