Hits: 23

CiciAlhamdaina/DindaNazlia

Pijar, Medan. “Everyone was once a beginner”. Itulah prinsip andalan Sherly Yang (21) mahasiswi jurusan Kimia, Universitas Sumatera Utara. Dengan menggunakan prinsip itu, peneliti sains muda ini tidak pernah takut untuk memulai hal-hal baru. Baginya, semua orang itu adalah pemula pada awalnya. “Harus ada pegangan semacam itu, jadi kita berani untuk mencoba hal-hal baru” ujarnya memotivasi. Mengetahui taking first step adalah hal yang paling sulit, dengan dibayang-bayangi rasa takut, takut gagal, kita jadinya tidak bisa menaklukkan rasa takut itu sendiri. Ia menambahkan ”Whenever you doubt about yourself, remember how far you have come”, ini juga yang kerap ia katakan pada dirinya setiap kali rasa pesimis muncul. Pantas saja, seorang Sherly mampu memposisikan dirinya sebagai pemenang hampir di berbagai perlombaan bidikannya. Beberapa torehan prestasinya seperti Top 9 Board Of Director Challenge 2015 yang diadakan oleh PT. XL Axiata, terpilih menjadi Mahasiswa Berprestasi Fakultas MIPA USU 2015/2016, dan meraih penghargaan Presentation Award 2016 di ajang bergengsi tingkat internasional bertajuk 18th IMT-GT Varsity Carnival yang diselenggarakan oleh Rajamangala University of Technology Srivijaya bertempat di Songkhla, Thailand.

Hobi tak selalu menjadi kesenangan belaka, namun sudah membawanya menjawarai sejumlah kompetisi. Teranyar, si pecinta kopi hitam dengan susu/tanpa gula ini tergugah untuk melakukan penelitian tentang pengolahan limbah kopi. Lebih membanggakan USU lagi, yaitu penelitiannya yang berjudul “Pemanfaatan Limbah Kopi sebagai Bahan Dasar Pembuatan Fluorescent Carbon Nanoparticles Melalui Oksidasi Soot dengan HNO3 sebagai Material untuk Biomaging dan Biosensor” sukses keluar sebagai Juara II Tanoto Student Research Award 2016. Sedang dipersiapkan untuk melaju ke tingkat Nasional bulan Februari 2017 nanti di Jakarta. Dalam bahasa yang sederhana, ia menyebutkan bahwa penelitiannya ini menghasilkan sesuatu yang glow in the dark dan tergolong baru dalam penelitian semacam ini. Secara awam, penelitiannya dapat digambarkan sebagai karbon berukuran nano yang dapat berpendar. Limbah kopi sendiri ia ambil dari tempat nongkrong favoritnya, yaitu Starbucks.

Sherly Yang saat Juara II Tanoto Student Research Award 2016 dalam ajang “Pemanfaatan Limbah Kopi sebagai Bahan Dasar Pembuatan Fluorescent Carbon Nanoparticles Melalui Oksidasi Soot dengan HNO3 sebagai Material untuk Biomaging dan Biosensor"
Sherly Yang saat Juara II Tanoto Student Research Award 2016 dalam ajang “Pemanfaatan Limbah Kopi sebagai Bahan Dasar Pembuatan Fluorescent Carbon Nanoparticles Melalui Oksidasi Soot dengan HNO3 sebagai Material untuk Biomaging dan Biosensor”.

Lebih lanjut, si penghobi masak ini menjelaskan, limbah kopi banyak manfaatnya. Salah satunya untuk kompos dan bahkan bisa digunakan untuk bodyscrub. Mengambil partikel karbon dengan ukuran nano merupakan satu terobosan baru di bidang kimia dan sampai saat ini masih terus dikembangkan. Karbon sangat banyak di bumi ini, tetapi penggunaannya baru digunakan selama sepuluh dekade terakhir. Dari hal itu peneliti mulai berinovasi untuk menjadikannya renewable energy atau menjadi source yang lain.

Menilik sejumlah prestasi yang telah diraihnya, bukan berarti ia lalui tanpa hambatan dan rintangan. Ia pernah gagal dalam beberapa kompetisi sejenis dan tak jarang membuatnya pupus harapan. Energi semangat dan dorongan dari luar, terutama dari kerabat dan keluarga yang terus memupuknya untuk pantang menyerah. Tak jauh-jauh dari dunianya, dara manis ini menjadikan suatu sistem kimia sebagai filosofi dalam hidupnya. “Mengatasi masalah itu datang dari diri kita sendiri. Ketika kita down, stress maupun saat kita semangat, itu sebenarnya kita yang pilih dengan dibantu dorongan dari luar. Sama halnya pola sistem termodinamika, yaitu eksotermik yang memberi panas di lingkungannya dan endotermik yang menyerap panas di lingkungannya. Jika kita tarik ke diri kita sendiri, pertama sekali kita harus ‘menyerap’ atau mempelajari lalu kita harus bagi,” terangnya. Dalam waktu sebulan ia pernah ditolak sebanyak empat kali oleh empat kegiatan yang berbeda. Sempat patah arang, namun ia memilih bangkit untuk belajar menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya.

Di lain waktu, ia berada di titik terendah dalam hidupnya dan acapkali berpikir untuk menyudahi perkuliahannya. Pada akhirnya ia perjuangkan sesaat mendengar pertanyaan menghenyakkan sang ibunda ‘Anak kita tidak ada yang tamat dari negeri ya?’ hal ini justru menjadi pelecut semangatnya. “Sebagai anak bungsu dari empat bersaudara tentu saya ingin mewujudkan asa orang tua melihat saya wisuda dari negeri,”  ungkapnya bahagia.

