Hits: 72

Mhd Abdul Fattah

Pagi yang berat kurasa untuk membuka mata. Terasa seperti mengangkat beban yang lebih dari 30 kilogram. Entah apa yang menempel di mataku, padahal tidurku tak terlalu larut malam. Kelelahan, baik kuakui memang kegiatan 2 hari ini terasa seperti mengembara jalanan Kota Malang. Udara pagi juga mendukung untuk aku terus mempertahankan posisi wenak tidur ini. Alarmku pun tak mampu untuk membangunkanku, meskipun aku dengar berkali-kali sudah berbunyi. Tapi tunggu, hari ini aku ada acara kebudayaan!

“Kak cepetan, aku mau mandi udah telat ini!” seruku pada kak Andin yang kurasa sudah satu jam lebih dulu bangun dariku.

Kak Andin adalah kakakku yang berseling umur 3 tahun dariku. Dia selalu menjadi penghuni pertama kamar mandi di setiap pagi. Namun, dia selalu membiarkanku sadar dari tidurku sendiri. Alasannya karena ingin aku mandiri jika nanti tinggal tidak bersama keluarga lagi. Aku memang dekat dengan kakakku ini, jarang sekali kami berselisih paham ataupun iri hati jika yang lain memiliki barang baru pemberian dari mama ataupun papa. Yah, begitulah mungkin yang disebut keluarga harmonis. Tapi tetap saja aku harus bergegas untuk pergi ke museum lokasi acara kebudayaan yang dirancang oleh tim EO kami.

“Kamu mau ke mana? Perasaan tadi masih lelap aja tuh tidur?” ucap kak Andin heran sambil menepuk-nepuk wajahnya dengan handuk.

“Aduh kak, ga sempat aku ceritain. Ntar aja ya!” balasku seraya mengambil handuk untuk langsung terjun ke ruang pembersihan tubuh itu.

Air pagi ini terasa hangat, bukan karena aku atur suhunya, tapi ini asli air dari saluran PDAM yang langsung membuat tubuhku segar dan siap menjalani hari ini. Aroma sabun juga mulai menggoda hidungku untuk cepat-cepat ingin diraih. Syukurlah aroma ini menjadi penenang dan suasana air juga menjadi penyemangat hari ini.

Jujur saja, rasanya hari minggu itu adalah hari malasnya anak muda sedunia. Disitu tempat kita beristirahat, namun hari ini tidak untukku. Entah kenapa aku memutuskan untuk mengambil kegiatan hari ini, dorongan ilusi atau karena hati.

“Dek, Ryan nelpon tuh!” teriak kak Andin yang semakin membuat aku tergesa-gesa menikmati air pagi ini.

Ryan, lelaki yang membuatku akhirnya mau menjalani hubungan cinta lagi setelah waktu yang panjang akan trauma dikhianati. Kami sudah menjalin hubungan mesra ini sejak 3 tahun lalu, di mana aku masih menjadi juniornya di bangku perkuliahan dulu. Sebagai junior yang didekatin oleh senior tampan, berkulit putih, dan terkenal dermawan oleh semua orang, awalnya aku hanya menganggap itu semua adalah sikap yang dimiliki cowok-cowok terlebih senior di kampus. Tapi seiring berjalannya waktu, Ryan berusaha keras untuk benar-benar mendapatkan hatiku. Sampai akhirnya aku pun menerimanya sebagai lelaki kedua yang mengisi hati ini.

Karena Ryan jugalah, aku rela mengorbankan hari minggu ini untuk diisi dengan kegiatan budaya yang dirancang oleh tim EO-nya. Ryan memiliki EO yang masih merintis di kota ini.  Sebagai pacarnya, aku sering sekali membantunya untuk memberikan ide serta tenaga demi kelancaran acara yang ditangani. Termasuk hari ini, aku harus mengoordinasi MC pada saat acara.

Beb, di mana? tulis pesan Ryan melalu Whatsapp.

Melihat itu aku langsung segera memilih baju dan bergegas cepat. Jujur saja, aku butuh waktu paling cepat 30 menit untuk bersiap-siap memilih stelan pakaian dan mengenakan polesan wajah. Maka mengabaikan pesan adalah pilihanku untuk mempercepat proses persiapanku.

Baju batik hijau dengan kombinasi celana coklat susu kurasa pas untuk hari ini. Dilengkapi dengan pashmina warna hitam menambah kesan elegan kurasa. Jangan lupa heels 8cm juga akan kugunakan untuk acara budaya kali ini. Polesan wajah juga menambah kesan indah dari seorang gadis yang sedang dikejar waktu ini.  Sebelum ku nyalakan mobil, sempat kubalas pesan Ryan dengan singkat.

