Hits: 56
Nadila Tasya Tanjung / Jenni Sihombing
Pijar, Medan. Dipanggil-panggil atau digoda ketika sedang berada di jalan pasti pernah dialami oleh hampir semua orang. Tak hanya perempuan, laki-laki bahkan pernah dijadikan objek dari tindakan ini. Tak hanya tindakan verbal, bahkan sebagian korban pernah sampai mengalami pelecehan seksual secara fisik.
Kejadian-kejadian yang demikian tentu akan membuat kita merasa tidak nyaman. Bahkan di beberapa kasus, seseorang bisa saja mengalami depresi berat hanya karena memikirkan hal tersebut secara terus-menerus. Nah, kejadian-kejadian yang tidak mengenakan tersebut dinamakan dengan catcalling.
Catcalling tergolong ke dalam kasus kekerasan seksual yang banyak terjadi di sekitar kita. Dalam kamus Oxford, catcalling diterjemahkan sebagai siulan, panggilan, dan komentar yang bersifat seksual dan bahkan terkadang diikuti dengan tatapan yang bersifat melecehkan yang membuat orang, yang mayoritas perempuan menjadi tidak nyaman. Ironisnya, keadaan tersebut justru malah dianggap hal yang lumrah oleh sebagian orang, terutama pelaku yang mayoritas berasal dari kaum laki-laki.
Catcalling sering terjadi di tempat-tempat umum, seperti halte, stasiun, dan tempat-tempat umum lain seperti di pinggiran jalan. Pada hakikatnya mereka sebagai pelaku atau catcaller mengakui hal tersebut adalah bentuk sebuah pujian untuk seorang wanita yang dianggap menarik, atau hanya sekedar candaan biasa. Tanpa disadari, wanita sebenarnya akan merasa terganggu dan terancam dengan tindakan para catcaller tersebut. Secara spontan mereka bisa saja akan merasa was-was dan menjadi panik. Bahkan menurut sebuah survei psikologis yang berbasis di Nex Jersey, catcalling dapat menyebabkan korbannya tanpa sadar melakukan penilaian atas diri sendiri seperti layaknya menilai benda (self-objectification).
Catcalling sering terjadi saat seseorang berjalan sendirian di tengah orang-orang yang sedang bergerombol. Biasanya, pelaku dengan spontan bersiul-siul memanggil, mengklakson, mengatakan hal-hal tak senonoh, atau bahkan sampai melakukan pelecehan fisik terhadap korban.
Kejadian-kejadian demikian sangatlah menggangu dan meresahkan. Bukannya membuat para korban menyukainya, mereka cenderung menjadi lebih takut. Bahkan sebagain korban akan mengalami depresi atau yang disebut PTSD (gangguan stres pasca trauma) yaitu menyalahkan diri sendiri.
Secara umum remaja adalah orang-orang yang paling sering merasakan kejadian memalukan ini, namun walaupun begitu ternyata kalangan anak muda bahkan ibu yang telah menikah juga sering merasakan hal yang demikian. Selain wanita, pria juga bisa menjadi korban catcalling apalagi kalau ia mempunyai tubuh yang bagus, dan fisik yang tampan.
Di beberapa negara, tindakan catcalling termasuk perbuatan yang melanggar hukum dan pelakunya dapat dijatuhi hukuman, mulai dari denda yang cukup tinggi hingga ancaman kurungan. Sejauh ini, terdapat enam negara yang sudah memiliki undang-undang yang mengatur pelecehan jalanan, yaitu Belgia, Portugal, Argentina, Kanada, New Zealand dan Amerika Serikat. Sementara, sayangnya di Indonesia belum ada aturan jelas yang dapat menjerat pelaku.
Sejatinya, catcalling merupakan tindakan tidak pantas yang tergolong ke dalam street harrasment, atau pelecehan di jalan. Pelecehan ini dapat diminimalisir dengan memberi pemahaman dan menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat bahwa tindakan catcalling adalah bukan tindakan lumrah dan bukan lelucon, justru tindakan tersebut sangat mengganggu dan dapat merusak mental seseorang. Para pelaku juga harusnya ditindak tegas dengan diterbitkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang dapat menjerat pelaku agar kejadian serupa tidak kembali terjadi.
Sobat Pijar yang menjumpai keadaan tersebut juga hendaknya dapat tegas dengan para pelaku. Jangan lagi mau dijadikan objek bercandaan tak pantas orang-orang yang tak memiliki sopan santun.
(Editor: Diva Vania)