Hits: 55

Reny Elyna / Anggi Yessika Situmorang

Pijar, Medan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) telah menerbitkan aturan mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasaan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Disahkan pada 3 September 2021 oleh Nadiem Makarim, aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.

Dalam  inti pertimbangannya, dijelaskan bahwa aturan ini diterbitkan karena semakin menjamurnya  kekerasan seksual yang terjadi pada civitas academica. Hal ini akan berdampak pada proses penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan menurunkan kualitas universitas itu sendiri.

Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut,  Nadiem meminta perguruan tinggi melakukan penguatan tata kelola pencegahan kekerasan seksual dengan membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Pasal 5 pada peraturan tersebut berbunyi, “Kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi”.

Lembar pertama salinan Permendikbud No.30 Tahun 2021. (Sumber
foto: https://jdih.kemdikbud.go.id)

Pasal 10 menyatakan bahwa Perguruan Tinggi wajib melakukan penanganan seksual melalui pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administratif, dan pemulihan korban. Lebih lanjut, pasal 13-19 mengatur sanksi administratif kepada pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual.

Sanksi administratif mulai dari yang ringan berbentuk teguran tertulis atau pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa. Kemudian, terdapat sanksi administratif sedang yang meliputi pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan atau pengurangan hak sebagai mahasiswa. Hak tersebut terdiri dari penundaan mengikuti perkuliahan atau skors, pencabutan beasiswa, dan dapat pula  pengurangan hak lain. Terakhir, sanksi administratif berat yaitu berupa pemberhentian tetap sebagai mahasiswa, atau dapat berupa pemberhentian tetap dari jabatan sebagai tenaga pendidik.

Rizki Fadillah selaku Presiden Mahasiswa USU memberikan tanggapannya terhadap peraturan ini. “Kita sepakat dengan adanya permasalahan kekerasan seksual yang ada di kampus, kita harus memiliki payung hukum dalam mengangani hal tersebut agar kasus serupa tidak terjadi lagi dan korban dapat berani melaporkannya,” jelasnya kepada Pijar.

Kemudian ia juga menilai terdapat pasal kontroversial dalam Peraturan Mendikbudristek ini. “Saya melihat adanya ketidaksepahaman dengan konsep Pancasila, terutama sila pertama. Di mana peraturan ini kurang menanamkan norma agama karena ketika adanya perbuatan seksual yang perlu ditekankan di situ bahwasannya jika ada persetujuan dari pihak pelaku dan korban dan mereka sama-sama setuju dengan hal tersebut, otomatis kegiatan tersebut dilegalkan oleh hukum,” ucapnya.

Sebagai penutup, Rizki berharap mahasiswa selaku bagian dari civitas academica harus mewujudkan konsep kolaborasi. Dalam artian, penangannnya tidak hanya bisa dilaksanakan oleh pihak kampus saja. Oleh sebab itu, organisasi kemahasiswaan harus terlibat langsung di lapangan dan ikut menangani serta mengawal bagaimana proses aktualisasi ini bersama-sama.

(Redaktur Tulisan: Tasya Azzahra)

Leave a comment