Wanita dalam Perspektif Patriarki

Hits: 38

Grace Kolin

 

Judul    : Gadis Pakarena

Genre   : Fiksi, Realisme Magis dan Roman

Penulis : Krishna Pabichara

ISBN    : 978-979-17998-6-7

Penerbit: Dolphin

Terbit   : Juli 2012

Tebal    : 180 Halaman

“Kamu ingat, dulu kita benar-benar percaya bahwa Kitab Penyatuan itu ada. Sebuah kitab agung yang memuat daftar jodoh setiap manusia dan Tuhan akan menggerakkan pena-Nya untuk mencentang nama setiap pasangan. Kamu dulu sering merasa kurang khusyuk berdoa, sampai-sampai kamu memejamkan mata rapat-rapat dan memintaku segera menggeser gerakan pena Tuhan agar berhenti tepat di tempat namamu dan namaku diguratkan.” (Hal. 31)

Bumi Indonesia tidak pernah ada henti-hentinya menelurkan penulis-penulis terbaik di sepanjang masa dan Krishna Pabhicara adalah salah satu nominasi penulis terbaik yang pernah ada. Ayah dua orang putri yang lahir di Jeneponto, Sulawesi Selatan pada 10 November 1975 ini kerap disapa dengan nama Daeng Marewa.

Antalogi cerpen Gadis Pakarena adalah karya fiksi pertama Krishna Pabichara yang membabar makna dan hakikat cinta, kesetiaan, kerinduan, kebencian, juga angkara murka. Sebuah senarai kisah yang digali dari khazanah tradisi, diramu dalam empat belas cerpen narasi tak terperi, seakan hendak menyadarkan kita betapa dekatnya cinta dan benci, tak henti-hentinya bertarung di ruang yang sangat sempit bernama hati.

Judul-judul menarik seperti Laduka, Gadis Pakarena, Arajang, Mengawini Ibu, Rumah Panggung di Kaki Bukit, Haji Baso, Silariang, Ulu Badik Ulu Hati, Selasar, Lebang dan Hatinya, Pembunuh Parakang, Hati Perempuan Sunyi, Riwayat Tiga Layar, dan Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu ikut mengantarkan kita berpetualang, menjelajahi langgam budaya Bugis-Makassar yang memikat dan penuh dengan rahasia.

Secara garis besar, ada tiga cerpen favorit yang layak direkomendasikan pada pembaca yang budiman. Pertama-tama ada Mengawini Ibu, Arajang dan Silariang. Ketiga cerpen ini sama-sama memiliki kelebihan yang menonjol. Mengawini Ibu, berkisah tentang Rewa, pria remaja dengan latar belakang keluarga yang suram. Ayah Rewa suka main perempuan dan tidak pernah peduli tentang perasaan ibunya, anehnya, semua nama perempuan yang dihasrati ayahnya selalu berawalan huruf “N”. Akibat kebencian terhadap ayahnya terus memuncak, Rewa akhirnya punya cita-cita baru: mengawini semua perempuan yang diinginkan sang ayah untuk menjadi ibunya.

Untuk Arajang sendiri, ada kesan spiritual magis yang tidak biasa. Dikisahkan melalui sudut pandang orang pertama, seorang anak lelaki yang diusir oleh ayahnya karena ia tidak normal. Ketika umurnya menjelang tiga belas, ia tidak punya jakun seperti lumrahnya lelaki dan suaranya lebih mirip suara perempuan. Ia pun dijuluki sebagai calabai yang artinya, lelaki yang menyerupai perempuan.

“Sekarang aku menjadi bissu termuda yang disegani banyak orang. Menjadi lelaki paling lelaki yang piawai memainkan atraksi maggiri, menusuk tubuh dengan pisau, kalewang, keris, atau badik. Aku pun menjelma perempuan paling perempuan yang suci karena tak pernah menstruasi dan tak berdarah karena tubuh tak tembus besi atau timah.” (Hal. 46)

Lain halnya dengan Silariang (kawin lari dalam Bahasa Makassar) yang mendaraskan kisah tentang sepasang kekasih dari kedua keluarga yang bermusuhan, Tola dan Aisha. Keluarga Aisha setuju menikahkan putrinya apabila keluarga Tola mampu membayar mahar sebesar seratus juta. Sayang, karena Tola tak sanggup memenuhi syarat yang diajukan, ia dan Aisha pun sepakat untuk ber-silariang. Keputusan ini akhirnya membawa petaka bagi mereka berdua.

