Hits: 25

Salsabila Sagala

Aku termenung menatap layar handphoneku yang gelap. Kepalaku sekarang penuh dengan pertanyaan apa dan kenapa?

Ingatanku membawaku paksa ke kejadian setahun yang lalu, dimana aku menangis didepan laki-laki yang kucintai sembari menjelaskan betapa hancurnya diriku ketika dia pergi.

Ting!

Satu pesan pemberitahuan muncul di layar handphone-ku yang membuat aku kembali ke masa sekarang, aku membaca isi pesan tersebut dan langsung meletakkan kembali handphoneku dan meringkuk memeluk diriku.

“I think I don’t love you anymore.”

Begitu isi pesannya, singkat, tapi rasanya seperti ingin jungkir balik saja.

Dia masih laki-laki yang sama,

laki-laki dari setahun yang lalu yang melihatku menangis di depannya dan merasa bersalah ketika mendengar isi perasaanku.

Setahun yang lalu dia memohon maaf dengan tulus, memberikan janji-janji manis tentang betapa ia takkan mengulangi hal yang sama, menjelaskan bahwa dia sangat menyayangiku dan ingin memperlakukanku dengan baik sekali lagi.

Tapi, janji dibuat untuk diingkari bukan?

Aku menghapus air mata yang mengalir di pipiku, kuambil kembali handphone-ku dan membalas pesannya.

“Kenapa?”

Dari sekian banyak pertanyaan dan kata-kata yang muncul di kepalaku, aku hanya membalas pesannya dengan pertanyaan “Kenapa?”

Aku merasakan sesak yang amat sangat di dalam dadaku. Aku dan dia berada di kapal yang sama, melakukan hal-hal seperti pasangan pada umumnya bersama-sama. Namun, bagai telapak tangan yang dibalik, secepat itu pula perasaannya berubah, dan bagian yang paling menyedihkan dari hal ini adalah aku, dalam pikiranku, menyalahkan diriku sendiri.

Aku memutuskan untuk menelfonnya. Dering tersambung terdengar di kupingku, aku berusaha mengatur napasku dan mencoba untuk berhenti menangis.

“Halo?” ucapnya diujung sana.

“Kenapa fie?”

Hening.

“Alfie kenapa? Baru setahun fie, baru setahun dari kamu bilang mau bener-bener sayang sama aku.”

Aku terisak, mengepalkan tanganku sekuat-kuatnya menahan agar suara tangisku tidak semakin meledak.

“Jangan nangis, ra” ucapnya dengan suara pelan.

Lucu sekali bukan? Setelah hal yang dia perbuat, bagaimana bisa dia masih menyuruhku untuk tidak menangis?

“Aku kurang apa fie?” suaraku bergetar bersamaan dengan isi fikiranku yang terus menyalahi diriku sendiri.

“Aku gak tau ra, intinya aku udah gak bisa aja, buat jadi kita, sorry,” jawaban yang tidak aku harapkan diiringi dengan permintaan maaf yang bahkan sepertinya dia tidak benar-benar tahu permintaan maaf-nya untuk apa, dan Alfie langsung mematikan telfonku dengan sepihak.

Aku menangis sejadi-jadinya, seluruh kenangan di setiap detik ketika bersamanya mendadak menghujami pikiranku dengan serentak. Dalam percakapan 25 detik itu, aku bahkan tidak mendapatkan jawaban apapun. Apa dan kenapa? Masih terus berkeliaran difikiranku.

Malam itu,aku menangis untuk membuat diriku tertidur.

Dua minggu berlalu, hari demi hari aku lewati dengan susah payah, masih tertanam di fikiranku kalau dia hanya butuh waktu dan akan segera kembali. Semesta sudah berkali-kali menamparku dengan keras bahwa sebenarnya aku sudah tahu jawabannya, kalau dia, Alfie tidak akan kembali. Bahkan setiap malam aku menangisi kepergiannya lagi bersamaan dengan story instagram-nya yang terlihat bahagia dengan dunia-nya dan sosok yang kini sudah menggantikan posisiku.

Alfie, ada banyak hal yang ingin aku sampaikan sebelum akhirnya aku mengikhlaskan kita yang tak akan pernah selamanya menjadi kita.

“Alfie, pada akhirnya memang hari-hari kemarin tidak berarti apa-apa untukmu ya? Sampai detik ini aku masih berfikir sendiri tentang berbagai alasan mengapa kamu memilih pergi, setidaknya beri aku jawaban atas kekuranganku sehingga kamu menggantikan ku dengan sangat buru-buru.

Kalau kamu jadi aku, apa yang akan terjadi?

Bagaimana kalau hari-hari yang aku lewati dengan tangisan ini menjadi milikmu?

Alfie, aku tidak pernah menyesali seluruh hari yang kita lewati bersama. Aku hanya menyesali keputusanku setahun lalu, dimana aku memilih untuk memaafkanmu sekali lagi hanya untuk mendapatkan hasil yang sama.

Alfie, semoga kamu bahagia selalu”

Namun pada akhirnya, hal itu hanya terus berulang dikepalaku tanpa pernah sampai ke yang dituju.

Pada akhirnya juga, aku tahu segala jawaban atas apa yang tidak terjawab selama ini. Semesta memang pada akhirnya sering kali bersikap sedikit tidak adil. Dirinya yang menaruh luka justru sedang tertawa bahagianya. Sementara aku masih hidup dalam bayangnya.

 

Leave a comment