Hits: 12
Alfi Rahmat Faisal
Pijar, Medan. Bagi masyarakat Brasil sepak bola adalah “nafas” kedua kehidupan mereka, tak terkecuali orang-orang di kota Chapeco, Brasil. Malam itu kegembiraan tumpah ruah di salah berbagai sudut kota. Udara terasa agak lembab, gerimis turun lebih awal malam itu. Kota itu tengah bersiap menunggu tim kesayangan mereka pulang dengan gelar juara. Namun malam itu pula kesedihan menyergap di tengah persiapan perayaan pesta kemenangan. Lagu-lagu kemenangan berganti kidung-kidung kematian. Kabar duka jatuhnya pesawat yang mengangkut awak skuat sebuah tim sepak bola, Chapecoense, memupuskan mimpi mereka atau barangkali sebagian masyarakat Brasil untuk melihat tim ini berlaga di final. Pesawat tersebut jatuh di daerah pegunungan dalam penerbangan menuju Medellin, Kolombia pada selasa (29/11/2016). 81 orang tewas dalam insiden nahas tersebut. Hanya dua orang dari skuat tim ini yang selamat. Chapecoense sedang menuju pertandingan yang merupakan terbesar dalam sejarah mereka, yaitu final Sudamericana, Amerika Selatan (selevel liga Europa di Benua Eropa).
Chapecoense adalah klub sepak bola yang terbilang masih belia. Memulai debut pertamanya pada Mei 1973. Klub yang berasal dari distrik Santa Catarina, Brasil, ini baru mencicipi kompetisi serie A pertama kali pada 1978-1979. Namun setelah itu mereka hanya berkubang di kasta bawah. Tim ini kemudian menanjak drastis ke Liga Utama Brasil setelah bangkit dari keterpurukan di serie B dan C selama 35 tahun!. Pada 2014, sejak saat itu mereka terus berhasil memuncaki piramida liga negeri samba tersebut.
Kiprah tim yang berjuluk Verdao atau ‘si Hijau yang Besar’ menemui momentum terbaik di kompetisi kontinental. Setelah tahun lalu hanya mencapai semifinal Copa Sudamericana, kali ini mereka berpeluang membawa trofi juara setelah melaju ke final dan akan berhadapan dengan klub asal Kolombia, Atletico Nacional.
Kisah perjuangan tim ini kurang lebih sama seperti dongeng ala Liga Inggris musim lalu, Leicester City. Tim kecil yang sama sekali tak dijagokan, tak dilirik sama sekali sebagai calon juara. Bahkan untuk sekedar menggelar leg II Copa Sudamericana saja, Chapo harus ‘mengungsi’ ke Curitiba karena stadion mereka, Arena Conda, terlalu kecil dan tak memenuhi syarat. Namun dongeng tidak selalu berakhir bahagia, tim ini harus berakhir dalam sebuah kecelakaan pesawat tragis. Mimpi mengangkat trofi juara pupus di puing-puing rangka baja pesawat terbang.
Setelah hari itu, hujan turun deras di kota Chapeco. Orang-orang bersedih, tak peduli kostum apapun yang mereka kenakan. Sebab Chapecoense adalah kita. Inilah kisah dongeng Cinderella yang berakhir tragis tanpa sempat mengenakan sepatu kacanya.
Bukan Insiden Pertama
Tragedi kecelakaan pesawat terbang dalam dunia olahraga bukanlah hal yang pertama. Insiden tragis yang paling dikenang adalah pada Februari 1958. Korbannya adalah delapan pemain Manchester United dalam melakukan perjalanan ke Muenchen, Jerman
Lalu Oktober 1972, klub rugby Uruguay mengalami kecelakaan pesawat di pegunungan Andes, Amerika Selatan. Selanjutnya adalah April 1993, 18 pemain keseblasan tim nasional Zambia mengalami kecelakaan pesawat di Libreville (Gabon). Terakhir, 5 tahun yang lalu sebanyak 36 orang para pemain, pelatih dan pengurus tim hoko es lokomotiv Moskow-merenggang nyawa setelah pesawat yang ditumpangi jatuh di kawasan timur laut ibu kota Rusia.
(Sumber: Kompas.com, Detik.com, Beritagar.id)