Cerpen-cerpen lain juga tak kalah menarik untuk disimak. Ada Haji Baso yang menggambarkan kepercayaan orang Makassar terhadap benda magis bernama kulau bassi, Ulu Badik Ulu hati yang secara tidak langsung menyindir tentang perlakuan aparat hukum yang tidak terbuka soal kepemilikan tambang emas yang menjadi salah satu sumber mata pencaharian di Makassar, Gadis Pakarena yang berbicara tentang cinta yang berdiri diantara silang budaya yang selalu bersinggungan namun berlawanan, dan tak ketinggalan pula empat cerpen bersambung (Selasar, Lebang dan Hatinya, Pembunuh Parakang & Hati Perempuan Sunyi) yang mengemas satu kisah dari tiga sudut pandang tokoh yang berbeda, Tutu, Rangka, dan Lebang.

“Supaya kamu tidak bingung, baiklah, akan kujelaskan bagaimana adat di sini memisahkan manusia. Kelas terendah disebut ata, golongan rakyat biasa. Pada zaman dulu, mereka kaum pekerja atau budak para bangsawan. Di atas golongan ata, namanya daeng. Seperti ata, lelaki berdarah daeng tidak bisa menikahi perempuan berdarah karaeng.”(Hal. 66)

Telisik asal telisik dalam cerpen Rumah Panggung di Kaki Bukit, ternyata kebudayaan Makassar juga membenarkan adat yang mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan golongan yang dianutnya. Hal serupa ini tak jauh beda dengan apa yang disampaikan penulis Faisal Oddang dalam cerpennya, Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon (Pemenang Cerpen KOMPAS 2015). Lewat cerpennya, Faisal Oddang menuturkan adanya tiga kasta yang dianut Masyarakat Toraja: Tokapua, kasta tertinggi; Tomakaka, kasta menengah dan Tobuda, kasta terendah.

Secara keseluruhan, ada lima judul cerpen yang layak membuat pembaca mengelus dada, mempertanyakan kodrat para kaum Hawa. Ada Mengawini Ibu, Rumah Panggung di Kaki Bukit, Silariang, Lebang dan Hatinya, dan Hati Perempuan Sunyi. Kelima cerpen ini cukup lihai dalam membingkai tema keseharian masyarakat yang patriarkis: poligami, kawin paksa dan balas dendam dalam alur konflik yang mengaduk-aduk perasaan.

“Di mana-mana sunyi menegaskan diri. Di beranda, kamar, dapur, halaman, kebun, tanah, rumputan, dan bunga-bunga. Di udara yang panas dan lengas. Dan juga di dalam dirimu. Selalu ada titik tempat aku berhenti karena mengingat dan merinduimu, suatu perbuatan yang sesungguhnya tak ingin aku lakukan, bahkan barang sedetik pun. Tak usah bertanya mengapa, bagaimana, tau kenapa. Rindu, itulah alasannya.” (Hal. 174)

Cerpen Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu akhirnya menjadi penutup manis di penghujung antalogi cerpen. Sebanding dengan panjangnya judul, cerpen ini adalah yang cerpen yang terpanjang diantara semuanya, berselisih tipis dengan Riwayat Tiga Layar.

Akhir kata, lewat antalogi cerpen Gadis Pakarena, Krishna Pabichara jauh-jauh mengekstrak saripati Makassar yang kaya dalam satu buku utuh dan mengirimkannya ke tangan pembaca. Pesan saya, buku ini cocok bagi para pembaca yang ingin belajar mengenal seperti apa budaya Makassar sekaligus sebagai sarana untuk berpikir kritis atas permasalahan kesetaraan gender yang tidak pernah selesai.

Leave a comment