Hits: 10
Hana Anggie Sachari Pasaribu
(Sebuah Prasangka)
Tap… tap… tap…
Derap langkah kaki Maya terdengar berkejar-kejaran di koridor. Deru nafasnya memburu. Cepat-cepat ia berbelok ke arah taman perpustakaan, setelah melewati parkiran sepeda motor di ujung jalan. Sesampainya di taman, ia langsung menuju ke meja di dekat kolam, menarik kasar tangan seseorang.
“Ikut aku, penting!”
“Eh-eh, kamu kenapa May?”
Meski tak paham dengan situasinya, tetapi Ari tetap mengikutinya. Mereka berjalan menjauh ke arah gerbang perpustakaan, meninggalkan Nia dengan wajah yang dipenuhi tanda tanya. Ah, yaudahlah, palingan tuh anak kambuh lagi, batin Nia dalam hatinya. Maya memang tak pernah mengatakannya secara langsung, tetapi insting Nia sebagai seorang perempuan tetap bekerja dengan baik membaca situasi yang tengah terjadi.
Sebenarnya, situasi seperti yang barusan sudah beberapa kali terjadi di depannya. Beberapa bulan ke belakang, Nia sudah menangkap sinyal cemburu dari Maya. Tatapan sinis, kalimat sarkas, segala bahasa tubuh “tak suka” ditujukan Maya kepada Nia. Baginya, Maya hanya cemburu buta. Akan tetapi, lama-lama jengah juga menghadapi sikap Maya yang seperti itu.
Tanpa Nia sadari, seseorang sudah berdiri di belakangnya, bersiap mengejutkannya.
“Woii!”
“Ih, apaan sih? Ga usah teriak bisa, kan?”
“Yaa, abis, dipanggil-panggil enggak nyahut. Mesti diteriakinlah! Kau kenapa sih? Melamun kayak banyak pikiran. Ada masalah?”
“Kau kemana aja, sih? Dari tadi enggak balik-balik, lama bener!” Nia balik bertanya, menghindari pertanyaan Reza.
“Yaa tempat fotokopinya jauh tau, aku kan jalan, enggak bawa motor. Eh, si Ari ke mana? Cabut duluan dia?”
“Biasa, ditarik pacarnya. Enggak tau tuh, bakal balik lagi atau enggak.”
“Hm, kebiasaan, deh. Lama-lama cari kelompok lain aja kalau gitu,” Reza mengeluhkan sikap Ari yang sudah hampir dua semester ini suka menghilang di tengah kerja kelompok.
Mendengar itu Nia menjadi muak. Sepertinya sahabatnya yang satu ini terlalu buta, atau bodoh untuk membaca situasi yang sebenarnya.
“Ya kalau bukan karena pacarnya, dia juga enggak bakal pergi keleuss. Si Maya tuh yang harusnya kau salahin,” kalimat terakhir itu Nia lontarkan dengan nada sewot dan wajah jengkel.
“Ya udahlah, maklumin aja. Namanya juga orang pacaran,” respon Reza berubah setelah nama Maya disebut.
“Kau kenapa sih, Za? Kalau Maya aja, pasti ditolerir. Aku tau kau dekat sama Maya, tapi ya enggak gitu jugalah. Kalau salah ya salah, bukan dibela!”
Reza terdiam. Ia tak tahu harus merespon seperti apa. Nia benar, ia sangat toleran terhadap Maya. Sebenarnya, Reza sendiri juga bingung kenapa dirinya begitu. Ia dan Maya memang sangat dekat, berkat Ari tentunya. Ari yang membuat keduanya bisa saling mengenal. Sering kali ketika Ari memiliki kesibukan, Maya akan meminta bantuan kepada Reza.
Kepada Reza, sikap Maya begitu hangat. Tidak seperti ketika bertemu Nia, dari awal Maya tak terlalu ramah padanya. Hal ini karena kedekatan antara Ari dan Nia. Keduanya kompak, karena cara berpikir yang mirip. Faktor inilah yang mendekatkan mereka. Namun, persahabatan ini bukan hanya milik Ari dan Nia, tetapi Reza juga termasuk di dalamnya. Bahkan, jika saja Maya lebih jeli mengamati, ia seharusnya sadar bahwa Nia jauh lebih dekat dengan Reza. Hal ini karena mereka sudah saling mengenal sejak SMA.
