Hits: 19
Aisha Tania Sinantan Sikoko
Pijar, Medan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bekerja sama dengan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) sukses menyelenggarakan diskusi media daring yang mengangkat topik “Membendung Jumlah Perokok Anak lewat Kenaikan Cukai”. Diskusi ini dilaksanakan melalui platform Zoom dan live Facebook pada Senin, (31/08) pukul 13.30 hingga 15.30 WIB.
Diskusi yang berlangsung selama dua jam ini dihadiri oleh tiga orang penanggap yang berlatar belakang berbeda yakni Teguh Dartanto S.E., M.Ec., Ph.D (Kepala Tim Riset PKJS-UI), Wawan Juswanto, Ph.D (Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan), dan Faisal H. Basri, S.E., M.A (Pengamat Ekonomi Senior).
Untuk menemani ketiga pembicara, turut hadir pula Prima Wirayan, seorang Editor Bisnis The Jakarta Post sebagai moderator dan Lisda Sundari selaku Ketua Yayasan Lentera Anak sebagai penanggap. Selain itu, peserta dari berbagai media juga ikut meramaikan diskusi daring ini. Ada dari Tirto.id, VOA, dan The Jakarta Post.
Dilihat dari data oleh Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi merokok pada anak terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 prevalensi merokok menunjukkan angka 7,2%. Lalu pada tahun 2018 masih belum turun dan mencapai angka 9,1%.
Berdasarkan hasil penelitian oleh Teguh Dartanto dkk, ditemukan bahwa faktor Peer (teman sebaya) dan Price (harga) secara statistik berpengaruh terhadap peluang anak merokok. Menurutnya, harga sangat berpengaruh terhadap keputusan merokok atau tidak merokok terutama kelompok pendapatan rendah. Dari hasil tersebut, Teguh dkk merekomendasikan bahwa kunci pengendalian rokok pada anak adalah dengan menaikkan harga rokok. Salah satu caranya yaitu menaikkan cukai rokok.
Faisal H. Basri berpendapat bahwa selain cukai memiliki peran penting dalam pengendalian rokok, teman dapat memberi akses terhadap rokok khususnya kelompok pendapat rendah sehingga harga tidak menjadi penting. “Tidak diragukan lagi bahwa cukai memiliki peranan penting selain kawan. Ada masalah juga dengan kawan. Jadi saya anak miskin, nggak mampu beli rokok. Gara-gara saya berkawan sama anak kaya yang mampu merokok saya jadi ikut-ikut. Jadi, sekali pun dia miskin, dia dapat akses karena kawannya kaya. Dia nggak perlu beli.”
Selain itu, beliau menambahkan bahwa meskipun nantinya harga cukai rokok naik, para pengusaha rokok akan tetap punya akal seperti merekayasa harga dengan mengeluarkan rokok 20 batang, 16 batang, dan 12 batang, seolah-olah rokok 12 batang lebih murah yang apabila dihitung eceran akan lebih mahal. Oleh karena itu, beliau menawarkan, “tidak sekadar cukai, tapi juga keleluasaan untuk memodifikasi jumlah batang per bungkusnya.”
Wawan Juswanto juga menjelaskan bahwa cukai hanya salah satu instrumen pemerintah dan ada tiga hal yang diperhatikan dalam merancang kebijakan cukai yaitu dari sisi kesehatan, pendapatan negara, dan industri. Tantangan kebijakan cukai adalah pemangku kepentingan dan dinamika ekonomi.
Untuk saat ini, batas maksimal cukai rokok sebesar 57%. Dalam sesi diskusi, Teguh Dartanto bertanya apakah mungkin batas maksimal cukai dapat diubah saat ini. Kemudian dijawab oleh Wawan Juswanto, “pertama harus mengubah undang undang cukai yang ada maksimal 57%. Kenapa 57% saya juga kurang tahu.”
Setelah mendengar pemaparan oleh ketiga pembicara, akhirnya Lisda Sundari memberi tanggapan berbeda dengan pandangan hasil terjun ke lapangan langsung. Ia menuturkan bahwa anak-anak masih dapat menjangkau rokok batangan yang harganya jauh lebih murah meskipun cukai naik hampir setiap tahun. Beliau juga menuturkan bahwa semakin tinggi pendapatan yang diterima dari cukai rokok berarti semakin tinggi konsumsi rokok. Sehingga diambil kesimpulan bahwa cukai tidak bisa mengendalikan konsumsi rokok.
“Kami berharap kebijakan tidak hanya menaikkan cukai rokok tapi juga melarang jual batangan. Selain itu saya melihat bahwa perlakuan terhadap rokok dan alkohol berbeda. Padahal sama-sama diatur oleh undang-undang cukai. Alkohol nggak boleh diiklankan, tapi rokok boleh. Perlu didiskusikan untuk menaikkan cukai rokok sama dengan cukai alkohol yang mencapai 80% atau WHO mengatakan bahwa 2/3 (Harga Jual Eceran) HJE yang dianggap akan efektif ,” harap Lisda Sundari.
(Redaktur Tulisan: Widya Tri Utami)