Hits: 67

Hidayat Sikumbang

Lagu Cobalah Mengerti yang dinyanyikan oleh Noah terdengar hingga keluar mobil. Pintu jendela yang sedikit renggang membuat suara yang harusnya didengar oleh sang pemilik mobil saja justru malah dinikmati bapak-bapak security penjaga parkiran basement ini. Belum lagi, suara parau Ridwan yang ia sangka mirip Ariel malah seperti kambing kejepit membuat lagu yang awalnya nikmat menjadi amit-amit.

“Lagi ada masalah hidup, pak?” Pak Satpam menghampiri mobil Ridwan.

Ridwan tampak tak mengacuhkan Satpam tersebut, ia justru malah menutup rapat-rapat jendela mobil yang tadi terbuka. Meskipun suara musik tadi sudah tak lagi terdengar, Satpam yang sudah kepalang kesal sibuk mengetuk-ngetuk jendela walaupun tak lagi diacuhkan olehnya. Sementara dari arah Mall, tampak seorang perempuan cantik dengan pakaian bak wanita kantoran. Kemeja blouse, rok yang setinggi lutut, dan kacamata yang tergantung di dadanya. Satpam yang tadi berdiri di depan mobil pun spontan bergeser, namun matanya tak jemu-jemu menatap bidadari yang terjatuh ke bumi ini.

“Sudah?” ucap Ridwan ketika melihat perempuan ini masuk ke mobil.

Perempuan ini tak menjawab, namun justru malah memasang tampang cemberut seperti kalah berjudi. “Langsung pulang aja kenapa, sih? Pake nanya-nanya segala.” Mobil kemudian bergerak maju, keluar dari basement yang gelap ini.

“Kamu kenapa, Beb? Cemberut gitu. Mana bibirnya sama sekali ga ada senyumnya. Senyum dong, kan senyum itu ibadah. Cemberut mulu nanti ibadahnya luntur loh.”

“Bab beb bab beb, sekali lagi panggil kayak gitu, aku isolasi itu mulut,” dengus perempuan ini kesal.

“Bukannya kita udah jadian sepuluh detik yang lalu?”

“Pacaran sana sama oli mobil. Kamu bisa diam gak sih, Wan? Kamu udah tahu aku keluar dengan tampang kayak gini itu artinya ga bisa dibercandain sama lawakan garingmu itu. Kamu itu aku ajakin ke sini buat nganterin aku, bukan buat stand up comedy,” racau perempuan ini semakin kesal.

“Iya deh, maaf. Aku kan cuma pengen ngehibur kamu, sebagai teman yang baik kan aku gak mau sahabat aku cemberut kayak gini.”

“Kamu gak bisa ngertiin kondisi orang banget. Kamu tau ga apa yang terjadi sekarang?”

Ridwan menggeleng, “Ya mau gimana aku paham, toh kamu belum ada cerita.”

“DIAM DULU BISA GAK SIH? AKU BARU MAU CERITA KAMU UDAH NYELA.”

Cobalah mengerti, semua ini menjadi arti. Selamanya tak ‘kan berhenti………

“LAGU KAMU JUGA BERISIK BANGET DARITADI INI MULU COBALAH COBALAH, MENDING GAK USAH DINYALAIN AJA.” hardik perempuan ini. Ridwan menuruti dan langsung mematikan music player mobilnya.

“Aku hamil, Wan. Dan laki-laki brengsek yang di Mall tadi sama sekali tak mau tanggung jawab terhadap janinku ini. Aku sengaja menyuruh kamu menunggu di mobil agar tidak memperkeruh keadaan. Aku bohong sama kamu, aku nggak ada ketemu sama klien manapun tadi. Aku juga bingung mau ceritain ini ke Mama bagaimana. Keluargaku pasti menganggap aku perempuan jalang,” air mata perempuan tersebut menetes. Ridwan kemudian menepikan mobilnya dan lebih memilih tak melanjutkan perjalanan.

“Aku bahkan tak pantas lagi memakai nama Sudirman di nama belakangku. Angelina Sudirman itu sudah hina, Wan. Maaf kalau aku justru melampiaskan ini semua ke kamu.” Ia melunak, suaranya mendadak parau.

“Na, aku ga tahu harus bereaksi gimana sekarang. Nasi udah jadi bubur bukan? Kamu menyesal seribu penyesalan pun matahari tetap terbit di ufuk timur esok hari. Toh kalau kamu lari dari kenyataan pun, perut kamu nanti akan membesar. Jadi, aku antar kamu ke rumah, kamu omongin baik-baik ya?”

Lina tak menggubris. Di dalam kepalanya sekarang tertanam seribu satu kemungkinan yang akan terjadi bagaimana reaksi keluarganya saat ini. “Antarkan aku ke rumah Siska.”

“Lina, kamu mau lari sejauh apa, kamu mau menyembunyikan serapat apa, bangkai tetap bakal tercium. Sejago apapun tupai melompat di tanah suatu waktu dia bakal terjatuh juga,” ucap Ridwan.

“Oh, kamu sudah menganggap aku perempuan yang hina juga berarti, kan? Oke, aku paham. Semua kemungkinan yang tadi ada di kepalaku ternyata benar. Aku turun di sini,” ucapnya sambil mencoba membuka pintu yang terkunci.

“Na, bukan gitu maksudku tadi………” Ridwan mencoba menenangkannya lagi.

