Hits: 30

Trisha Permata

Pijar, Medan. Di tengah masifnya kerusakan lingkungan akibat pertambangan nikel di Kepulauan Raja Ampat, Universitas Sumatera Utara (USU) mengambil langkah konkret untuk menjadi kampus yang peduli terhadap keberlanjutan dengan mengusung konsep “Kampus Zero Waste. Program ini semakin relevan seiring peringatan Hari Lingkungan Hidup pada awal Juni lalu yang menyoroti degradasi alam di berbagai daerah Indonesia.

Dilansir dari detik.com, kasus kerusakan lingkungan di Kepulauan Raja Ampat menjadi sorotan nasional setelah perairan yang biasanya jernih dan kaya hayati, berubah menjadi keruh kemerahan akibat limbah pertambangan. Dampaknya tidak hanya pada ekosistem pulau, tetapi juga pada kehidupan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada laut. Kejadian ini pun memicu kekhawatiran di kalangan masyarakat Indonesia tentang masa depan lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam di berbagai wilayah lain di tanah air.

Sementara itu, di tingkat lokal, USU menunjukkan komitmennya terhadap pengelolaan lingkungan melalui peresmian Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) pada 6 Mei 2025 lalu. TPST ini merupakan bagian dari program “Kampus Zero Waste yang bertujuan untuk mengurangi produksi sampah, mendorong daur ulang, serta meningkatkan kesadaran lingkungan di kalangan sivitas akademika.

Program “Kampus Zero Wastebukan hanya tentang fasilitas, tetapi juga melibatkan perubahan perilaku dan partisipasi aktif dari mahasiswa.

Salah satu bentuk pelibatan mahasiswa dalam program Kampus Zero Waste terlihat dari kolaborasi dengan komunitas pencinta lingkungan yang aktif mengampanyekan gaya hidup minim sampah.

Muhammad Khalish, selaku ketua komunitas Pemuda Peduli Alam Sekitar (PAIAS), menyebutkan bahwa partisipasi mahasiswa menjadi kunci keberhasilan program ini.

“Keberhasilan program zero waste bergantung pada mahasiswa. Gerakan ini harus dimulai dari kesadaran individu dan kebiasaan sehari-hari mahasiswa sendiri. Sayangnya, masih banyak mahasiswa yang belum peduli terhadap isu lingkungan,” sebutnya.

Ia juga menekankan, bahwa perubahan nyata akan terjadi jika mahasiswa mulai mengambil langkah sederhana, seperti membawa wadah makan sendiri, memilah sampah, dan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.

“Sebagai contoh, masih banyak ditemukan sampah botol plastik berserakan di sekitar kampus. Mereka lebih memilih untuk menggunakan kemasan sekali pakai daripada membawa botol minum,” tekannya.

Keberhasilan program “Kampus Zero Waste, tentu tidak bisa hanya bergantung pada kebijakan dan fasilitas semata. Peran aktif mahasiswa menjadi faktor penentu utama dalam mewujudkan kampus yang benar-benar berkelanjutan. “Kampus Zero Waste bukan hanya slogan, tetapi seharusnya menjadi gaya hidup yang tertanam di lingkungan akademik. Di tengah krisis lingkungan seperti yang terjadi di Kepulauan Raja Ampat, inisiatif kecil seperti ini dapat menjadi langkah awal menuju kesadaran yang lebih luas.

(Redaktur Tulisan: Michael Sitorus)

Leave a comment