Hits: 208
Sinta Wulandari / Anggi Yessika Situmorang
“Pergilah anakku, temukan masa depanmu. Sungguh, besok lusa kau akan pulang. Jika tidak ke pangkuan Mamak, kau akan pulang pada hakikat sejati yang ada dalam dirimu. Pulang…” (hal. 24)
Pijar, Medan. Ketika mendengar kata pulang, mungkin yang terlintas dalam benak kita adalah pulang ke rumah atau pulang ke kampung halaman. Namun, begitu banyak dan luas makna pulang. Bukan sekadar pulang dari suatu tempat, tetapi pulang bisa bermakna perjalanan spiritual atau kembalinya kita kepada Tuhan.
Sejatinya, pulang tidak dapat dimaknai secara tunggal. Seperti yang tertuang dalam novel karya Tere Liye ini.
Novel dengan 400 halaman ini, sangat apik mengemas cerita dengan alur dan gaya kepenulisan yang cerdik. Cerita dalam novel ini juga mampu mengajak pembaca untuk ikut pertualangan menjelajahi kisah Bujang dalam menemukan makna pulang.
Kisah ini diawali dengan kedatangan Tauke Muda ke sebuah tempat di antah berantah yang terletak di pedalaman Sumatra. Kedatangan Tauke Muda ke tempat bernama Talang ini adalah awal pertualangan Bujang melalang buana ke penjuru negeri.
Bujang pun akhirnya ikut Tauke Muda dan menjadi bagian dari Keluarga Tong. Di kota, Bujang lebih dikenal sebagai Si Babi Hutan. Bagi Bujang, kota dan Keluarga Tong merupakan bagian dari hidupnya yang baru. Dunia baru yang akan membawanya pada perjalanan dan pertualangan hebat.
Bertahun-tahun tinggal di kota, menjadikan Bujang si anak Talang yang dulunya tak memiliki alas kaki, kini tumbuh menjadi pemuda yang jenius, gagah, dan tak mengenal rasa takut. Ia tumbuh sebagai sosok yang hebat dan menjadi bagian dari Keluarga Tong, salah satu keluarga penguasa shadow economy.
Menjalani hari-harinya sebagai tukang pukul Keluarga Tong membuat Bujang berpikir, kapan ia akan pulang setelah pertualangan panjang ini. Hakikat pulang yang sebenarnya adalah pulang kembali kepada Tuhan. Sebab jika kita percaya Tuhan, tidak ada tempat pulang paling hakiki, selain pulang ke hakikat yang ada di dalam diri.
“Saat itu terjadi, kau telah pulang, Bujang. Pulang pada hakikat kehidupan. Pulang, memeluk erat semua kesedihan dan kegembiraan.” (hal. 388)
Banyak pertempuran, pertumpahan darah, penghianatan telah ia lewati. Namun, satu hal yang tidak pernah Bujang lupakan yaitu prinsip hidup yang diajarkan ibunya (Mamak). Banyak nasihat dari mamaknya yang masih dipegang erat meskipun ia sudah jauh darinya.
Melalui segala nasihat dan pengetahuan yang disuguhkan, novel ini mampu menelisik relung hati dan kemudian membantu kita berjalan lebih bijak dalam memahami tanda-tanda kehidupan. Kekuatan penulis dalam mendeskripsikan alur cerita yang jelas, sederhana, dan apa adanya membuat para pembaca tak sulit larut dan membayangkan kisah-kisah yang terjadi di buku ini.
Tere Liye kembali menyajikan cerita dengan kisah pertualangan yang hebat. Novel ini direkomendasikan kepada pembaca yang belum menemukan arti pulang miliknya dan yang enggan bersahabat dengan rasa pahit dan kebencian masa lalu.
(Redaktur Tulisan: Lolita Wardah)