Hits: 15

Frans Dicky Naibaho

Pijar, Medan. Bencana pandemi Covid-19 tak kian usai. Terhitung hingga 24 September lalu, berdasarkan data World Health Organization (WHO) dan Public Health Emergency Operating Center (PHOEC) Kemenkes, telah terjadi sekitar 262 ribu kasus Covid-19 di Indonesia sejak pertama ditemukannya kasus tersebut pada Maret 2020. Dengan angka yang terus meningkat, berbagai wilayah di Indonesia malah menerapkan normal baru (new normal). Peran media pun kian dipertanyakan; Media harus apa ditengah situasi normal baru?

Universitas Andalas melalui mahasiswa Ilmu Komunikasinya menyelenggarakan diskusi hangat bertajuk ‘Sarasehan Jurnalistik’, dengan mengangkat tema ‘New Normal, Media Harus Apa?’. Diskusi tersebut diselenggarakan secara virtual melalui platform Zoom pada Kamis (24/9).

Tanpa ragu, Universitas Andalas menghadirkan awak media dan ahli medis dalam diskusi tersebut. Seperti Muhammad Rayhan yang merupakan Kepala Digital Spesialis Haluan.co, Khairul Jasmi Pemimpin Redaksi Koran Singgalang, dan juga Akhir Nasution Reporter tvOne. Selain itu, ada pula kehadiran Kepala Pusat Laboratorium Diagnostik dan Riset Infeksi Universitas Andalas, dr. Andani Eka Putra.

Dokter Andani, dalam pemaparannya siang itu mengungkapkan bahwa peran jurnalis ditengah-tengah pandemi tidak kalah penting dibandingkan peran paramedis. Terlebih dalam hal komunikasi bersih. “Komunikasi itu harus terbangun dengan bersih. Kerap kali jurnalis salah dalam menggunakan bahasa kesehatan karena mereka tidak paham, sehingga istilah-istilah yang digunakan ada yang keliru,” ungkap Dokter Andani yang setelahnya menegaskan bahwa tidak keseluruhan jurnalis demikian.

Media selaku pilar keempat demokrasi di Indonesia tentu memiliki tanggung jawab sosial dalam menyampaikan berita yang baik dan benar. Dokter Andani merumuskan sekiranya ada enam poin penting peran perusahaan media dalam pemberitaan Pandemi Covid-19, informasi yang disampaikan harus realistis, sugestif atau mendorong, solutif, kritis akan kebijakan yang salah, memberi pemahaman, serta menganalisis data.

“Semua jadi masalah di kita (Indonesia) ini, berita itu bergantung pada selera konsumen, bukan kehendak wartawan. Maunya berita buruk, ya kami kasih berita buruk. Coba selera konsumen nggak itu. Tapi tentu tidak melulu berita buruk yang diberitakan,” tutur Khairul Jasmi ketika ditanya oleh salah satu peserta terkait media cenderung memberi pemberitaan yang buruk.

Jurnalis yang akrab disapa KJ itu melanjutkan, “Berita itu komprehensif. Berita sebaiknya adalah berita yang lengkap, seperti rumah. Pondasinya ada, tiangnya ada, pintunya ada, pakunya cukup, atapnya tidak bocor, tidak dibantah orang. Berita itu berat, biar kami (jurnalis) saja,” lanjut KJ.

Antusias peserta webinar Sarasehan Jurnalistik saat sesi tanya jawab dibuka. (24/9) (Penangkap Layar: Frans Dicky Naibaho)
Antusias peserta webinar Sarasehan Jurnalistik saat sesi tanya jawab dibuka. (24/9)
(Penangkap Layar: Frans Dicky Naibaho)

“Perannya media Haluan.co pun di zaman new normal sekarang tetap sama, beroperasi dengan sama. Cuma kita lebih menggunakan beberapa teknologi yang baru untuk mempersimpel cara pemilihan berita. Mungkin kita newsroom-nya diperkecil dan juga wartawan-wartawan kita sekarang tidak selalu liputan. Karena kita ada metode baru dalam penulisan berita yaitu berita pointer,” kata Muhammad Rayhan.

Hingga kini, belum ada protokol baku bagi wartawan dalam melakukan liputan. Tak ayal mengapa setiap media memiliki gaya masing-masing dalam menghadapi normal baru.

“Memang sayangnya juga, setiap perusahaan media itu berbeda-beda dalam memberlakukan wartawannya ketika melakukan peliputan di lapangan,” ucap Akhir Nasution. “Kalau saya sendiri belum pernah merasakan WFH (work from home) hingga saat ini,” lanjutnya. Tentu saja, seorang jurnalis harus siap untuk diturunkan ke manapun atas tujuan pemberitaan. Tapi protokol dasar kesehatan seperti menggunakan masker dan berjaga jarak semestinya tetap dilakukan oleh media.

Meski masa normal baru dengan masa normal hampir tidak terasa perbedaannya, media-media di Indonesia tampak tetap mengutamakan keselamatan para reporternya.

“Tiada nyawa seharga berita, kesehatan para jurnalis itu penting,” celetuk salah satu pemateri dalam acara tersebut, Khairul Jasmi, mungkin lebih dikenal sebagai sosok ayah dari Novelis J.S, Khairen. Ia jelas menyatakan bahwa kesehatan dan keselamatan tetap menjadi kunci penting bagi media dalam melakukan peliputan.

Pandemi Covid-19, semakin hari semakin berusaha memutus nadi. Kematian akibat kasus Covid-19 pun hampir setiap hari ditemukan. Lantas, jika kebebasan pers dilindungi oleh hukum, semestinya keselamatan pers juga turut dipertimbangkan.

(Editor: Erizki Maulida Lubis)

Leave a comment