Hits: 51

Wiva Anza Dewata

Sejak kejadian 10 tahun lalu yang menimpaku, aku hanya bisa duduk, diam, dan merenung setiap saat. Seandainya saja waktu itu aku mendengarkan apa kata mama, mungkin aku masih bisa melihat isi dunia.

Tess… tes… tess…. rintik hujan mulai mengenai diriku. Hujan turun lagi, aku bisa merasakan angin dingin menerpa tubuhku.

“Kinarrrr…” kudengar suara mama mendekat.

“Sudah hujan, sayang. Ayo balik ke kamarmu,” ujar mama sambil membopongku.

“Mama, kalau hujan gini, langit mendung ya, kan?” tanyaku. Mama diam. Tapi aku tau dia sedih mendengar pertanyaanku.

“Mama, kapan Kinar dapat donor mata? Orang baik itu ngga ada, ya?” lanjutku. Mama kembali diam, tidak menjawab pertanyaanku sedikitpun.

Aku Kinar, anak semata wayang mama dan papa. Tapi semenjak kepergian papa setahun yang lalu, aku hanya tinggal berdua dengan mama dan seorang pembantu yang kupanggil “Mbok Dian” .

“Aduh, neng Kinar, ini bajunya sudah basah loh, neng. Sini mbok gantiin baju kamu yo,” Mbok Dian dengan sigap membantuku mengganti pakaian.

“Mbok, warna cat dinding kamar masih biru ya? Padahal aku pengen sekali warna pink,” kataku ke Mbok Dian.

“Kalau neng udah dapat pendonor, neng udah bisa lihat lagi, kita ganti warna catnya ya

“Tapi mbok, sepertinya tidak akan ada yang secara sukarela memberikan matanya padaku,” kataku sedih. “Mbok gatau kan rasanya gak bisa melihat bertahun-tahun? Terakhir kali aku melihat umurku 7 tahun, dan sampai sekarang aku masih tetap berharap orang baik itu ada,” aku mulai menangis.

Bagaimana bisa aku tidak iri dengan orang normal yang bisa melihat? Memang salahku, aku yang membuat diriku menjadi seperti ini. Tetapi apa aku tidak berkesempatan kembali normal seperti dahulu?

Suatu pagi, ketika aku baru saja bangun tidur, aku mendengar obrolan mama dengan seseorang di ruang tamu.

“Dibatalkan, Pak? Tapi kita sudah bertemu dengan pihak keluarga kemarin,” kata mama.

“Maaf, Bu. Sepertinya mereka tidak jadi mendonorkan. Tapi akan kami pastikan anak ibu mendapatkan donor dalam waktu dekat,” kata sosok laki-laki yang menjadi lawan bicara mama.

Aku keluar dari dalam kamar. “Mama, apakah akan ada pendonor?” aku bertanya dengan suara bergetar. Mama mendatangiku lalu memelukku dengan erat.

“Kinar, kamu yang sabar ya, Nak. Mama juga lagi berusaha cari buat kamu. Tenang ya sayang” Mama menangis, aku merasakan pundakku basah karena air mata mama.

“Mama tidak apa-apa. Kinar bisa menunggu, kok.” jawabku kecil.

Semenjak hari itu, aku tidak pernah bertanya kepada mama tentang donor. Aku tau mama juga lelah dan aku gamau menambah beban pekerjaan mama.

“Apasih hal yang paling neng pengen lihat?” tanya mbok Dian ketika aku sedang menemaninya memasak di dapur.

Aku tersenyum, “Kinar mau lihat matahari sama pelangi, Mbok. Kinar juga sudah lupa bagaimana isi dunia.”

“Sudah banyak yang berubah, neng,” jawab mbok Dian.

“Apa bumi sekarang tidak berbentuk bulat lagi, Mbok?” kataku lalu tertawa.

“Hahahaha bukan seperti itu maksud saya, Neng. Berubah seperti bangunan-bangunannya sudah besar-besar” jawab mbok Dian lagi.

“Oh iya, neng. Sebentar lagi neng Kinar mau ulangtahun. Neng mau apa? Kalau urusan makanan kan mbok jagonya.”

Aku tertegun. “Kinar cuma mau mata baru mbok,” jawabku.

Hening. Mbok tidak bersuara. Memang salah aku berkata seperti itu, tetapi itu adalah keinginan terbesarku.

“Mbok bebas masak apa aja, Kinar pasti suka,” aku berusaha memecah kebisuan.

