Hits: 156
Kezia Emmanuella / Star Munthe
“Kesedihan dihapuskan, seks bebas adalah hal yang keren, dan narkoba dilegalkan—melalui tiga hal tersebut, apakah kamu yakin itu dunia yang sangat menyenangkan? Tidak.”
Pijar, Medan. Setiap kita masing-masing tentu punya proyeksi tersendiri tentang dunia yang kita impikan. Barangkali kita sama-sama berharap bahwa masa depan tak dihinggapi lagi oleh kesedihan. Terkadang juga di sepertiga malam mungkin, setiap kita merenungkan apalah arti dari semua norma yang mengikat ini. Hanya memejarakan kebebasan kita dalam memilih dan berekspresi.
Belakangan kegelisahan itu sempat surut setelah Brave New World, novel dystopia karangan salah satu penulis tersohor di abad ke-20, Aldous Huxley. Dosen dari George Orwell tersebut jauh sebelum pertengahan abad ke-20 telah membayangkan bagaimana jika sains-teknologi membantu homo sapiens dalam menciptakan tatanan dunia baru. Dimana dalam cerita tersebut digambarkan dengan keadaan dunia di masa depan yang masyarakatnya hidup di bawah pengontrolan dari pemerintah, birokrasi, dan teknologi.
Dunia yang Huxley bangun adalah dunia yang mengedepankan sains, dan menyingkirkan ketuhanan. Dalam dunia tersebut, ada tiga hal yang dianggap sebagai penyebab utama kesedihan dan perang pada umat manusia; ketuhanan, keluarga, dan seni. Maka manusia modern tersebut pun menghapus 3 unsur tersebut dari budaya masyarakat modern.
Demi menciptakan ras yang unggul, manusia tak lagi lahir dari rahim wanita, melainkan di dalam tabung-tabung yang telah melalui penyeleksian ketat dari sel sperma dan sel telur yang unggul. Dimana para calon manusia juga dihilangkan dari segala penyakit, kecacatan fisik, dan akan hidup sebagai manusia tunggal yang tidak memiliki orang tua dan keluarga. Dengan begitu para ilmuwan memprogram genetika manusia modern tersebut, menghapus idealisme kebebasan dan memprogram agar manusia tersebut tidak terlahir cacat.
Jika dipandang dari tatanan masyarakatnya, dunia ini juga tak jauh berbeda dengan dunia yang kita hidupi sekarang, dimana manusia tak pernah lepas dari klasifikasi alias kelas-kelas sosial. Pada dunia baru manusia dibagi ke dalam dua kasta. Kasta pertama ialah kaum orang New London, merupakan golongan masyarakat berintelektual dan berpendidikan. Mereka hidup didampingi teknologi canggih. Kaum New London ini hanya memiliki dua jenis ras, yaitu ras Alfa dan Beta. Kasta kedua sering disebut dengan “orang liar” yang tinggal (diasingkan) di sebuah kota yang dijuluki sebagai kota New Mexico atau Savage Land. Mereka adalah proyeksi dari manusia yang tidak lahir dari tabung, masih lahir dari rahim wanita. Mereka semua hidup dalam kemiskinan di lingkungan yang sangat kumuh yang tidak pernah mendapat sentuhan dari pemerintah. Kaum masyarakat Savage Land ini memiliki tiga jenis ras yaitu ras Epsilon, Gamma, dan Delta.
“Tapi aku tidak inginkan kenyamanan. Aku ingin kemiskinan. Aku ingin bahaya. Aku ingin merdeka. Aku ingin kebaikan. Aku ingin dosa.”—Aldous Huxley
Jika kalian mengingat istilah margine of error, maka dengan istilah tersebut pula cerita ini akan semakin menarik. Teknologi memang deprogram, tapi ia juga kadang (dalam kemungkinan yang kecil) melakukan kesalahan.
Hal tersebutlah yang melatarbelakangi kelahiran manusia modern yang berbeda dengan sesamanya, Bernard Marx. Barangkali juga Huxley menamai Bernard karena kekagumannya pada salah satu penulis terbesar Inggris Bernard Shaw, dan kata Marx barangkali ia ilhami dari Karl Marx, salah satu pemikir terbesar sepanjang masa.
Marx pada kesehariannya merasakan ada yang tidak sesuai dengan dirinya dan masyarakat. Marx adalah proyeksi dari manusia penyendiri alias anti sosial. Kelak perasaan terpenjara Marx tentang masyarakat modern akan terjawab. Pada hakikatnya semua manusia tersebut harus bekerja, dan upah yang mereka peroleh adalah pil kebahagian yang bernama soma. Pil tersebut sebenarnya adalah candu atau narkoba, yang penggunaannya sangat dikontrol oleh pemerintah.
Pada suatu ketika Marx berkunjung ke New Mexico, semacam kebun binatang—tapi kali ini isinya adalah manusia kuno (dibaca: manusia sekarang). Ia kemudian menyaksikan manusia-manusia tersebut menganggap seks sebagai hal yang tabu untuk dipertunjukkan, menyembah Tuhan, dan terdapat perasaan sedih dan senang yang menyelimuti manusia liar tersebut.
Bernard Marx yang sedari lahir dan tumbuh besar dalam ketentraman kota New London begitu terkejut ketika melihat kehidupan yang terdapat di Savage Land. Dimana kehidupan di sana sangat bertolak belakang sekali dengan kehidupan yang ia jalani selama ini di New London. Ia banyak menemukan pelajaran hidup baru selama ia berada di Savage Land. Ternyata sekat-sekat besi yang mengurung manusia liar tersebut bukanlah berarti penjara apa-apa dibanding penjara budaya yang diciptakan pemerintah dan ilmuwan pada kehidupan masyarakat modern.
Bernard Marx merasa bahwa kebahagiaan yang selalu di agung-agungkan rakyat New London ialah hanya sebuah kebahagiaan semu yang didapat dari sebuah Soma. Rakyat New London tidak pernah mengenal apa itu yang namanya cinta dan kasih. Sedari mereka kecil, mereka sudah ditanamkan dengan propaganda-propaganda demi tidak menimbulkan kecurigaan terhadap pemerintah ketika mereka dewasa.
Seni dihapuskan, sehingga penjiwaan dan ideologi tak akan tumbuh. Kitab suci diharamkan, digantikan dengan kurikulum propaganda pemerintah. Kesenangan tak lagi berasal dari saat kita memberi kepada orang lain atau saat melakukan suatu pencapaian, melainkan melalui seks bebas dan candu.
Huxley menitipkan ketakutannya akan masa depan kepada manusia abad ke-21. Pesan pesimisnya akan perubahan oleh teknologi bukan mengartikan kita harus menolak teknologi itu sendiri, karena pada hakikatnya homo sapiens akan terus mengalami perkembangan. Dari zaman batu sampai zaman komputer, ketakutan yang ia pesankan adalah sebagai alarm untuk tidak melepaskan hakikat kemerdekaan.
(Editor: Lolita Wardah)