Hits: 75
Pijar, Medan. Mahasiswa di kota Medan pasti mengenal jajanan yang satu ini. Ya, keripik ubi Rumah Adat. Mahasiswa seringkali menjual kembali makanan ini untuk mencari tambahan dana bagi kegiatan kampus. Tidak hanya sering dipasarkan di kampus, makanan ini ternyata sudah diekspor ke mancanegara.
Adalah Ira Mayasari, sang manajer usaha rumahan tersebut. Dia bersama sang suami mengelola usaha warisan dari orangtuanya ini sejak tahun 2008. Awalnya hanya coba-coba membagi keripik ini ke teman-temannya di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (FE USU). Namun ternyata banyak peminatnya dan permintaan pun terus meningkat.
Bahan baku ubi yang digunakan adalah jenis ubi roti (ubi sogo) yang berumur di atas sembilan bulan. Tujuannya adalah agar ubi tidak terlalu banyak menyerap minyak. Untuk memproduksi 300 kg keripik setiap hari, diperlukan 8 ton ubi mentah. Ubi dipasok dari beberapa agen di Tanjung Morawa seharga Rp13.000 per kilogram. Sedangkan bumbunya, seperti rasa jagung, balado, rumput laut, dan lainnya dikirim langsung dari Jakarta.
Proses produksi diawali dengan mengupas kulit ubi. Kulit ubi dikupas dengan mesin buatan sendiri, yang terbuat dari lingkar sepeda. Lalu ubi dimasukkan ke mesin kukur untuk proses pemotongan. Ubi hasil potongan langsung masuk ke tempat pencucian (proses ngetus), kemudian ditiriskan. Setelah itu ubi pun digoreng dalam kuali raksasa di atas kayu bakar.Penggunaan kayu bakar memengaruhi rasa dan aroma keripik. Setelah matang ubi kemudian ditiriskan.Proses selanjutnya adalah pembumbuan di dalam mesin pencampur. Bumbu dituangkan melalui saringan halus sambil mesin berputar agar bumbu dapat bercampur dengan baik.
Sejak tahun 2010 seluruh proses produksi dilakukan di Tanjung Morawa. Sedangkan proses pengemaasan dilakukan di Medan. Keripik Rumah Adat dijual mulai Rp 500-Rp 5000 dengan berbagai rasa. Ira, alumnus Jurusan Manajemen USU 2006 ini mengaku, omzet penjualan pun dapat mencapai 35 juta perharinya.
Ekspor ke Korea
Tidak hanya beredar di pasar lokal, keripik Rumah Adat ternyata telah mencapai pasar mancanegara, seperti Singapura, Malaysia, dan Korea. “Dalam sebulan permintaan ke luar negeri melalui agen di Korea mencapai 26 kontainer. Satu kontainer dapat berisi 6 ton keripik,” kata Ira. Namun, Ira mengaku belum mampu memenuhi seluruh permintaan tersebut secara rutin. “Kalau diturutisebenarnya kami tidak sanggup. Permintaan keseluruhan bisa mencapi 8.000 bungkus, tapi kita hanya sanggup 3.000 bungkus,” tambahnya.
Selama perjalanan bisnisnya, Ira juga pernah mengalami yang namanya pasang surut. Hal itu dialaminya pada pertengahan tahun 2009. Saat itu selain bahan baku sulit didapat, harga minyak yang melambung tinggi semakin memperparah keuangan industri rumahan ini. Akan tetapi Ira bersama 30 orang karyawannya mencoba bangkit. Berbagai strategi pun dibuat untuk tetap menarik pembeli yang biasanya tak mau harganya naik, misalnya dengan mengurangi isi per bungkusnya, atau membuat pilihan rasa baru termasuk produk baru seperti keripik pisang. Selain itu kemasannya pun dibuat semenarik mungkin, dengan pencantuman merek lengkap dengan nomor izin dari Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Departemen Tenaga Kerja (Depnaker). [sur, dpg]