Hits: 326
Wiva Anza Dewata
Malam itu, setelah pulang dari kegiatan organisasi di kampusku, aku segera mandi dan makan. “Dingin sekali,” rutukku. Aku mematikan kipas angin yang ada di kamar kosku dan mulai melanjutkan tugas yang saat itu sedang kukerjakan.
Tak sadar jam sudah menunjukkan pukul 01.34 malam, sedangkan tugasku masih belum selesai. Namun karena aku merasakan tubuhku mulai panas, aku pun tidur. Tentu tidak mudah untuk membuatku lelap. Rasanya panas sekali di ruangan kecil ini. Ingin menghidupkan kipas tetapi ketika angin-angin itu menerpa badanku membuatkan meringkuk kedinginan.
Entah sudah berapa lama aku tertidur, aku terbangun karena badanku pegal sekali. Ku sentuh dahi dan leherku. Aku menggigil. Dingin sekali. Aku demam, tenggorokanku sakit sekali. Ku tarik selimut dan melanjutkan tidurku lagi.
Sekitar pukul 08.00 pagi aku bangun. Badanku seperti habis dipukuli, sakit sekali. Suhu tubuhku juga sangat tinggi. Mengingat kasus Covid-19 yang sedang naik, aku takut kalau ternyata aku terkena virus tersebut. Ku minum air sebanyak mungkin dan memesan sarapan.
“Hikss, abangg,” aku menangis tepat saat abangku mengangkat teleponku.
“Kenapa, dek? Kenapa?” raut wajahnya tampak sangat panik. Abangku merupakan mahasiswa tingkat akhir jurusan kedokteran di salah satu PTS di Indonesia. Dia paling mengerti semua kebutuhanku, makanya tak heran aku lebih memilih lapor duluan ke dia ketimbang orangtuaku.
“Adek sakit. Sakit sekali badannya. Badan adek panas.” Aku mengadu kepadanya.
“Kok bisa, dek? Sudah minum air hangat? Abang pesenin obat-obatnya, ya?”
Aku hanya menangis disitu. Abangku menanyakan gejala apa saja yang kurasakan.
Senang sekali memiliki dokter pribadi. Dalam waktu sekejap, datang berbagai macam obat-obatan ke alamat kosku.
“Abang, obat-obatannya sudah sampai. Terimakasih. Aku makan dulu, ya.” Kataku sambil sesekali menarik ingusku.
“Jangan lupa obatnya diminum yaa. Nanti abang jelasin kapan aja obatnya diminum.”
Sungguh makanan yang biasanya paling kusuka, kali ini tidak berasa. Tenggorokanku yang sakit ini juga membuatku susah menelan.
Selesai makan, aku membuka laptop berencana melanjutkan tugas yang belum kuselesaikan tadi malam. Belum ada 20 menit aku menatap layar laptop, mataku sangat perih. Aku tidak sanggup, bahkan kepalaku juga ikutan pusing. Aku menangis lagi. Kali ini aku menangis dalam diam. “Dasar lemah!” kataku dalam hati. Sebagai seorang anak kos, seharusnya aku tidak boleh selemah ini. Memutuskan menjadi anak kos secara tidak langsung seharusnya membuatku menjadi kuat dan tidak mudah mengeluh. Tapi kali ini aku kalah.
Drrtt…
Handphone ku bergetar. Sebuah pesan masuk dari abangku.
“Jangan lupa makan dan banyak minum ya, dek. Obatnya juga jangan telat. Badannya dipijat-pijat ya. Harus positif thinking biar cepat sembuh.”
Aku teringat dengan minyak pemberian ibuku. Kata ibu, minyak itu bagus sekali untuk orang sakit. Segera aku membuka minyak itu dan mulai memijat seluruh badan dengan sisa tenaga yang ada didiriku.
Aku ketiduran. Tetapi kali ini aku terbangun dengan keadaan tubuh yang lebih baik. Aku ingat sekali saat itu jam menunjukkan pukul 14.15 siang. Berarti sekitar satu jam dari saat aku memijat badanku dan sekarang badanku sudah baik-baik saja. Demamku sudah hilang dan aku bisa melanjutkan tugasku kembali.