Dibesarkan dalam lingkaran keluarga bisnis, tak lantas menjadikan sosok penyuka rumput laut ini ingin berada dalam satu lingkup yang sama. Ia mencetuskan suatu ide gerakan sosial yang bergerak dalam kepedulian terhadap kemajemukan budaya, bernama Medan Tanpa Kotak yang notabenenya memotori sebuah pesan untuk membangun kesadaran masyarakat dengan menghargai perbedaan di kota Medan. Hal ini bermula pada keprihatinannya terhadap keyataan bahwa di tengah masyarakat masih terjadi pembulian sosial, ketidaksukaan suku tertentu terhadap suku tertentu, pengotak-ngotakkan agama, dan ras yang ditemuinya di lingkungan kampus. Bahkan, dalam keluarganya sendiri yang memproritaskannya untuk bergaul dengan sesama etnis Tionghoa ia akui menimbulkan rasa ketidaknyamanan atas pandangan orang-orang diskriminatif terhadap dirinya. “Mengapa harus ada pengkotak-kotakkan hanya karena masalah warna kulit, ras, dan kepercayaan berbeda? Itu hak semua orang. Dan kita sama sekali tidak berhak membenci itu” tegasnya.

Ia menyadari cakupan terdekatnya yaitu keluarga dan teman-teman, ia sendiri yang memulai ini. “Bukan salah sepihak saja, tapi ini tanggung jawab semua pihak. Atas dasar itu saya dan tiga teman lainnya berinisiatif membentuk Medan Tanpa Kotak, sebuah youth movement yang berisikan rasa persatuan dan kesatuan Indonesia yang dimulai dari kota saya sendiri dan saat ini sedang bekerja sama dengan Tim Kita Creative untuk membuat efisiensi kampanye yang lebih efektif kedepannya” serunya mantap.

Melihat teman-temannya yang luar biasa dan sukses, ia berambisi untuk bisa menjadi seperti mereka bahkan lebih baik. Salah satu caranya adalah bergaul dengan orang-orang yang sukses dan berprestasi “Saya yakin orang-orang terdekatlah yang menggambarkan siapa kita,” ujarnya. Ia juga menerapkan cara berpikir yang sama dengan seorang penulis favoritnya, Paulo Coelho, melalui buku Winners Stand Alone, “Saya menyukai satu kalimat yang berbunyi tidak perduli seberapa baik cara seseorang melakukan sesuatu yang terpenting adalah seberapa nyaman kita mengerjakan sesuatu dengan cara kita sendiri,” tambahnya.

Kepekaannya terhadap hal sosial kembali terbukti dengan gerakan APUSO Youth yang ia bentuk bersama dua temannya, mengajarkan lima hal yaitu Awereness (kewaspadaan), Peace & Unity (Tanpa adanya pengkotak-kotakkan), Solidarity (Membutuhkan orang lain untuk membangun teamwork), serta Openmindedness (Keterbukaan pemikiran dalam hal menerima perbedaan).

Gadis muda yang tengah menyiapkan skripsinya ini sudah mengajar sejak duduk dibangku SMP, memulainya dengan kursus privat bahasa Inggris hingga ia terikat kontrak mengajar di beberapa lembaga kursus sampai sekarang ini. Baginya, kekayaan ilmu itu harus dikembangkan dan diaktualisasikan karena ilmu bukan untuk disimpan sendiri melainkan untuk dibagi. Dengan mengajar juga ia dapat melatih dan menilai sudah sejauh mana kemampuannya, terutama dalam berbahasa Inggris. Berbekal segudang pengalamannya ini, ia tidak mau mengajar dengan cara konvensional, namun ia mengajarkan murid-muridnya cara berpikir kritis, mengimplementasikan ilmu mereka, dan terampil berbicara di depan umum

Penggemar sajian Jepang ini sekarang tengah disibukkan dengan persiapan mengikuti YSEALI Academic Fellowship Spring pada sekitar bulan Maret 2017 nanti di Amerika Serikat dalam program Civic Engagement selama lima minggu dimana ia dinyatakan lolos setelah melalui tahap seleksi yang ketat. Ia berharap, sepulangnya nanti dapat mengembangkan komunitas-komunitas sosial yang dinaunginya bersama tim agar jauh lebih baik lagi.

“Jika saya berhasil melangkah ke jenjang studi S2 atau pun S3 di luar negeri, saya akan kembali ke Indonesia dengan menghasilkan penelitian-penelitian yang lebih berkualitas dan akan merubah sistem edukasi yang ada di Indonesia. Saya yakin bisa karena itu merupakan salah satu self content bagi saya. Saya pribadi menganggap uang hanya menjadi bonus. Kepuasan itu yang paling berharga. Orangtua saya selalu bilang, jika melakukan hal yang baik pasti sukses akan datang dengan sendirinya,” ucapnya ketika menceritakan mimpinya. Saat disinggung mengenai tujuan hidupnya, dengan ketulusan niat ia mengungkapkan “Saya hanya punya satu cita-cita. Saya ingin menjadi orang yang bermanfaat untuk masyarakat melalui bidang akademis”.

Ia menargetkan, sebelum usia tiga puluh, setidaknya harus sudah layak menjadi seseorang yang berpengaruh dalam dunia pendidikan, baik itu sebagai pembicara/motivator, atau pun sebagai dosen muda. Dengan ambisi dan jiwa pantang menyerahnya, Sherly Yang yakin bahwa ia mampu berguna dan berkontribusi bagi Indonesia. Suatu semangat mulia yang perlu dicontoh kaum muda saat ini.

Leave a comment