Lalu setelah itu terdengar suara tangis sendu mbok Dian. “Neng, neng yang tabah ya neng. Pasti neng bisa lihat lagi kok. Sampai saat itu tiba, mbok bakal selalu ada disamping neng. Nemanin dan bantu neng.”

Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum kecut. “Harus sampai kapan lagi menunggu?” pikirku.

Hari ini hari ulang tahunku. Mbok Dian sudah mempersiapkan berbagai keperluan untuk merayakan ulang tahunku bersama ibu. Hanya kami bertiga dan itu sangat menyenangkan.

“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga” Kami bernyanyi bersama dan aku segera meniup lilin. Kelelahan menghabiskan hari bersama, aku pun tertidur.

Tidak lama setelah itu, saat aku masih setengah sadar, sayup-sayup kudengar suara mama bersorak kegirangan.

“Alhamdulillah, ya ampun, akhirnya anakku sembuh, anakku sehat.”

Aku berjalan pelan keluar dari kamar.

“Kenapa, Ma? Ada apa?” kataku menghampiri mama.

“Ada korban tabrak lari yang didiagnosa mati otak akan mendonorkan matanya kepadamu Kinar,” jawab mama kegirangan.

Aku diam. Tentu aku senang mendengar kabar tersebut, tetapi di sisi lain aku juga sedih mendengar keadaan si korban.

“Apa keluarganya menyetujui untuk mendonorkan matanya, Ma?” tanyaku lagi.

“Iya sayang, mereka sudah setuju,” kata mama dengan gembira. “Kamu siap-siap ya, kita ke rumah sakit sekarang. Biar mbok yang beresin barang-barang kamu.”

Dengan sigap, aku pergi ke kamar dibantu oleh mbok Dian yang daritadi berada di sebelahku.

“Akhirnya ya neng, penantian kita gak sia-sia.” kata mbok.

Sesampainya di rumah sakit, dokter langsung memeriksa keadaanku untuk memastikan operasi ini dapat berjalan lancar. Aku juga harus menginap di rumah sakit sembari menunggu hari dimana operasi akan dilakukan.

“Kinar jangan gugup, ya. Besok saya yang akan mengoperasi kamu. Setelah ini kamu bisa melihat lagi. Semangat ya, Kinar,” aku ingat sekali perkataan Dokter Bimo kepadaku.

“Baik, dok. Kinar yakin dokter bakal lakuin yang terbaik demi kesembuhan Kinar,” jawabku.

Hari yang ditunggu pun tiba. Sebelum operasi, aku dibius total. Hal terakhir yang aku ingat setelah dibius adalah aku dibawa ke ruang operasi lalu aku tertidur dengan pulas.

Aku terbangun. Masih gelap. Aku menggerakkan tanganku. Mama bersuara “Kinar sudah bangun, Kinar sudah sadar.”

“Mama? Kenapa masih gelap?” tanyaku.

“Matamu masih diperban, sayang. Tunggulah di sini, mama akan panggil dokter,” kata mama.

Wah, Kinar sudah bangun! Sudah tidak sabar untuk membuka perbanmu, Kinar?” tanya Dokter Bimo.

“Sudah dokter,” jawabku senang.

Aku merasakan perban yang menutupi mataku mulai terbuka. Cahaya mulai masuk dan menyilaukan.

“Buka matamu pelan-pelan, Kinar” kata Dokter Bimo.

Aku membukanya dengan penuh harap. Penglihatanku kabur tetapi aku bisa melihat cahaya lampu yang terang. Dokter dan mama yang berada di depanku tidak terlalu jelas, semuanya kabur.

“Mama…. Mama… kenapa aku gabisa ngelihat mama dengan jelas? Mamaaaaa….” Aku berteriak, menangis meronta-ronta.

“Hei, heii.. hei Kinar? Kinar bangun, Nak, bangun,” Mama menepuk-nepuk pundakku.

“Bangun?” pikirku.

“Kinar!!! Bangun!!!” suara mama meninggi.

Aku tersentak dan menyadari bahwa yang tadi hanyalah mimpiku semata. Aku langsung menangis dan memeluk mama.

“Mama, Kinar bermimpi bahwa ada seseorang yang mau mendonorkan matanya. Kita segera ke rumah sakit dan Kinar dioperasi. Tapi, setelah dioperasi Kinar tetap gabisa melihat mama,” kataku sesenggukan.

Mama membalas pelukanku dengan erat. “Maaf ya, Nak. Maaf kamu belum bisa kembali seperti semula,” kata mama yang juga ikut menangis.

Leave a comment