Bagi Nia, keakraban antara Reza dan Maya terasa janggal. Dibandingkan bersama Ari, justru Maya terlihat lebih sering menghabiskan waktu bersama Reza. Tidak, Nia tidak bermaksud menuduh keduanya. Ia cukup memaklumi jika Maya meminta bantuan pada Reza, karena Ari memang memiliki kesibukan yang sangat padat di kampus. Hanya saja, sebagai sahabat, ia jadi merasa sering diabaikan oleh Reza, karena Reza lebih mengutamakan Maya dibanding dirinya.
***
(Puncak dari Segalanya)
Sudah hampir dua minggu setelah kejadian saat kerja kelompok terakhir, Ari jadi susah dihubungi. Di kampus, Ari sulit untuk ditemui. Di kelas, Ari akan mengambil tempat duduk yang berjauhan dengan Nia dan Reza. Bila kebetulan berpapasan, Ari akan mencari segudang alasan untuk segera pergi, menghindari percakapan dengan kedua sahabatnya, terutama Nia.
Sikap Ari memang aneh, tetapi Nia seperti memahami situasinya. Belakangan, desas-desus keretakan hubungan Maya dan Ari memang menjadi buah bibir di antara teman-teman mereka. Banyak pihak yang membela Maya. Mereka menyalahkan Ari yang dianggap kurang perhatian dan tak pantas bersama Maya.
Suatu hari saat sedang berjalan ke parkiran sepeda motor, Nia dan Reza bertemu Maya yang berjalan ke arah berlawanan. Karena tergesa-gesa, Maya tersandung sebuah batu, lalu tersungkur ke arah Nia. Nia yang sedang membawa barang di tangannya ikut kehilangan kendali—ikut terjatuh. Buku dan berkas-berkas di tangan Nia jadi berhamburan. Untungnya, baik Maya maupun Nia tidak ada yang terluka parah, hanya sedikit tergores.
“May, ada yang sakit enggak?” Reza bertanya cemas sambil membantu Maya berdiri.
“Aduh, sorry, enggak bermaksud,” Maya mengabaikan pertanyaan Reza. Ia meminta maaf pada Nia setelah membantu mengumpulkan berkas-berkas yang jatuh berserakan.
“Iya, enggak apa-apa,” balas Nia singkat. Ia lantas membetulkan posisi tubuhnya.
Setelah itu, Maya bergegas pergi. Tampak dari belakang Ari terburu-buru mengejar langkah kaki Maya. Ia hanya melemparkan senyuman singkat saat melewati Nia dan Reza. Ketika Maya dan Ari sudah menghilang dari pandangan, Nia buka suara.
“Kenapa lagi sih, mereka? Enggak capek apa berantam terus? Si Maya tuh, kenapa sih jadi cewek gampang banget ngambekan? Si Ari juga, jadi lupa sama temen sejak pacaran, terus enggak pernah tegas sama pacarnya. Terlalu bucin, mau aja dibodoh-bodohin Maya. Mending putus deh!”
Mendengar Nia menggerutu tentang Maya, Reza menjadi tak senang. Ia membalas dengan nada yang sedikit menyudutkan.
“Kok, gitu ngomongnya? Aku perhatikan, kau itu Nia, terlalu sensi sama Maya. Kalau udah menyangkut Maya, kau pasti gampang kesal. Dia punya salah apa samamu, Nia? Janganlah terlalu menyalahkannya. Lihat juga gimana sikap Ari ke Maya. Ari juga sering kok, buat Maya kesal!”
Nia terkejut mendengar respon Reza. Sebelum ini, Reza tak pernah menyudutkannya walau sedang membela Maya. “Maksudmu, Za? Kau menyalahkanku?”
Reza mengatur napas, sembari berusaha memperbaiki nada bicaranya, “Aku enggak bermaksud menyalahkanmu, Nia. Aku hanya ingin kau berhenti mengeluh soal Maya.”
“Aku? Berhenti mengeluh soal Maya? Kau yang berhenti membelanya, Za! Apa kau buta? Apa kau enggak lihat gimana sikap Maya ke Ari? Maya itu terlalu mengekang Ari! Dia enggak suka lihat Ari dekat sama teman perempuannya yang lain, apalagi aku! Dari awal pacaran dengan Ari, dia udah enggak suka samaku, dia cemburu buta!”
Nia membalas penuh emosi. Wajahnya panas, sorot matanya mengungkapkan kemarahan. Sementara itu, air muka Ari berubah. Cukup sudah ia mendengar Nia menjelek-jelekkan Maya. Kali ini ia sudah tak bisa menahan diri. Atmosfer di antara keduanya seketika menegang.