Di jalan nih, macet beb. Balasku.  

Kamu bawa mobil? Hati-hati ya. Jawab pesan Ryan dan tak kuhiraukan.

“Rin, hati-hati. Jangan ngebut ya bawa mobilnya!” teriak kak Andin dari dalam rumah. Aku lupa menyalam tangannya. Oleh karenanya, aku bergegas untuk masuk ke rumah dan dengan cepat meraih tangan kakaku itu. Bagiku salam tangan adalah hal yang penting.

Sepanjang jalan, aku hanya terpikir satu hal. Aku belum sarapan. Aku ingat ketika kecil, mama selalu memaksaku untuk sarapan. Katanya kalau kita sarapan, hari akan terasa lebih mudah. Namun karena mama harus ikut papa keluar kota dua hari yang lalu, aku sering lost dari pengawasannya. Perasaan bersalah ini pun menghantuiku sepanjang jalan. Namun, waktu juga terus berjalan menyusuri pikiranku. Hingga akhirnya aku tiba di museum lokasi acara. Ya, Workshop Aksara Indonesia.

Ryan bersikukuh untuk mengambil proyek ini, meskipun belum banyak yang dapat membantunya di dalam acara dikarenakan terlalu mendadak untuk merencanakan proyek kerja sebuah acara.

“Kamu udah sarapan?” sapa Ryan padaku yang baru saja tiba di lapangan museum.

“Aku kelupaan, Yan, kamu udah sarapan?” balasku padanya.

Ryan hanya diam, karena kurasa dia juga belum sarapan. Ryan menarikku kencang untuk ke belakang yang membuat jantungku seketika terhenyak memikirkan hal yang tidak-tidak. Pandangannya serius dan perlahan mengatakan “MC hari ini cancel, karena ada urusan keluarga katanya,” suara Ryan lemas.

“Hah? Seriusan?” jawabku kaget karena merasa kasihan pada Ryan.

“Kamu mau bantu aku?” kata Ryan lagi.

Aku terdiam. “Apa itu, Yan?” terucap di balik suara bisik.

“Aku percaya kamu bisa, kamu bisa gantikan MC hari ini kan, Rin?” kata Ryan dengan penuh semangat.

Entah apa yang merasukiku, aku hanya bisa meng-iyakan kata Ryan padaku tadi. Aku sangat semangat mendukung EO-nya Ryan untuk hari ini. Semangatnya juga membuat aku untuk terus berusaha memberikan yang terbaik untuk mendukung acara hari ini.

Untungnya gayaku hari ini engga norak banget dan bisalah dibuat untuk jadi MC. Bisikku dalam hati. Kuakui memang, aku bebarapa kali pernah menjadi MC di acara sekolahan dulu dan kini jadi lebih percaya diri lagi karena dukungan Ryan.

Di tengah acara, Ryan memanggilku untuk mengatakan sesuatu. “Sayang, hari ini ada klien yang mau kutemui juga. Kira-kira kalau aku tinggalin ini sebentar, kamu bisa handle gak yah?” tanyanya.

Aku terdiam, yang kupikirkan hanya kenapa bisa begitu riwehnya hari ini. Jika aku menerima, aku takut repot untuk mengatasi ini semua. Namun dalam hati, aku terlalu menyayangi Ryan. Hanya anggukan yang kuberikan padanya. Dan Ryan pergi tak lupa mengecup keningku.

Setelah Ryan pergi, benar saja bahwasanya aku menjadi sasaran pertanyaan dari sipunya acara. Improvisasi dan juga bermodal kata iya aku andalkan saat ini. Karena kata Ryan begitu. Ketika ada perintah, aku langsung memerintahkan kepada tim EO lain untuk mengerjakannya. Hufft, sungguh melelahkan, bukan? Ditambah panas udara siang menjadikan suasana penat terasa lengkap.

Beb, jangan lupa makan tim ya. Pesan Ryan lewat Whatsapp.

Ok, jawabku singkat.

Tiba-tiba entah kenapa, aku merasa mual dan pusing. Apa mungkin karena kelelahan atau karena belum sarapan tadi. Pandanganku kunang-kunang dan lama kelamaan terasa gelap. Orang-orang di depanku seketika hilang dari pandangan dan juga suara-suara ribut sudah mulai hilang dari pendengaranku. Aku pingsan, kata Dio salah satu tim EO-nya Ryan.

