Hits: 32
Pijar, Medan. “Sometimes people do crazy for their love”. Petikan syair menakjubkan karya William Shakespeare itu bak meracuni pikiran hampir setiap pasangan yang sedang jatuh cinta di dunia. Mengekspresikan rasa cinta mereka dengan cara yang berbeda adalah salah satu nilai tambah bagi setiap pasangan. Tak jarang pula mereka menggunakan barang sebagai bukti cinta mereka. Lampion adalah salah satunya, sebagai barang bukti kita telah jatuh cinta.
Barang antik yang sering dikaitkan dengan kebudayaan Cina ini mencuri perhatian sejumlah pengendara sepeda motor di sekitar jalan Dr. Mansyur No. 144 Medan, tepatnya di depan YPPIA. Bentuknya yang unik dan khas telah menggugah hati setiap pasangan yang lewat untuk membelinya atau hanya sekadar melihat–lihat. Lampion berbentuk smiley, hati, mobil sampai ukir unik dijual dengan penuh semangat oleh pasangan Situmorang. Pasangan yang telah memulai usaha sejak satu setengah tahun lalu ini menyambut baik kedatangan kami.
Dingin. Matahari sudah berlindung di balik awan tebal, malu–malu mengintip kami. Memaksa penjual lampion ini menutup dagangannya dan berlindung di dalam kehangatan rumah, memberi kesempatan pada kami mengetahui rahasia menakjubkan lampion yang dijajakannya.
Jalan setapak kami susuri perlahan seraya mengangkat meja penuh lampion ukir menuju rumah kediaman mereka. Tampak di sana berbagai peranti yang biasa digunakan Pak Toga Ezra Situmorang untuk membuat lampion ukir. Di sana ada lem setan, pelitur, kertas gambar, pensil, meja kerja, berbagai jenis kayu dan kain sebagai bahan utama merakit lampion. Saking mendominasinya peranti-peranti itu terlihat seperti menghiasi rumahnya. Inilah rumah Pak Toga, “kantor” tempat ia mengukir lampion secara manual (handmade).
Membuat lampion jelas bukan pekerjaan mudah. Pembuatnya membutuhkan konsentrasi, hasrat, dan waktu yang cukup lama demi menghasilkan lampion utuh dengan nilai seni yang tinggi. “Ini adalah seni,” ungkap Pak Toga singkat sambil memamerkan lampion karya.
Pembuatan pola dilakukan di atas papan tripleks. Acuan pola biasanya digambar di atas kertas atau dengan gambar yang dicetak sebelumnya. Kemudian, dengan pasti dan perlahan Pak Toga memotong bagian demi bagian tripleks mengikuti pola. “Supaya gampang mengerjakannya, kita harus mengenal sifat–sifat kayu. Nggak bisa langsung main potong saja,” ujar Pak Toga. Dari situ kami tahu kalau sifat–sifat kayu, seperti ketebalan dan kelunakan menjadi perhitungan penting dalam pembuatan lampion ini.
Potongan tripleks diampelas dan dipelitur kemudian dijemur dengan cahaya matahari hingga kering. Proses itu dilakukan dua kali untuk mendapatkan hasil maksimal. Seperti kata Pak Toga, “bagi saya kualitas adalah nomor satu.”
Tripleks yang sudah kering selanjutnya dirakit dan ditempel dengan kain menggunakan lem setan–sebutan untuk jenis lem dengan tingkat kelekatan tinggi– untuk menutupi bagian yang berlubang, bagian yang akan mengeluarkan cahaya.
Proses yang memakan waktu cukup lama ini terbayar dengan hasil yang kualitasnya tak kalah dari buatan pabrik. Karya yang antik, klasik, dan memiliki nilai seni yang tinggi memang harus mendapatkan takjub dari orang lain. Lampion menjadi istimewa, bukan hanya karena jenis kayu, kain, atau prosesnya yang lama. Lampion itu indah, sebab kerap terpancar pesan khusus dari kombinasi cahaya dan warnanya. Malam yang biasa gelap, terbilang lebih bermakna karena lampion.
Pengrajin lulusan Fakultas Pertanian Universitas Katolik Santo Thomas 1993 ini memulai usahanya pada satu setengah tahun yang lalu. Jiwa seni memang mengalir kental di dalam darahnya. Sudah ada lebih dari 30 jenis karya lampionnya yang dijual seharga 80-90 ribu rupiah. Untuk yang lebih rumit, Pak Toga berani menawarkan hingga 250 ribu rupiah.
“Saya pernah membuat lampion rumah adat berbagai suku, seperti Karo yang proses pembuatannya memakan waktu sekitar 3 minggu. Wakau rumit, saya tetap mengerjakannya. Saya tidak mau mengecewakan pelanggan,” aku Pak Toga.
Pesanan memang datang dari berbagai kalangan, tetapi Pak Toga mengakui bahwa pelanggannya kebanyakan adalah remaja yang sedang jatuh cinta. “Remaja–remaja yang sedang jatuh cinta itulah yang melihat lampunya bagus. Biasanya dia beli untuk pacarnya. Ada juga yang memesan lampion berbentuk hati, ukiran happy birthday, toga wisuda, rumah Barbie, sampai ukiran gigi,” jelas Pak Toga bersemangat.
Namun Pak Toga menyayangkan terkadang ada para pelanggan menawar dengan harga yang terlalu murah, “Kalau mereka yang ngerti seni, gak akan basa–basi, langsung beli aja, tapi kalau yang gak ngerti terkadang nawarnya terlalu murah,” keluhnya. Soal omzet Pak Toga memang tidak pelit informasi. Ia mengaku setiap bulan ia dapat meraup rupiah 3-4 juta rupiah!
Matahari telah bersembunyi di sisi yang lain untuk memulai malam. Hujan pun berhenti, tetapi rasa dingin masih merasuk. Lampu–lampu jalan mulai menyala, menerangi jalan raya dengan serempak dan genangan air memantulkan cahayanya. Jalanan kini terlihat berkilau dan semakin berkilau tatkala Pak Toga mulai menghidupkan lampionnya. Ah, sungguh hangat… [awi,ysi]
1 Comment
ifa
ah.. pengen pesan lampionnya pak Toga.. untuk luar kota ada telp ato contak pak toga ga ya min? mohon info nya mimin yang baik 😀