“Bagaimana mungkin Maya enggak cemburu? Kau keterlaluan Nia, kau yang terlalu dekat dengan Ari! Kau harusnya tau batasan dan menjaga jarak dari Ari! Kau menyalahkan Maya karena gampang ngambekan, tapi apa kau sadar? Kau pun jadi cewek emosian, moody-an, gampang kesal, suka marah tiba-tiba! Dulu, sifat jelekmu itu masih dalam batas wajar, aku maklum. Makin kemari, kau makin parah, aku jadi enggak paham, Nia! Terutama sejak ada Maya, kau berubah! Aku capek sama sikapmu, Nia! Stop menyalahkan orang lain!”
“Kau yang stop belain Maya! Kukira kau cuma buta sesaat, rupanya kau juga jadi bodoh, Za! Kalau dipikir-pikir, aku sama Ari udah jadi teman dekat dari awal masuk kampus. Kita juga enggak cuma berdua, tapi ada kau juga di dalamnya, Za! Selagi kau ada, apa pernah aku minta tolong ke Ari? Selagi kau bisa ikut, apa pernah aku pergi berdua sama Ari? Enggak, Za! Kalau ada aku dan Ari, pasti ada kau juga di situ. Aku tau batasan dan aku jaga jarak dari Ari!”
Nia tak habis pikir, bagaimana sahabatnya yang pintar ini mendadak tidak bisa membaca situasi. Ia kemudian melanjutkan kalimatnya, masih dengan emosi yang membuncah.
“Kau bilang aku terlalu dekat dengan Ari, tapi apa kau sadar? Kau terlalu dekat dengan Maya, bahkan sering pergi berdua dengannya! Kau yang seharusnya tau batasan dan menjaga jarak dari Maya! Dibanding aku, kau lebih mengutamakan Maya. Kalau Maya menelepon, meminta bantuanmu, kau akan meninggalkanku dan bergegas menemuinya. Padahal, aku juga membutuhkanmu, Za!”
“Maya enggak salah. Aku begitu juga karena Ari, Nia!”
“Aku tau. Ari memang pernah bilang padamu untuk membantu Maya kalau dia lagi enggak bisa, tapi bukan berarti itu jadi alasan kau ninggalin aku, Za. Bukan juga jadi pembenaran atas waktu yang kau habiskan berdua dengan Maya!” Nia berucap dengan mata yang mulai berair.
“Kau yang berubah, Za. Selama ini, kau enggak pernah mengabaikan emosiku. Kau yang paling tau cara buat aku tenang, karena itu aku sering ceritain masalahku ke kau. Tapi, tiap aku cerita tentang Maya, kau denial. Aku pernah bilang, aku risih dengan tatapan Maya, aku rasa dia menyimpan cemburu. Apa reaksimu? Kau bilang aku yang overthinking, tak mungkin Maya tak mengerti kalau aku dan Ari memang bersahabat. Kenyataannya sekarang, kau pun mengakui kalau Maya cemburu, kan? Kau bahkan memaklumi kecemburuannya.”
Nia mengutarakan isi hatinya. Perasaan yang diabaikan itu sudah lama ditahannya. Beberapa bulan ke belakang, sejujurnya, ia sedikit merasa kehilangan sosok Reza yang mengerti dirinya.
“Nia, aku…, aku enggak tau kalau itu yang kau rasakan, aku enggak bermaksud mengabaikanmu. Aku…”
“Za, sadar enggak? Tadi, setelah Maya enggak sengaja nabrak aku, yang kau khawatirkan siapa? Oke kalau kau bantuin Maya buat berdiri, setelah itu? Ada kau bantuin aku juga? Enggak, enggak ada, Za! Apa kau enggak merasa aneh dengan sikapmu sendiri? Bukan cuma emosiku yang kau abaikan, Za, kehadiranku juga,” ujar Nia cepat memotong ucapan Reza.
“Dan lagi, Za, aku menyalahkan Maya bukan tanpa alasan. Dia membatasi Ari untuk enggak terlalu dekat dengan teman cewek Ari yang lain. Coba lihat, dia sendiri masih bebas berteman dekat dengan teman cowoknya yang lain, termasuk kau, Za. Kau bahkan mengantarkannya pulang, nemenin dia ke perpustakaan cari buku, beberapa kali makan bareng tanpa Ari. Kalian sering pergi berdua, Za. Ari enggak pernah tuh, marah sama Maya.”
Cepat-cepat Nia berbalik badan membelakangi Reza. Air matanya turun perlahan. Ia menarik napas berat, berusaha meredam suara tangisnya agar tidak terdengar oleh Reza.
“Aku…, ehm…, maaf,” hanya itu yang mampu Reza katakan. Ia dilema, juga mendadak merasa bersalah. Ia tersadar, bahwa sudah bersikap begitu tak adil pada Nia.
