Hits: 80
Tasya Nandita
Pijar, Medan. “Banyak cerita di Papua belum hadir di masyarakat. Saya yakin kalau lebih banyak lagi media-media nasional, media-media di Jakarta mau turun, jalan itu akan selalu ada, kami sudah membuktikan, nantinya akan banyak peliputan di Papua dan itu akan membantu untuk membangun secara utuh cerita di Papua,” ucap Aryo Wisanggeni selaku Editor Jubi.
Kerusuhan di Wamena membuka mata para jurnalis bagaimana seharusnya meliput Papua. Menjadi pekerjaan rumah bagi jurnalis untuk lebih rajin lagi menulis tentang Papua. Banyak angle yang dapat diulik, bahkan banyak kasus yang belum tersentuh. Kebebasan jurnalis dalam membuat sebuah liputan juga sangat terbatas.
Namun dengan keterbatasan itu, bukan berarti tidak ada peluang untuk memperbaiki keadaan yang ada. Peran jurnalis saat menghadapi isu-isu di Papua sangatlah penting. Posisi jurnalis sebagai garda terdepan penyampaian informasi kepada publik menjadi tanggung jawab yang besar. Bagaimana berita yang disajikan kepada publik telah solid kebenarannya, telah merangkul dari segala aspek-aspek yang bersangkutan, menjadi hal yang tidak mudah, apalagi jika itu terjadi di Papua.
Kenyataan tersebut dirasakan langsung oleh Victor Mambor dari Redaksi Jubi, Aryo Wisanggeni sebagai Editor Redaksi Jubi, Syofiardi Bachyul dari perwakilan Jakarta Post, Fahri Salam dari Tirto.id, dan Vembry Waluya dari Jakarta Post saat meliput Kerusuhan Wamena, Papua. Kerusuhan yang digadang-gadang sebagai salah satu kerusuhan terbesar dan terparah sepanjang sejarah Indonesia.
Para jurnalis yang terjun langsung menyaksikan kerusuhan tersebut mengungkapkan bahwa Kerusuhan Wamena kala itu tak sesederhana yang digambarkan banyak media-media mainstream. Hal itu disampaikan pada forum Diskusi Online bertajuk “Wamena Investigation : What the government is not telling us” yang diadakan oleh Redaksi Jubi di kanal youtube dan zoom pada Rabu (24/6). Forum diskusi ini menjadi wadah untuk menyebarluaskan informasi-informasi yang ada di daerah Papua untuk dapat diketahui lebih luas oleg masyarakat Indonesia dari sudut pandang jurnalis.
“Dimulai dari isu ‘teriakan monyet’ merembes ke Jayapura, dan lanjut ke Wamena, liputan media saat itu tidak jelas mengenai korban, data dari otoritas tidak lengkap, malah saya mendapat data lengkap dari perantau Sumatra Barat yang ada di Papua. Saya terjun ke lapangan langsung untuk mendapatkan fakta. Saya sebagai jurnalis ingin mendapat jawaban langsung dari korban, karena informasi yang kebanyakan beredar itu berdasarkan dari orang ketiga-keempat.” ungkap Syofiardi Bachyul, kontributor Jakarta Post.
Kehadiran jurnalis disana membuka jalan untuk menelusuri fakta-fakta yang ada, seperti fakta jumlah korban akibat kerusuhan tersebut. Para jurnalis yang terlibat tak hanya menerima dengan mentah-mentah informasi dari kubu otoritas, tetapi dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya narasi dari orang Papua yang ada dalam kerusuhan tersebut, mewanwancarai akademisi, pastor, tokoh masyarakat, paguyuban di mana banyak informasi yang terabaikan oleh media.
Pernyataan tersebut disetujui oleh peserta forum, salah satunya Juliet Waromi yang memberi komentar terhadap kasus Wamena. “Berarti investigasi kasus wamena harus kembali kepada sumber utamanya, bukan dari aparat maupun mereka yang berpihak kepada pemerintah demi nama baik pemerintah.”
Naluri sebagai jurnalis pasti ingin mengungkap apa yang terjadi sebenarnya dalam sebuah peristiwa. Kerusuhan wamena ini menyangkut masalah kemanusian. Satu hal yang masih tertinggal, terbengkalai, dan diabaikan oleh media yaitu penyebab dari konflik itu sendiri, sejauh mana kasus ini ditelusuri, kemudian diproses dan dikonstruksi, bagaimana peran pemerintah untuk mencegah konflik ini terjadi lagi.
Kerja para jurnalis tak sampai disitu, seperti yang diungkapan oleh Aryo Wisanggeni. Ada luka baru yang akan terbuka ketika para jurnalis mencoba meliput di sana. “Meliput peristiwa sebesar ini adalah bagaimana kita menggali fakta tanpa menimbulkan luka baru atau istilahnya mengabaikan para korbannya, siapapun pihaknya, karena saya sangat terganggu pada pemilihan para korban Papua dan non-Papua,” jelas Aryo.
Forum diskusi online “Wamena Investigation : What the government is not telling us” memperlihatkan kita bahwa jurnalis-jurnalis dari ibukota dapat turut andil dalam membungkus berita Kerusuhan Wamena yang terjadi. Kolaborasi jurnalis seperti yang dilakukan Victor Mambor, Aryo Wisanggeni, Syofiardi Bachyul, Fahri Salam, dan Vembry Waluya sangat penting, untuk menyuarakan perspektif lain jurnalis saat melihat Papua. Hasil dari kolaborasi jurnalis inipun ditulis oleh Evi Mariani dan dimuat di Jakarta Post telah mendapatkan penghargaan “Gold Award – The Best Investigation Reporting.”
Beranjak dari keberhasilan itu hendaknya menjadi langkah baru bagi para jurnalis lainnya dan media-media yang punya kemampuan membangun informasi di Papua, untuk berusaha peka akan isu-isu di Papua dan giat menggali fakta. Menjadi cara jurnalis untuk memperbaiki situasi yang rumit dan mencari jalan untuk perdamaian di Papua.
“Harus diakui banya media yang wartawannya tidak mau bicara ham ketika di Papua, itukan jadi persoalan mau menulis Papua. Lebih ketidakprofesionalan, mau cari gampang, malas, padahal ada ketimpangan informasi yang struktural memang perlu ditinjau lebih dalam. Karena ini diskusi ini membantu untuk memperbaaiki ketimpangan struktural tersebut. Media dan jurnalis sudah seharusnya membicarakan Papua itu dengan lebih jernih, memotret papua dengan objektif.” tegas Evi Mariani.
(Redaktur Tulisan: Hidayat Sikumbang)