Hits: 530

Muhammad Abdul Fattah

Judul buku : Momoye: Mereka Memanggilku
Penulis : Eka Hindra, Koichi Kimura
Penerbit : Esensi Erlangga Grup
Tebal buku : 314 Halaman
Tahun terbit : 2007 (Cetakan I)

Aku diberi nama Momoye dan menempati kamar nomor 11. Sejak saat itu semua orang memanggilku dengan nama itu. Nama Mardiyem telah hilang di Telawang.

PIJAR, Medan. Namanya Mardiyem, seorang mantan Jugun Lanfu yang menjadi tokoh sentral buku biografi ini. Buku ini bercerita tentang perjuangan Mardiyem, dalam usahanya memperoleh keadilan atas tindakan rezim militer Jepang saat menjajah Indonesia di tahun 1942 sampai 1945. Kisah ini diceritakan secara langsung oleh wanita sepuh beranak satu ini.

Kisah Mardiyem dalam buku ini menceritakan betapa pedihnya nasib seorang wanita pada masa penjajahan kolonial Jepang di Indonesia. Berada di tengah kesengsaraan yang dirasakan, Mardiyem harus mampu memendam keinginannya menjadi seorang penyanyi terkenal.

Momoye sendiri berasal dari bahasa Jepang artinya penyanyi. Sedikit tipuan yang sangat menggugah hati, karena dijunjung tinggi namun dihempas bak kain pengelap debu jendela kaca.

Momoye adalah sebuah buku yang menjadi salah satu potret buram seorang perempuan dari Yogyakarta yang dipaksa menjadi “rangsum jepang” pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942. Mardiyem, demikian nama kecilnya, harus menanggung derita panjang selama menjadi Jugun Ianfu di Asrama tentara Jepang, Telawang Kalimantan Selatan. Ia disiksa, dianiaya, dan dipaksa melayani nafsu seks tentara Jepang pada umur yang masih sangat muda 13 tahun, bersama 24 orang perempuan lainnya, yang berasal dari berbagai daerah di pulau Jawa.

Membaca buku ini membuat kita menyadari bahwa ternyata banyak perempuan Indonesia di masa lalu yang harus menjadi korban kebuasan dan kebiadaban nafsu para tentara Jepang. Perempuan-perempuan yang sekarang sudah renta tersebut harus menanggung duka masa lalu yang tidak terpulihkan karena pemerintah Jepang sendiri berusaha mengingkari keberadaan Jugun Lanfu, sementara pemerintah Indonesia sendiri terkesan menganggap isu tersebut sebagai masa lalu yang lebih baik dilupakan.

Ketidakpedulian pemerintah Indonesia terhadap nasib para mantan Jugun Lanfu merupakan pukulan telak kepada masyarakat Indonesia, terutama generasi muda. Terlihat pula keserakahan pemerintah di masa Orde Baru yang menerima begitu saja bantuan dari Asian Women Fund (AWF) bentukan Jepang yang dianggap sebagai pemecah belah persatuan para mantan Jugun Lanfu.

Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa dana tersebut akan digunakan untuk membangun beberapa panti jompo sebagai tempat menampung para mantan Jugun Lanfu, namun pada kenyataannya dana bantuan tersebut lenyap tak berbekas. Sangat miris bagaimana pemerintah Indonesia tidak bisa melindungi kehormatan para korban tersebut.

Buku ini bukan novel. Ya, memang terlihat seperti novel dan barangkali bertutur layaknya novel, namun bisa dipastikan isinya adalah kisah nyata.

Buku ini menggelitik sisi kemanusiaan kita. Eka Hindira berhasil mengemas buku ini dengan bahasa lugas dan lugu ala Mardiyem sengaja diloloskan utuh.

Episode demi episode kehidupan Mardiyem seakan menjadi lini masa perjuangan bangsa Indonesia di sisi lain. Sisi yang lebih kelam dan cenderung luput dari perhatian. Kisah perjuangan para Jugun Lanfu barangkali memang tidak akan kita jumpai di buku sejarah kurikulum manapun, namun tentu saja kita tidak bisa menutup mata akan sosok-sosok teraniaya seperti mereka.

(Redaktur Tulisan: Viona Matullessya)

Leave a comment