Hits: 20
Hidayat Sikumbang
“Jadi, semua orang adalah satu orang. Kata Mas Alri, makanya setiap kamu melukai orang, kamu melukai diri sendiri juga. Dan, setiap kamu membuat orang senang, kamu membuat kamu sendiri senang.” –Di Tanah Lada, hlm. 141
Pijar, Medan. Menjadi anak-anak adalah suatu hal yang menyenangkan. Salva, atau Ava, adalah seorang bocah perempuan yang unik untuk anak seusianya. Sebagai seorang anak-anak, wajar saja ada banyak hal yang tidak dimengerti oleh Ava. Itulah mengapa, sehari-harinya, Ava lebih memilih untuk membawa kamus agar mudah mencerna setiap ucapan-ucapan yang ia dengarkan.
Di mata kedua orang tuanya, Ava adalah pribadi yang berbeda. Bagi Ibunya, Ava adalah anak yang cerdas, itulah mengapa Ava menyayangi Ibunya. Berbeda dengan Ayah. Ayahnya menilai, Ava adalah anak yang tidak berguna. Dan Ayahnya pun lebih memilih untuk memanggil Ava dengan sebutan, “Saliva” yakni air ludah.
Kehidupan keluarga bocah kecil ini berubah drastis semenjak meninggalnya Kakek Kia, kakek kandung Salva. Sang kakek sangat menyayanginya, melebihi rasa sayangnya kepada Ayahnya sendiri. Kakek memberikan Salva buku kamus agar nantinya, Salva bisa memahami setiap ucapan yang ia baca dan ia dengar di kehidupan sehari-hari. Sejak saat itu, Salva menjadi mahir berbahasa Indonesia dengan benar.
Aku bilang ke Kakek Kia, sulit sekali menemukan “kebenaran” dalam kamus. Lalu, dia tampak sedih. Dan, kata Kakek Kia, “Lebih sulit lagi menemukannya di dunia nyata.”
Namun, menjadi mahir dengan bahasa adalah salah satu yang aneh bagi orang lain. Keheranan Salva memuncak ketika ia dipindahkan di Rusun Nero. Ya, semenjak meninggalnya Kakek Kia, Salva dan keluarganya pindah ke Rusun Nero karena satu hal, lantaran rusun yang lusuh ini dekat tempatnya dengan kasino. Semua keputusan ini dipilih sang Ayah. Dan dari sinilah petualangan dari cerita bermula.
Buku ini mampu mengaduk emosi pembaca di bagian awalnya. Ia bertemu dengan P, anak lelaki seusianya yang juga mengalami nasib serupa, dibenci sang ayah. P tinggal di Rusun Nero, tempat tinggal baru Ava. Tentu saja, kesan pertama dari seorang P ketika bertemu dengan dirinya adalah Ava cukup aneh bagi orang seusianya. Sifat polos Ava yang banyak tidak mengerti tentang kata baru tentu menimbulkan kesan lucu bagi pembaca.
Sebuah buku yang baik bukanlah sebuah buku yang memiliki secuil kekurangan pula? Begitu juga dengan novel “Di Tanah Lada” karangan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie ini. Ziggy menggambarkan sosok Mama, ibu dari Ava yang terlalu tabah. Sejak kelahiran Ava, jelas tergambar betapa bencinya Papa, ayah Ava. Papa hendak memberi nama sang anak Saliva. Lantas, apakah memilih bertahan dalam hubungan pernikahan hingga Ava tumbuh menjadi anak yang cerdas seperti sekarang ini adalah keputusan yang terbaik?
Meskipun begitu, novel ini memiliki cerita yang tidak rumit. Ava mampu mengaduk emosi bagi siapapun yang membaca novel ini. Novel Di Tanah Lada mampu mengajarkan kita, bahwa berbahasa yang benar, belum tentu baik bagi masyarakat kita.
(Redaktur Tulisan: Intan Sari)