Hits: 44

Alfi Rahmat Faisal

Pijar, Medan. Ada pepatah lama yang bunyinya kira-kira seperti ini, “Asam di gunung, garam di laut, dalam belanga bertemu jua”. Istilah tersebut tentu bisa di asosiasikan dalam banyak hal, misalnya kuliner. Asam dan garam adalah entitas dari cita rasa yang dapat dijumpai dalam beragam kuliner. Ngomong-ngomong soal kuliner, Indonesia adalah surganya kuliner. Keberagaman etnis, suku dan budayalah yang menjadikan ciri kuliner tiap daerah berbeda. Jika di Tanah Minang terkenal dengan Rendang dan Nasi Kapau, maka Tanah Batak juga punya ciri khas kuliner tersendiri. Mi Gomak? Arsik? Sambal Tuktuk? yang itu sudah biasa, lae. Pernah dengar Dekke Naniura? Dua kata tersebut cukup asing.

Jika pertama kali mendengar Dekke Naniura  langsung terbayangkan nama salah satu artis Jepang (lengkap dengan perawakannya). Ternyata Dekke Naniura adalah salah satu makanan khas masyarakat Batak Tapanuli Utara yang bisa ditemui di kawasan Danau Toba, Medan dan Pematang Siantar. Namanya memang terdengar cukup asing, konon Naniura hanya dihidangkan untuk raja-raja Batak. Namun, kini sudah bisa ditemui di restoran tertentu. Bahkan sekarang tidak jarang dijumpai dalam acara-acara jamuan adat Batak.

Naniura adalah jenis makanan berbahan dasar ikan kakap merah mentah yang disajikan dengan siraman bumbu halus berwarna kuning. Makanan dengan berbahan dasar sejenis tentu sudah sering dijumpai di beberapa negara, seperti Sushi dari Jepang, atau Ceviche dari Peru. Namun yang membuat makanan tradisional ini unik adalah kekayaan rempah yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia dan tentu saja proses pembuatannya.

Jika cheviche dari Peru disajikan dengan irisan bawang merah besar di atasnya, maka Naniura disajikan dengan paduan tidak kurang dari 10 rempah-rempah pilihan seperti Asam Jungga, daun Andaliman hingga bunga Rias (Kecombrang/Honje). Hal ini membuat cita rasa kuat dan khas Tanah Batak. Proses pembuatannya terbilang cukup menarik, ikan mas mentah yang dalam bahasa Batak disebut Dekke dibersihkan duri dan lendirnya terlebih dahulu. Lalu dimatangkan dengan cara merendam dalam air asam Jungga. Proses ini berlangsung selama 2-3 jam agar menghilangkan bau amis ikan. Setelah itu barulah ikan dilumuri rempah-rempah yang telah diolah menjadi bumbu halus. Tekstur kenyal ikan mentah dipadu dengan bumbu pilihan yang telah diwarisi turun-temurun akan menjadi sensasi tersendiri di lidah.

Pemilihan ikan juga tidak sembarangan, ikan yang digunakan sebaiknya berukuran kecil dan masih hidup agar bumbu meresap merata dan menjaga kesegaran ikan. Selain itu bahan dasar ikan juga harus berasal dari air tawar. Na Niura sendiri bermakna ‘tidak dimasak’, artinya tidak boleh terkena api sama sekali. Tidak direbus, digoreng, dibakar, atau diasap. Hal ini membuat kualitas protein dalam ikan mas itu sendiri tetap terjaga.

Jadi, Dekke Naniura adalah salah satu warisan budaya kuliner masyarakat Batak yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Dari proses pembuatan hingga pemilihan rempah jelas menunjukan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat saat itu. Tentu saja ke-khas-an cita rasa makanan ini tidak dapat dijumpai di tempat lain, hanya ada di Sumatera Utara. Hal ini adalah bentuk otentifikasi dari kekayaan budaya orang Batak yang perlu di lestarikan dan di kenalkan ke dunia luar. Jadi bukan hanya orang luar negeri saja yang bisa makan makanan mentah seperti sushi dan sejenisnya, orang Batak sudah melakukannya sejak dahulu.

Penulis teringat sebuah anekdot yang familiar di Medan, “Jangankan sushi, semua yang berenang dan menyelam boleh kau makan, kecuali kapal selam. Itu pun karena keras, kalau lembut habis..”.

Selamat mencoba…

Salam . . .

 

 

Leave a comment