“Za, kukira aku hanya sedih karena Ari jadi jarang main sama kita. Ternyata, aku juga kecewa padamu. Aku merasa kehilangan, Za.”
Nia pergi setelah berterus terang, sementara Reza hanya mematung di tempat. Entah kenapa, dia tidak mampu menahan Nia. Tidak ada penjelasan yang bisa diutarakan. Ia mulai meragukan niat awalnya membantu Maya. Apa benar, hanya karena permintaan Ari?
***
(Kenyataan Pahit)
Beberapa minggu sejak pertengkarannya dengan Reza, hari-hari jadi berlalu lambat bagi Nia. Ia termenung di depan kolam taman perpustakaan. Buku di tangan tidak berhasil mengalihkan pikirannya. Kepalanya dipenuhi dengan kabar tidak sedap; hubungan Ari dan Maya kandas. Kabar itu sudah didengarnya sejak seminggu yang lalu. Ironisnya, Reza dan Maya justru semakin sering terlihat bersama—hampir sepanjang waktu. Kecuali kalau ke toilet kali, ya, batin Nia.
Satu…, dua…, dan tiga bulan. Semester ini hampir terlewati. Sudah lama Nia dan Reza tidak berbicara. Segala sikap aneh Ari yang menghindarinya, kini berpindah ke Reza. Jika berpapasan, Reza hanya akan melempar senyuman singkat. Sebenarnya, ada gosip mengenai Reza dan Maya yang belakangan menyebar.
Akhirnya, desas-desus dua minggu terakhir mendapatkan titik terang; Reza dan Maya menjalin asmara. Nia tidak begitu terkejut, ia sudah menduga ini akan terjadi. Begitu pun, ia tetap merasa terpukul. Sahabatnya itu telah meninggalkannya. Walau berat, Nia tetap berusaha mengikhlaskan segala yang terjadi.
Sebenarnya, ada kebaikan lain yang datang. Sikap Ari pada Nia perlahan normal kembali. Hubungan keduanya berangsur-angsur membaik. Seperti sekarang, Ari sedang berjalan mendekati Nia, dengan sekantong plastik belanjaan di tangan kiri dan paper bag Fore di tangan kanan.
“Nih, kopinya.”
“Voucher-nya masih berlaku? Dapat potongan berapa?”
“Hahaha, masih. Potongan 65%!” Ari berseru penuh semangat.
Ya, keduanya adalah discount hunter. Mereka tidak akan jajan jika tidak ada potongan harga. Setelah itu, mereka kembali ke kampus, membawa pesanan snack teman-teman yang lain, melanjutkan diskusi kelompok yang sempat dijeda.
***
(Waktu yang Menyembuhkan)
Memulai semester yang baru, segalanya kini terasa lebih ringan bagi Nia. Ia telah berhasil melewati masa-masa sulit di semester sebelumnya. Liburan kemarin juga cukup menyenangkan, membantunya pulih dari luka akibat persahabatannya yang hancur.
Ia dan keluarganya kembali ke kampung halaman ayahnya, bersua dengan sanak saudara yang sudah lama tidak terlihat, lalu menikmati kuliner khas yang ada di sana. Bukan hanya itu, ia dan Ari sempat mengikuti pelatihan intensif tentang digital marketing. Setelah melewati beberapa tahap seleksi, keduanya lolos dan diberangkatkan gratis ke Bandung. Segalanya ditanggung pihak penyelenggara, termasuk uang saku selama di sana—sangat menghibur.
Di kampus, Nia dan Reza kembali saling menyapa, meski keduanya tidak lagi terlibat dalam pembicaraan panjang atau percakapan yang dalam. Nia sudah cukup bersyukur, setidaknya ada Ari…., ya, walaupun terkadang, Ari menghilang juga karena segudang kesibukannya di kampus. Maya? Ia sudah tidak peduli. Begitu pun, jika bertemu, Nia tetap melempar senyuman hangat padanya. Tidak ada dendam, itulah yang dicamkan Nia dalam hatinya.
Orang-orang datang dan pergi. Tidak semua yang hadir akan bertahan. Beberapa teman mungkin ditakdirkan sampai akhir cerita, sebagian lagi hanya lewat di beberapa fase kehidupan. Entah di mana Nia pernah membacanya, tetapi yang jelas, ia memahami maksud pernyataan tersebut dan menerimanya dengan penuh kesadaran. Ia merelakan apa yang telah pergi dan fokus pada mereka yang masih di sisinya.
Kini, Nia kembali untuk belajar mencintai diri. Mengisi semester baru dengan berbagai kegiatan, yang akan membantunya bertumbuh dan belajar.