“Kalo aku bilang buka ya, buka. Kamu dengar ga sih? Kamu mau pintu mobil kamu rusak lagi kayak dulu? Udah Wan, ga ada gunanya juga kamu nahan aku di sini. Aku muak berteman sama orang kayak kamu. Ternyata benar. Semua laki-laki emang sama aja.” Lina kemudian keluar dari mobil dan meninggalkan Ridwan sendirian. Di balik suara azan magrib yang menggema dan temaram senja yang menguning, sosok Angelina sudah menghilang.

“Ridwan bego……………” Ridwan meracau. Ia menghempaskan kepalanya beberapa kali ke setir mobil. Ia menyesali semua ucapan-ucapannya barusan. Beberapa saat kemudian, ia mencoba menyusul Angelina dengan mobilnya. Namun perempuan itu tak lagi terlihat. Hari sudah semakin gelap, Ridwan mulai cemas. Walaupun memang ia dan Angelina hanya sekadar teman biasa, tetapi seperti sudah tanggung jawab baginya menjaga agar teman perempuannya tersebut aman dan selamat.

Terpikir olehnya untuk mencari ke rumah Siska. Mobilnya kemudian melaju secepat kilat ke sana. Setibanya di sana, rumah Siska tampak sepi dari luar. Gerbangnya terkunci.

“Halo, Sis. Kamu di mana? Aku sekarang depan kamu nih, boleh tolong bukain pagar?”

“Halo, Wan. Oh, bentar-bentar aku bukain pagar,” ucapnya.

“Sis, Lina ada kemari?”

Lina menggeleng, “Kenapa emangnya?”

Ridwan menjelaskan semua hal yang terjadi barusan sedetail mungkin. “Kemana ya, dia Wan?”

“Ya mana kutahu, kukira tadi dia di sini.” Ridwan mengangkat bahunya.

“Terakhir waktu kalian ngobrol, Lina bilang apa aja?”

Ridwan memutar ingatannya kembali. “Gak ada. Aku cuma nyaranin dia buat kasih tau orangtuanya aja baik-baik, tapi dia bersikeras mau ke tempatmu. Dia juga mau gugurin anak di kandungannya,” jawab Ridwan.

“Buset. Ya sudah, ikut aku. Aku kayaknya tau dia ke mana,” ucap Siska meyakinkan. Mereka kemudian pergi ke sebuah tempat yang tak jauh dari rumah Siska. Di sana, tampak seorang gadis duduk di halaman rumah kosong. Siska menyebut rumah ini adalah rumah neneknya Lina dulu. Siska juga bilang kalau Lina sering duduk di kursi kayu yang sudah mulai reyot hanya untuk menenangkan pikirannya.

“Na…” suara Siska mengejutkan Lina yang sedari tadi pandangannya nanar.

“Kalian ngapain kemari?”

“Na, dengerin aku dulu. Aku mau kamu pulang,” lanjut Siska.

“Benar Na, kamu pulang ya. Hari sudah mulai gelap,” Ridwan ikut membujuk Lina.

“Aku pulang? Sama aja itu namanya bunuh diri. Aku harus ngomong apa, aku ga tau. Orang tua aku pasti marah besar ngeliat anaknya udah hamil di luar nikah.” Lina meneteskan air mata menyesali perbuatannya tersebut.

“Aku akan bantu ngomong. Ngga akan bantu ngomong, aku akan menjaga kamu. Aku akan menjaga bayimu. Aku akan menjadi sesuatu yang bisa kamu banggakan, Lin. Entah sekarang, entah nanti, aku akan tunggu kamu. Kamu ga harus risau bagaimana menjelaskan ini ke anakmu nantinya. Lina, ga ada yang salah dengan kamu yang sekarang atau kamu yang dulu, bagiku kamu Lina yang utuh,” ucap Ridwan mantap.

“Tapi… Wan. Kamu ngga salah…. Kamu itu….”

“Cukup, Lina. Siap atau tidak aku nanti bakal tunggu. Aku, Siska, kami akan bantu ngomong baik-baik ke orang tuamu. Aku sudah memendam perasaan ini ke kamu sejak lama, dan apapun yang terjadi, I will always love you, Na.”

Lina meneteskan air mata yang sejak tadi sudah ia coba tahan. Rontok sudah pertahanannya. Ia mendekap Ridwan. Pelukan dari orang yang selama ini ia benci. Tidak, ia tidak membenci Ridwan. Ridwan sendiri sudah sadar bahwa ia hanyalah pelampiasan emosi dari Lina dan ia tidak masalah. Ia justru ingin menjadi sesuatu di hati Lina.

“Wan, terima kasih telah hadir di hidupku. Terima kasih telah menjadi seorang Ridwan,” ungkap Lina sambil terisak.

“Ehem… Yuk kita pulang, aku sudah lapar. Atau kita cari makan dulu, ya?” ucap Siska sambil berdeham kecil. Lina mencoba menyeka air matanya yang sedari tadi membasahi pipinya. Senyum pun tercurahkan dari raut wajahnya.

“Ayo, Wan.” Lina kemudian menggenggam tangan Ridwan.

Ridwan pun membalas senyum Lina dan ikut menggenggam tangannya.

“Tuhan terima kasih. Kami manusia memanglah pendosa, dan terima kasih telah mempertemukan kami lewat dosa-dosa yang pernah kami lalui. Semoga masih tersisa sekeping surga-Mu untuk kami,” gumam Ridwan dalam hati.

Leave a comment