?Rin, udah enakan? Kalau belum bisa kita bawa ke rumah sakit terdekat.? kata Dio.

?Aku bisa kok, Ryan udah balik?? tanyaku.

?Ryan, belum bisa balik katanya,? jawab Dio.

?Kenapa? Ryan ada masalah ya? Dia bilang tadi sebentar saja,? balasku khawatir.

?Engga kok, masih belum bisa ditinggal katanya,? balas Dio lagi.

?Yaudah Rin, kamu istirahat aja kalau gak sanggup. Untuk MC-nya biar aku yang gantikan,? tawar Dio. Tapi dalam hati aku tidak enak, aku sudah berjanji pada Ryan.

?Dio, gapapa aku sanggup untuk jadi MC hari ini! Tapi aku minta tolong kamu yang koordinir tim ya?? pintaku pada lelaki brewok tipis itu.

?Okey baiklah Rin, tapi kalau kamu lelah bilang aja yah!” pinta Dio kembali yang hanya kubalas dengan anggukan.

Workshop berjalan kembali setelah aku naik ke atas panggung. Banyak dari peserta yang terheran-heran melihatku, namun aku acuh dan kubalas dengan senyuman serta canda tawa saja. Hingga acara pun hampir selesai diisi dengan hiburan dari band lokal kota Malang.

Ternyata Dita salah satu tim kami ada yang berulang tahun, jadi aku selaku MC diminta untuk mengkonsep sedemikian rupa agar terlihat betul-betul kejutan. Alhasil yang berulang tahun sangat terharu dengan cara yang disajikan oleh teman-temannya ini. Aku hanya ikut senang, dapat terlibat di tim EO-nya Ryan meskipun aku tidak mengenal mereka semua. Namun, rasa senangku langsung berubah melihat seseorang yang membawa kue ulang tahun untuk Dita, yang tak lain adalah Ryan. Di dalam hati aku berbisik. Bukannya katanya Ryan ketemu klien lain dan gak bisa ditinggal pas aku pingsan ya?. Namun aku berusaha tetap senyum seperti tidak terjadi apa-apa. Semua orang mengucap selamat kepada Dita, termasuk aku.

Ulang tahun Dita dirayakan dengan penampilan tim EO yang aku rasa sangat bagus. Namun hatiku yang tidak bagus karena harus melihat Ryan di seberang sana berbicara dan tertawa dengan tim EO-nya merayakan kebahagiaan Dita yang berulang tahun. Namun aku berusaha mengotrol diri, hati, dan perasaaan sampai acara ini usai. Di mana aku berharap Ryan mendatangiku untuk menanyakan kondisiku usai pingsan tadi.

Namun, semua hanya harapan sampai acara selesai Ryan sama sekali tidak mendatangiku. Aku berlari ke toilet untuk menahan tangis dan sedih. Mungkin bagi sebagian orang ini adalah hal yang berlebihan, namun bagiku seharusnya Ryan mendatangiku sebagai timnya. Aku adalah bagian tim Ryan untuk acara ini, aku tidak minta perhatiannya sebagai kekasih. Sikap Ryan sangat membuatku kecewa. Aku keluar dari toilet dan kulihat Ryan sibuk berkemas-kemas dikarenakan acara sudah selesai dan siap berberes-beres. Entah kenapa perasaan geram menyelimutiku Kuputuskan untuk langsung pulang. Aku hanya menemui si pemilik acara dengan mengucapkan terima kasih sudah menggunakan jasa EO Ryan.

?Kamu tidak berbarengan dengan Ryan?? tanyanya.

Ternyata hingga saat itup un, Ryan tidak menemuiku, maka aku langsung pulang ke rumah dengan perasaan kesal tiada tara. Aku hanya ingin dihargai dan dianggap sebagai tim yang mana sikap Ryan kurasa menggambarkan hal itu. Aku tidak memintanya untuk menjadi kekasih di acara itu, tetapi ketua EO yang seharusnya memperhatikan seluruh anggota tim.

Ryan tidak tahu bagaimana aku berusaha untuk menjadi yang terbaik dengan menerima kegiatan hari ini, meskipun aku lelah tetap kupaksa untuk melangkah. Bahkan kualami kelelahan hingga jatuh pingsan, dirinya tetap saja tidak memperdulikanku. Kecewa adalah kata yang tepat kurasakan saat ini, hingga kapannya aku belum tahu.

Leave a comment