Hits: 49
Alya Amanda
“Kembalilah…” ucapnya parau. Gadis dengan daster putih polos itu mengerutkan dahinya seraya berkata demikian dalam tidurnya. Ini malam ke-14 ia mengoceh seperti itu saat sedang terlelap.
Entah mimpi apa yang ia alami dua minggu belakangan. Entah trauma macam apa yang ia rasakan hingga harus berkeringat dalam lelap kala matahari berganti peran dengan bulan. Entah takdir seperti apa yang semesta torehkan sampai hatinya penuh dengan sayatan. Entah, apapun itu, yang pasti… ia kesakitan.
Berbicara perihal dua minggu lalu, saat ia kehilangan hampir separuh atmanya, saat jantungnya berdegub lebih cepat dari seharusnya, saat dirinya terpaku mati rasa, dan saat asa yang ia bangun bersama prianya dirampas paksa oleh alam raya. Mungkin, saat itulah dirinya mulai menganggap bahwa Yogyakarta amat gelap, hitam, suram, padam—seperti bola matanya yang temaram.
Biru Lestari. Tersebut nama dari sebuah daksa yang kini merebus mi instan setelah bangun dari mimpi panjangnya. Benda yang berbentuk garis lengkung yang tak berujung di sisi kiri dapurnya menunjukkan pukul 3.20 WIB. Biru mungkin sadar bahwa dirinya butuh asupan—teringat ia sudah melalui banyak episode mimpi yang tak tahu kapan akan berhenti menghantui.
Kepulan asap menggumpal di atas mi instan yang kini sedang Biru santap tanpa rasa nikmat. Sialnya, seluruh raganya mati rasa—termasuk indra pengecapnya. Satu suapan, dua suapan, tiga suapan, empat, lima, hingga delapan, berhenti. Jemari kurusnya mendorong ke depan mangkok berisi mi tadi.
“Tak berselera lagi,” batinnya. Padahal perutnya masih menjerit lapar memohon untuk diisi.
Biru bangkit meninggalkan meja makan dengan semangkok mi yang asapnya perlahan terlahap angin—menjadi dingin. Ia membawa tubuh ringannya ke sebuah ruangan penuh lukisan, di mana seluruh halaman lukisannya berorientasi horizontal—lanskap.
Ia melangkah ke sisi kanan pintu—berniat menyusuri ruangan persegi berukuran 12×12 itu. Tepat di langkah keenam, Biru berhenti. Biji matanya menatap lurus, tepat ke arah lukisan yang dulu sempat membuatnya takjub.
Hampa. Begitu tatapan yang ia tunjukkan kala melihat lukisan biru itu. Padahal dulu lukisan tersebut tak bernyawa, tetapi kini rasanya berbeda.
“Mungkin karena ada nyawa yang pernah direnggut,” pikirnya. Gadis berambut pendek sebahu itu tersenyum getir sembari berusaha mengobrak-abrik kenangan di memori yang tak tersusun rapi. Beberapa saat setelahnya, Biru berhasil mendapati beberapa kenangan indah di mana dirinya masih bersama dengan pria yang ia cinta.
“Kenapa ‘Ruang Ananta’?” dahinya mengerut menunggu jawaban dari seorang pria berkemeja hijau di sampingnya. Pria tersebut mengalihkan pandangannya dari pintu yang terukir bacaan ‘Ruang Ananta’ ke arah gadis yang tingginya jauh berbeda dari dirinya.
“Karena ananta artinya tak terhingga,” ada jeda. “Aku mau ruangan ini nggak ada habis-habisnya nyalurin energi positifnya ke kita. Aku mau ruangan ini bisa buat kita bahagia lagi di saat kita ngerasa dunia nggak berpihak di kita. Aku harap ruangan ini bekerja selayaknya nama yang aku beri,” jelasnya dengan mata yang masih menatap insan di sisi kanannya. Sang lawan bicara mengangguk puas. “Semoga aja,” katanya mengamini.
Kenangan tersebut terhenti sampai Biru mengamini, kemudian memutar dan berganti ke kenangan pada tanggal 15 Maret 2022—hampir setahun yang lalu.
Saat itu, Biru ditemani secangkir es teh manis di teras rumahnya. Ia mengayun-ayunkan kipas kertasnya kasar berharap keringat yang membasahi pelipisnya berhenti keluar dari pori-pori. Cuaca memang sangat terik kala itu. Bahkan burung yang biasanya terbang mencari makan, kini rela kelaparan hanya agar tak kepanasan.
