Hits: 6
Grace Kolin
Judul : Tanah Surga Merah
Penulis : Arafat Nur
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Terbit : 2016
Tebal : 312 halaman
ISBN : 978-602-03-3335-9
“Sungguh asing rasanya negeri ini, tetapi aku terlanjur tidak bisa hidup di tempat lain. Tanah ini rumahku, surgaku; tanah surga merah.” Halaman 129.
Sebagai seorang prosais asal Negeri Serambi Mekah, Arafat Nur patut berbangga. Ia berhasil menjadi Pemenang Unggulan dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016 lewat novelnya, Tanah Surga Merah. Sebelumnya, Ia juga pernah mendulang prestasi yang sama dengan judul novel Lampuki pada tahun 2011.
Sekilas tentang Arafat Nur, beliau adalah penulis yang tumbuh dan besar ditengah gejolak politik, perang (konflik) panjang yang melanda Aceh, yang menyebabkannya beberapa kali hampir terbunuh. Lewat pengalamannya sebagai ‘korban’ konflik, Arafat Nur menuangkan buah pemikirannya yang sarat dengan perlawanan terhadap ketidakadilan lewat novel. Salah satunya adalah Tanah Surga Merah.
Selama ini, Aceh selalu disangkut-pautkan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), organisasi separatis yang kini telah berdamai dengan pemerintah. Namun lewat idealismenya, Arafat Nur mencoba menggali sisi lain dari konflik tersebut.
“Partai hanya dijadikan kendaraan untuk merebut kekuasaan, bukan memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat. Terlebih lagi, banyak perilaku mereka yang tidak berakhlak dan sama sekali tidak punya adab” halaman 134.
Berawal dengan kisah seorang mantan tentara Partai Merah (representasi Partai GAM) bernama Murad yang pulang kembali ke Aceh lantaran rindu dengan kampung halamannya. Arafat Nur memainkan emosi pembaca dengan memposisikan Murad sebagai buronan yang paling dicari oleh Partai Merah, sebab ia telah menembak mati teman seperjuangannya yang kedapatan sedang memerkosa seorang gadis belia. Satu-satunya jalan bagi Murad adalah bersembunyi.
“Persekongkolan Imran dan Dahli ini tidaklah lucu. Betapa teganya mereka mengirimkan aku kemari sebagai seorang teungku palsu hanya untuk menipu orang-orang kampung terbelakang ini” halaman 209.
Murad diseludupkan ke Desa Klekklok. Kemudian dikenalkan oleh temannya Dahli dengan nama baru, Teungku Ghafar Sabi. Teungku yang katanya, diutus langsung dari pemerintah untuk mengajarkan agama Islam pada kampung primitif yang masih percaya takhayul dan ritual tradisi yang tidak masuk akal. Sehari-harinya, ia melayani warga Klekklok yang selalu datang dengan permintaan aneh mulai dari menerawang sepeda yang hilang, merajah orang sakit hingga melakukan ritual peusijuk terhadap anak lembu yang baru lahir.
Tidak lama setelah masa tenang itu, antek-antek Partai Merah terus memburu keberadaan Murad hingga ke desa tersebut. Tanda bahaya tersebut rupanya telah diketahui terlebih dulu oleh Jemala, putri Kepala Desa yang selama ini ditugaskan untuk mengawasi keamanan Murad. Ketika acara ritual peusijuk, Murad ditarik keluar dari kerumunan dan kembali diungsikan ke tempat yang lebih aman.
“Aku tidak pernah menyangka dalam hidupku bakal ada seorang gadis belia yang melarikanku begitu jauh ke dalam rimba.” Ucap Murad dalam pelariannya. Tidak dijabarkan begitu jelas bagaimana ending dari Tanah Surga Merah ini. Mungkin, Arafat Nur memang sengaja membiarkan pembaca menerka-nerka akhir kisah yang menggantung ini.
Salah satu hal yang patut diapresiasi adalah, Tanah Surga Merah berhasil menyuntikkan humor di tengah-tengah ketegangan konflik yang mencekam. Tidak hanya itu, novel ini juga disajikan dalam gaya deskriptif yang cukup terperinci tanpa mengurangi cita rasa cerita. Bagi pembaca yang baru pertama kali membaca novel Arafat Nur, mungkin akan kurang terbiasa dengan alur cerita yang lambat.
Kaver hitam-merah yang berhiaskan siluet daun ganja dan sepasang manusia ini cukup menggugah rasa penasaran pembaca yang ingin mendalami atmosfir konflik partai dan bentang alam bumi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) lewat sastra. Untuk porsi novel politis rasa ‘jurnalisme sastrawi’, Tanah Surga Merah cukup menjanjikan dari segi perpaduan thriller dan sensasi humor yang renyah. Selamat membaca!