Hits: 114
Arya Duta / Ronaldo Hafizh
Pijar, Medan. Pada masa kolonialisme, wanita kerap diposisikan di bawah pria dalam kasta sosial. Contohnya, para wanita tidak diizinkan memiliki pendidikan yang layak. Wanita yang seharusnya dihargai, tak jarang menjadi penyalur kebutuhan biologis para penjajah.
Berbeda untuk The Sin Nio (The Sin Nyo), seorang pahlawan wanita Indonesia yang berjuang melawan Belanda pada masa Revolusi Nasional tahun 1940. Pahlawan berdarah Chinese-Indonesia ini merupakan salah satu wanita yang bergabung dalam Kompi 1 Batalyon 4 Resimen 18 di bawah komando Ir. Sukarno dan menjadi bagian dalam perjuangan sebagai prajurit sekaligus paramedis.
Ada kesamaan yang unik antara The Sin Nio dengan cerita legenda rakyat Tiongkok yang terkenal, yaitu Hua Mulan. The Sin Nio bertarung bukan sebagai wanita, tetapi ia menyamar sebagai pria Jawa dengan nama samaran Mochamad Moeksin.
Bedanya Mulan mendapat pengakuan dunia berkat Disney dan filmnya yang laris, sedangkan The Sin Nio hampir tidak diketahui, bahkan tidak diakui sebagai pahlawan nasional di Indonesia. Meskipun begitu, The Sin Nio memiliki semangat yang berapi-api untuk menjadi pejuang melawan sekutu.
Masa itu penjajah saling mengadu domba orang Indonesia dari berbagai ras dan keyakinan. Mereka, orang Tionghoa-Indonesia sering kali dipekerjakan oleh Belanda, seperti dalam hal pemungutan pajak dan semacamnya. Sedangkan warga Indonesia asli ditempatkan di posisi terbawah dalam kasta sosial.
Karena hal tersebut terciptalah ketegangan antar kedua ras, meskipun keduanya tetap sama-sama ditindas oleh Belanda. Dan tak sedikit saudara The Sin Nio yang terbunuh dalam gerakan anti-Cina saat itu.
Dari permasalahan tersebut, The Sin Nio melihat adanya kebencian dan kekacauan yang luar biasa. Maka dari itu ia memacu semangat juangnya dan ingin menunjukkan solidaritas dengan sesama orang Indonesia yang tertindas tanpa memandang ras.
Semangat dan perilaku rela berkobannya di medan juang tidak sebanding dengan apa yang ia dapatkan di masa hidupnya. Ketika perang telah selesai, The Sin Nio kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Ia mencoba mengurus surat untuk mendapat status veteran perang kala itu yang akan memberinya akses tunjangan pensiun. Namun, respon yang ia dapat tak secepat dan semudah ketika ia mendeklarasikan dirinya untuk bergabung melawan sekutu. Sampai akhirnya ia rela hidup dengan menumpang di masjid daerah Petojo Jakarta dengan waktu yang cukup lama.
Setelah menunggu bertahun-tahun, pengajuan The Sin Nio akhrinya dikabulkan. Tetapi, tunjangan yang diberikan hampir tidak menutup biaya hidupnya saat itu. Sangat tidak adil baginya karena telah berjuang bertahun-tahun untuk mendapatkan haknya.
Karena tidak ada tempat tinggal, ia membuat rumah dari sebuah gubuk kecil di dekat Stasiun Kereta Juanda sampai ia meninggal pada tahun 1985 dalam usia 70 tahun.
Beberapa pahlawan dipuji dan beberapa lagi dikenang. Beberapa juga memiliki patung mereka sendiri. Namun, The Sin Nio yang berusia 70 tahun meninggal sendirian di Jakarta. Tempat peristirahatan terakhirnya di pemakaman umum Layur, Rawamangun, tidak mencolok dan tidak bisa dibedakan dari makam-makam lainnya dan hampir terlupakan.
Terlepas dari semua kesulitan dan kepahitan hidupnya, ada sesuatu yang harus kita contoh dari The Sin Nio. Ia tidak pernah menyesali keputusannya untuk menjadi pejuang dan rela berkorban untuk tanah air.
(Redaktur Tulisan: Lolita Wardah)