Tak berselang lama, seorang pria tanpa helm memarkirkan motornya di halaman rumah Biru sambil membawa sebuah benda persegi panjang yang masih terbungkus kain putih lusuh. Biru menghampiri, “Dari mana? Kok panas-panas gini nggak pake helm?” tanyanya menginterogasi.
“Tawarin masuk dulu, kek. Gosong, nih, kepalaku,” balas si pria menawarkan hal yang harusnya Biru lakukan lebih dulu. Biru membalasnya dengan cengiran. “Hehehe … mau dibuatin es teh sekalian, nggak, Masnya?” pertanyaan tersebut dibalas anggukan antusias dari sang pria.
Setelah es teh manis yang Biru sajikan sudah habis, mereka berdua kini berada di Ruang Ananta bersama benda persegi panjang yang dibawa oleh pria tadi. Biru memerhatikan dengan saksama kala tangan kekar pria itu membuka kain yang membungkus benda tersebut.
Betapa takjubnya ia ketika melihat lukisan yang dapat dipastikan adalah sebuah ciptaan dari pria yang ada di sampingnya itu. “Kali ini… laut, Al?” tanya sang gadis dengan tatapan mata yang belum teralihkan dari lukisan dengan warna biru yang mendominasi.
“Iya, keren, kan?” tanyanya butuh persetujuan. “Banget, banget, banget,” balas Biru menyetujui. “Kamu nggak liat mataku udah bersinar berkilau kayak gini?” lanjutnya. Si pria tertawa, “kelihatan, kok. Sifatmu, kan, transparan.”
Lagi, kenangan itu seketika terhenti—kembali mengobrak-abrik memori yang tak tersusun rapi. Dan sialnya, yang terputar kembali adalah kenangan yang menjadi alasan Biru membenci Yogyakarta.
“Hati-hati, lho. Apalagi cuaca lagi nggak jelas gini, kadang hujan kadang panas.” Entah sudah berapa kali kalimat itu keluar dari mulut Biru. “Alam, kamu denger nggak? Aku bilang hati-hati,” ucapnya mengulangi. “Iyaaa, Biu Lestariii. Mau aku iyain berapa kali, Biu?”
Sang gadis berdecak sebal, Alam seringkali iseng pada dirinya dengan memanggilnya Biu. Awal mulanya karena keponakan Biru yang berumur satu tahun memanggilnya seperti itu. “Kamu cadel, ya? Namaku Biruuu,” ucap Biru mengoreksi. Alam tertawa, “iya-iya, bawel.”
Alam akan pergi berselancar di laut bersama teman-temannya. Itulah alasan Biru bolak-balik memperingati agar Alam berhati-hati. Tapi tidak ada siapapun yang bisa menguasai takdir. Seperti kata Biru, cuaca sedang tidak jelas. Matahari bersinar terik kala Alam pergi ke laut, namun bertukar peran dengan hujan lebat sampai membuat ombak di lautan menggulung tak stabil.
Saat itu, tepat dua minggu yang lalu. Biru kehilangan Alamnya. Tak pernah ia bayangkan kalau laut yang sangat Alam sukai justru mengambil Alamnya tanpa permisi. Kalau Yogyakarta yang amat Biru kagumi akan menjadi kota yang ia benci dan tak pernah ia bayangkan kalau ia akan kehilangan Alam secepat ini.
Biru menangis, lagi. Luka hatinya belum terobati, malah semakin menganga perih. Ia masih di situ, menatap lukisan laut dengan dominasi warna biru. Ia mengusap kasar air matanya. Untuk sesaat, ia tertawa garing. Hampir gila, rasanya.
Kedua tangan kecil Biru memegang sisi kanan-kiri lukisan—berniat untuk menuruni lukisan itu dan menyimpannya di pojok gudang dengan meletakkannya secara terbalik. Namun, di luar perkiraan, di balik lukisan tersebut ada sebuah tulisan—yang amat ia yakini adalah tulisan Alam.
Mau ke laut, tapi tanpa Biu. Soalnya Biu takut laut. Aku harus ngeyakinin Biu kayak gimana ya, kalau laut itu nggak menakutkan seperti yang Biu pikirkan? Semoga lukisan ini bisa buat Biu yakin, ya.
Tertanda, 15 . 03 . 22
Alam
Biru tertawa getir, meyakinkan apanya? Membuat tambah trauma, iya. Namun, yang Biru sadari kini bahwa Ruang Ananta benar-benar bekerja seperti nama yang Alam beri. Pasalnya, Biru tak tahu kalau tak terhingga yang Alam maksud juga sampai pada rasa sakit yang kini menyelimuti ruang daksanya.