Hits: 53

Dita Andriani

 

Judul buku      : Sepi Manusia Topeng

Penulis : Wawan Kurniawan

Penerbit           : Nala Cita Litera

Tebal buku      : 160 Halaman

Tahun terbit     : 2017 (Cetakan I)

Manusia sejatinya adalah pribadi yang mandiri, sendiri, tetapi manusia juga tidak bisa menerima kesendirian. Manusia menyadari diri sebagai individu yang terpisah, dan pada saat yang sama juga menyadari bahwa kesenangannya bergantung pada orang lain – hal 55

 

Pijar, Medan. Wawan Kurniawan, pria kelahiran Pinrang, Makassar ini telah berhasil membuka pikiran pembaca secara psikologis melalui tulisannya dalam buku Sepi Manusia Topeng. Buku ini membuat kita menyelami pemikiran penulis selama ia membaca buku yang dituangkan kembali dengan pikirannya sendiri.

Wawan telah memperoleh penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai penulis artikel pendidikan terbaik pertama pada 2012. Perstasi ini didapatkan karena ia memiliki target membaca buku hingga mencapai 150 dalam jangka waktu satu tahun. Hal inilah yang mengantarkannya dalam melahirkan sebuah karya yang telah dibangun sejak 2013 hingga 2016 silam. Salah satu bentuk kecintaannya terhadap literasi dituangkan dalam sebuah esai yang diterbitkan oleh koran Tempo Makassar.

Lima puluh esai literasi yang telah dimuat koran Tempo Makassar dapat kita nikmati dengan membaca buku ini. Setiap esai yang ditulis selalu dikuatkan oleh gagasan pemikir ahli terkait, seperti Percy Bysshe Shelley, Plato, Hegel, Erich Fromm hingga sajak Pramoedya Ananta Toer. Hal ini membuat kita bukan sekedar membaca pemikiran penulis, namun juga mendekatkan pada pemikiran penulis lain.

Kecintaan Wawan terhadap buku telah menelurkan sebuah buku lain, begitulah cara ia mengapresiasikannya. Buku ini telah menjadi sindiran tersendiri kepada manusia yang telah keluar dari jalurnya sebagai manusia. Pada esai yang berjudul “Mencemaskan Kepedulian Masing-masing”, Wawan berusaha menjelaskan kepedulian terhadap sesama mungkin sedang tertidur. Saat ini kita mungkin akan sependapat, jika untuk sementara, mencemaskan diri sendiri lebih mudah dibandingkan mencemaskan orang lain. Bukan hanya persoalan kecemasan, namun juga mengenai hubungan orangtua dan anak hingga politik pemerintahan.

Buku ini juga menganalisis jika para pejabat negara adalah puisi, ia akan memiliki alternatif dalam pemecahan masalah. Serta memiliki self-monitoring yang jauh lebih menjanjikan. Tidak hanya itu, jika para pemimpin mau untuk berpuasa, mereka akan melihat atau merasakan sejumlah hal yang sebelumnya jarang terlintas. Perut kosong barangkali satu pintu untuk kita agar dapat melihat kesederhanaan. Maka, dalam esai berjudul “Puasa dan Puisi”, Wawan menyimpulkan bahwa puasa akan membuat kita jauh lebih peka. Begitu juga dengan para penyair dan puisi yang antara lain lahir dari kepekaan dan kemampuan mereka dalam mengindahkan segala peristiwa.

Buku ini telah menjawab banyak hal tentang kesepian dan kecemasan manusia dalam hidup. Wawan berhasil menuangkan kecemasannya dalam sebuah karya yang dinikmati oleh manusia kesepian. Buku ini mengarjakan kita akan banyak hal dari sudut pandang yang berbeda dan menyiaratkan bahwa kita tidak akan pernah kesepian selama masih ada buku untuk dibaca. Maka mari merayakan kesepian dengan membaca buku. Membaca buku membuat kita dapat lebih kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar. Setidaknya itulah yang dilakukan buku ini dalam setiap pembahasannya.

(Redaktur Tulisan: Maya Andani)

Leave a comment