Usman Kansong: Dari Sebuah Momentum Perubahan

Hits: 204

Usman Kansong sedang berfoto disebelah poster Andy

Pijar, Medan. Perubahan pada diri tiap orang biasanya diawali oleh sebuah momentum. Beberapa orang menjalani gaya hidup yang lebih sehat saat sudah terserang suatu penyakit; beberapa orang lain meraih sukses setelah pernah jatuh bangun dalam berusaha; dan beberapa orang lainnya belajar lebih giat saat sudah mendapat nilai yang rendah. Momentum jugalah yang membuat Usman Kansong (42), pemimpin redaksi Media Indonesia ini giat belajar saat masa kuliahnya dulu. Usman, demikian ia biasa dipanggil merupakan seorang alumnus dari Ilmu Komunikasi FISIP USU.

Usman menyatakan, momentum yang membuatnya menjadi lebih giat belajar adalah saat ia mengikuti Latihan Kader Satu (LK1) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) FISIP USU pada tahun 1990. Usman yang pada saat itu masih berada di semester satu mengikuti sebuah tes wawancara. “Kamu punya buku berapa?” ucap Usman menirukan pertanyaan dari pewawancaranya saat itu. “Di luar buku kuliah wajib, Saya bilang, saya cuma punya tiga buku. Terus diketawain sama dia,” katanya, saat dihubungi Pijar Jumat (19/10) lalu. Momentum itulah yang kemudian membuat Usman menjadi lebih sering membeli dan membaca buku, hingga saat ini.

Seperti anak kos pada umumnya, Usman yang pernah mendapat predikat sebagai Mahasiswa Teladan pada tahun 1994 USU ini pun merasakan sulitnya jauh dari keluarga. Hal ini mendorongnya untuk jadi lebih mandiri. “Kemandirian itulah yang bikin kita bisa rajin belajar,” tuturnya. Beberapa kerja lepas pernah ia tekuni saat menjadi mahasiswa. Menterjemahkan literatur berbahasa Inggris menjadi pekerjaan yang sering ia lakoni sembari belajar. “Kawan-kawan dari jurusan Antropologi kan sering dapet literatur bahasa Inggris, ya saya yang disuruh menerjemahkan,” katanya. Saat itu, Usman pun memasang tarif seharga Rp. 600 rupiah untuk tiap lembar yang ia terjemahkan. Hasil yang cukup lumayan ia dapat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan akademiknya selama menjadi mahasiswa. Ia menyatakan dari menerjemahkan tiap literature yang diberikan padanya, ilmunya juga turut bertambah. “Kalau menerjemahkan, kita harus paham sama isi literaturnya, jadi bisa sekalian belajar kan,” ucapnya. Menurutnya, dengan menerjemahkan juga, keterampilan dalam berbahasa juga turut terasah.

Pria kelahiran Depok, ini juga pernah menjadi agen majalah Tempo dengan harga mahasiswa pada tahun 1992. Karier sebagai seorang reporter majalah pun sempat ia tekuni, yakni reporter majalah Korpri walau hanya sebentar. Ia juga sering menulis untuk beberapa majalah di Medan seperti harian Waspada dan Analisa. Untuk mendapatkan uang tambahan ia pun sering mengikuti penelitian yang dilakukan Universitas, dosen, ataupun dari lembaga-lembaga luar kampus.

Saat masih menjadi mahasiswa, Usman yang dulu pernah kuliah di jurusan Sastra Jepang Universitas Indonesia ini menyimpan keinginan yang besar untuk menjadi seorang wartawan. “Saya ingin menjadi seorang wartawan, itulah sebabnya saya tinggalkan kuliah saya di UI dan memilih kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi,” tuturnya. Kelulusannya di jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara pun menjadi awal langkahnya menjadi seorang wartawan. Buku ‘Bagaimana Menjadi Seorang Wartawan’ karya ML. Stein pun menjadi buku yang wajib ia baca saat itu.

Ilmu menulisnya pun diiringi dengan ilmu-ilmu lain seperti politik, antropologi, dan sosiologi. Menurutnya, untuk menghasilkan tulisan yang baik, maka seorang penulis juga harus menguasai beberapa ilmu. “Kadang orang mau nulis, malah gak tau apa yang mau ditulis, itu karena dia gak ngerti ilmu lain apa yang mau dituliskan,” ucap Usman. Selesai menjalani kuliahnya, Usman yang mengaku gaya menulisnya dipengaruhi oleh Rosihan Anwar ini pun mendaftar untuk menjadi wartawan di Koran Republika. Menjadi seorang wartawan tidak membuatnya berhenti membaca buku tentang kerja wartawan. Ia menuturkan bahwa puncak karier seorang wartawan adalah menjadi seorang pemimpin redaksi. Namun hal itu tidaklah menjadi halangan untuk tetap berkarya. Menurut Usman, secara struktural puncak karier memanglah menjadi seorang Pemimpin Redaksi, namun seorang wartawan tetap bisa menulis di media ataupun mengajar. “Ya bagaimana pun, wartawan tidak pernah mati,” katanya.

Di tahun 2003, Usman Kansong berhasil mendapatkan beasiswa Chevening. Beasiswa Chevening merupakan salah satu program beasiswa dari Pemerintah Inggris (Foreign and Commonwealth Office) untuk para mahasiswa dan mahasiswi dari negara-negara selain The United Kingdom (UK), Europian Union (EU), dan Amerika Serikat. Saat itu, Usman mendapat beasiswa berupa Short Course dengan tema “Transition to Democracy”.

Menurut Usman, kunci untuk menjadi orang yang sukses adalah membaca. Karena baginya, membaca jugalah yang membuatnya mampu mencapai kesuksesan hingga saat ini. jika ingin menjadi seorang wartawan yang berkompeten, maka seseorang haruslah rajin membaca dan menulis. “Seseorang tidak akan bisa menjadi wartawan kalau tidak memiliki disiplin membaca yang bagus,” ucapnya. Mengasah soft skill juga menjadi salah satu hal yang harus diselami jika ingin sukses di bidang Ilmu Komunikasi. Menurut Usman, kemampuan berbicara juga sangat diperlukan. “Saya tidak akan bisa mewawancarai orang, kalau enggak punya kemampuan komunikasi yang bagus,” tambahnya.

Usman juga menuturkan soft skill turut menjadi penentu kesuksesan seseorang. Kemampuan berempati diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, perolehan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) juga penting karena itulah yang sering ditanyakan saat melamar kerja. “Tapi haruslah, IPK itu mencerminkan isi kepala kita, jangan sampai IP kita tinggi tapi justru gak diterima di masyarakat karena soft skill nya rendah,” katanya. “Kemampuan berkomunikasilah yang berperan agar bisa diterima di masyarakat,” tambahnya lagi.  (Dna)

Leave a comment