Hits: 61

Media massa sebagai organ tunggal pemberitaan, sudah selayaknya bersifat mendamaikan; baik antar agama, ras dan antar suku serta antar golongan. Sebab, kita hidup di lingkungan yang multikultural, maka sudah sepantasnya untuk menghindari perpecahan dan keretakan antar masyarakatnya. Maka, pengelola media harus bijak dalam menayangkan program-programnya dan masyarakat pemirsa juga harus turut terlibat dalam mengontrolnya secara bijak.

Sebab, meski sejatinya rasa multikultural dalam masyarakat kita telah tertancap kuat sejak era “senasib sepenanggungan” (baca: masa penjajahan). Namun, tampaknya semangat kebersamaan itu mulai tercerabut dari akarnya. Apalagi, dengan marak bermunculnya media-media partisan atupun sektarian yang menonjolkan segi monokulturalisme ataupun kekhususan.

Bangsa kita memang tidak perlu untuk diajari lagi slogan-slogan seperti “kerukunan antar umat beragama” dsb. Sebab, masyarakat kita pastinya sudah paham luar dan dalam akan makna itu. Bahwa puluhan etnis yang kita miliki, ratusan ras, dan macam-macam agama dapat menjadi sebuah bom waktu yang meledakkan pertikaian, jika tidak disikapi dengan baik. Maka, media sekali lagi media mengambil peranan penting guna membendung hal-hal tersebut.

Oleh karena itu, media massa di tanah air harus lebih gencar lagi dalam menyuarakan semangat akan kesamarataan dan kesederajatan. Agar terbentuk satu ‘nation building’ yang utuh dalam menghargai perbedaan. Apalagi, hal itu berkesesuaian dengan program revolusi mental. Tentu bila disandingkan ini bakal menjadi satu gerakan nasional yang merubah paradigma lama (baca: kelam).

Jadi, keberagaman di Indonesia jangan lagi disikapi sebagai kuantitas saja; bahwa kita punya 25 rumpun bahasa, 250 dialek, 400 kelompok etnis dan suku bangsa, serta 5 agama resmi. Tetapi, bagaimana kita menyikapi itu dalam konteks quality (kualitas); baik secara sikap maupun mental dalam menghormati perbedaan antara satu dengan yang lain. Hal tersebut yang seharusnya dipersuasifkan oleh media.

Maka, bangsa kita yang katanya besar ini, jangan hanya diembankan kepada masyarakatnya saja dalam hal menghargai. Tetapi juga media harus turut ikut serta. Hingga tidak ada lagi pelabelan-pelabelan negatif yang selama ini (secara tidak langsung) menohok suatu agama; seperti kata “teroris”, “ekstremis”, “radikal” dan “fundamentalis”  yang kerap menjadi momok menyakitkan perasaan umat beragama. Jelas, ini harus dihindari oleh setiap media yang mengaku bermartabat.

Pada akhirnya, media memiliki pengaruh yang besar dalam keseimbangan pemberitaan maupun program lainnya. Antara yang miskin dan kaya, antara agama si Pulan dan si Pulen, kelompok A dan kelompok B serta antara mayoritas dan minoritas.

Semoga usaha yang demikian ini mampu menghasilkan ruang bahagia dan tenang di hati pembaca, pendengar juga pemirsanya. Dan, bukan malah dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung-jawab sebagai bahan provokasi yang berakhir anarki.

Media di Indonesia perlu menerapkan semangat komunikasi multikulturalisme di masyarakat, hingga masyarakat tersadar dan mau menihilkan perilaku SARA yang sering terjadi di sekitarnya. Amin…

 

Khairullah (Mahasiswa Ilmu Komunikasi USU 2013)

Leave a comment