Hits: 35
Hanina Afifah
Pijar, Medan. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers berperan untuk menggaungkan suara rakyat serta memantau gerak-gerik kebijakan pemerintah. Maka dari itu, Hari Kebebasan Pers yang diperingati setiap 3 Mei merupakan momentum yang bertujuan untuk memperingati para pemangku kepentingan dalam menjamin hak asasi manusia, serta dukungan penuh bagi awak media yang menjalankan tugasnya.
Di tahun 2025 ini, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengusung tema “Reporting in the Brave New World – The Impact of Artificial Intelligence on Press Freedom and the Media”. Hal tersebut sejalan dengan maraknya perkembangan Artificial Intelligence (AI) yang merambah ke segala lini kehidupan manusia, bahkan tak lagi dapat terbendungkan.
Menyikapi pesatnya arus teknologi, Tonggo Simangunsong selaku Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan turut angkat suara.
“AI memang bisa mengancam kebebasan pers. Tetapi di sisi lain, peran AI juga sebenarnya dapat memperkuat atau membantu kerja-kerja jurnalistik. Misalnya dalam hal penyediaan data. Walaupun begitu, kita sebagai jurnalis tidak boleh menggunakan data – data itu secara mentah. Tetap lakukan cek fakta melalui verifikasi, koreksi, dan konfirmasi,” tegasnya.
Upaya penegakkan kebebasan pers di Indonesia masih diliputi berbagai tantangan. Berdasarkan data Reporters Without Borders (RSF), Indonesia berada di peringkat 111 dari 180 negara dalam hal kebebasan pers. Selain harus beradaptasi dengan kehadiran AI, jurnalis Indonesia juga menghadapi ‘penjegalan’ dalam menjalankan tugasnya, seperti larangan jurnalisme investigasi dalam pasal 50B ayat 2 huruf (c) Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, teror, dan pembatasan liputan yang kerap terjadi selama era sekarang.

(Sumber Foto: Antarafoto.com)
Tonggo menegaskan bahwa kebebasan pers di Indonesia memang menjadi tantangan besar, tetapi dapat dioptimalkan dengan menegakkan profesionalisme sebagai jurnalis.
“Bukan hanya sekadar mendesak perlindungan bagi jurnalis, melainkan juga tentang menegakkan kode etik dan berpihak pada masyarakat. Kemudian, pihak industrial (media) juga harus memastikan kapasitas dan perlindungan jurnalis. Penyelewengan rentan terjadi karena tidak ada titik temu, sehingga profesionalisme harus mampu dilakukan,” ujarnya.
Bila dibandingkan dengan Norwegia yang menempati peringkat pertama dalam indeks kebebasan pers, kondisi Indonesia bertolak belakang. Melansir dari RSF.org, konstitusi Norwegia menjamin kebebasan berekspresi dan hak atas informasi rakyatnya secara menyeluruh.
“Di Norwegia, pelanggaran seperti membuang sampah sembarangan langsung dihukum sesuai aturan. Sementara di Indonesia, pelaku kekerasan terhadap jurnalis seringkali tidak dihukum dengan benar. Jadi, sebenarnya penegakan hukum itu yang perlu ditingkatkan dan ditegakkan agar Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 benar-benar efektif,” jelas Tonggo.
Kebebasan pers di Indonesia masih terbelenggu oleh intimidasi dan lemahnya penegakan hukum. Di tengah kondisi ini, hadirnya AI memberikan peluang sekaligus tantangan. Maka dari itu, peran jurnalisme diharapkan mampu berorientasi pada integritas serta memperjuangkan kepentingan rakyat.
(Redaktur Tulisan: Kelly Kidman Salim)