Hits: 5

Jennifer Francesca

Kota kecil itu masih berusaha pulih dari kekacauan akibat kecelakaan kereta api beruntun, yang menelan banyak korban jiwa. Sudah genap tiga hari sejak peristiwa mengerikan itu terjadi, tetapi bayangan reruntuhan logam dan asap yang membumbung tinggi masih terasa di setiap sudut kota.

Sudah berhari-hari pun, polisi masih berlalu-lalang menjaga tempat kejadian perkara. Orang-orang masih ramai berdatangan untuk melihat langsung lokasi yang terlihat parah. Media-media, bahkan dari luar kota pun berbondong datang untuk mempublikasikan peristiwa ini.

Amora berjalan di pinggir garis kuning dengan sepatu boots hitamnya, mengamati dengan teliti setiap sudut yang dilalui oleh matanya. Wanita berusia 26 tahun itu ialah wartawan dari media tingkat menengah di kotanya, yang ditugaskan untuk meliput bencana tersebut.

Di seberangnya, ada Harraz dengan kamera besar di pundaknya, datang untuk menangkap momen-momen yang mungkin belum terjamah oleh orang lain. Fotografer muda ini tak peduli dengan narasi yang telah diciptakan oleh orang lain, karena ia akan “menangkap” cerita itu sendiri.

Keduanya, baik Amora maupun Harraz, menyadari ada yang tidak beres dari kecelakaan kereta api ini. Penanganan yang terlalu tergesa-gesa, jawaban-jawaban yang tertunda, serta bisunya pihak berwenang—semuanya terasa… salah.

“Jadi, bagaimana?” tanya Harraz setelah mengambil langkah terakhir untuk tiba di hadapan Amora.

Amora terlihat menghembuskan nafasnya sebelum menjawab. “Ada yang harus aku selidiki lagi,” ucapnya, sebelum berbelok ke arah kiri, menjauh dari bangkai kereta api itu.

“Aku ikut!” seru Harraz, berlari kecil mengejar Amora yang melangkah dengan cepat.

Pertemuan pertama sepasang wartawan dan fotografer ini tidak lebih dari sekadar saling lewat di tengah-tengah reruntuhan. Amora dengan kegesitannya mengumpulkan informasi dari para korban yang selamat, sementara Harraz membungkuk di balik kamera DSLR-nya, menangkap setiap detail kehancuran.

Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi mereka berdua untuk saling bertemu, saling mengenal, dan saling mengerti, bahwa keduanya sedang mengejar tujuan yang sama. Meski mungkin tidak ada yang menyadarinya, ada magnet yang saling tarik-menarik di antara mereka.

Ambisi Amora sangat besar. Ia tak kenal lelah dalam mencari kebenaran. Semakin ia menggali, semakin ia merasa ada yang tidak wajar. Amora mendapati laporan yang tak sesuai, beberapa informasi penting disembunyikan. Amora merasa terperangkap dalam sebuah jaringan kebohongan yang besar. “Kecelakaan ini bukanlah bencana biasa.

Harraz juga mulai mencium kejanggalan. Foto-fotonya mulai menceritakan kisah yang berbeda dengan laporan yang beredar. Para penyintas—yang beruntungnya, selamat dan masih bisa berbicara—menceritakan kejadian-kejadian aneh sebelum kecelakaan terjadi, seperti penundaan keberangkatan yang tak bisa dijelaskan dan komunikasi yang rusak dari pihak kereta. Harraz akhirnya mulai merangkai bukti; kecelakaan kereta itu bukan disebabkan oleh kelalaian—melainkan telah disabotase.

Semakin dalam mereka menyelidiki, semakin besar bahaya yang mengintai. Ancaman mulai muncul—telepon misterius, penguntit, peringatan dari orang-orang berkuasa yang ingin mereka berhenti. Namun, Amora tak pernah mundur. Ia tahu bahwa mengungkapkan kebenaran ini adalah suatu hal yang menjadi tanggung jawabnya. Amora yakin, dengan ini ia akan menyelamatkan banyak nyawa.

Berbeda dengan Harraz yang mulai merasa ragu. Bayang-bayang masa lalu dan kegelapan yang pernah menghantuinya kembali muncul seiring meningkatnya ancaman. Faktanya, Harraz adalah orang yang bebas dan tidak terikat. Ia selalu menjaga jarak dari kebenaran yang kelam, menjauhi bahaya. Namun, entah bagaimana caranya, Amora berhasil menariknya ke dalam lingkaran berbahaya ini, membuatnya sampai hingga ke titik ini.

“Amora, kita harus berhenti,” kata Harraz dengan suara pelan, hampir berbisik.  “Hal ini terlalu besar untuk kita, ‘mereka’ terlalu berbahaya.”

“Aku tidak akan berhenti,” balas Amora cepat, bahkan tanpa repot-repot menatap mata lawan bicaranya.

Harraz meremas rambutnya frustasi. “Kau tidak mengerti. Jika diteruskan, kita bisa mati, kita akan dibunuh! Kau menempatkan diri dalam bahaya untuk sesuatu yang kau bahkan tidak sepenuhnya mengerti. Ini sudah bukan lagi tentang sebuah cerita, tapi ini adalah pertarungan melawan orang-orang yang dapat menghancurkan kita!”

Amora menghentikan gerak tangannya yang tengah meneliti dokumen-dokumen yang telah mereka kumpulkan, beralih menatap Harraz dengan tatapan yang melunak. “Mungkin aku selalu berjuang untuk sesuatu yang lebih dari sekedar cerita, Harraz. Mungkin ini memang tentang sesuatu yang lebih besar dari kapasitas kita berdua.”

Harraz terdiam, entah apa yang sedang bergelut di pikirannya. Laki-laki itu paham pilihannya hanya dua; Amora atau mundur. Keduanya hening, selama puluhan menit hanya suara gesekan kertas dan suara mesin kopi yang terdengar. Dan Harraz, setelah melalui perdebatan panjang dengan dirinya sendiri, ia memilih Amora.

Keesokan harinya, mereka mendapatkan potongan teka-teki terakhir. Seorang pelapor anonim mengungkapkan, bahwa kereta api tersebut memang telah disabotase sebelum keberangkatan yang berakhir celaka itu. Tak lain dan tak bukan adalah bagian dari rencana besar yang telah diatur oleh kelompok eksekutif.

Pelapor juga menyebutkan, bahwa rencana tersebut bertujuan untuk menutupi korupsi dan tindakan ilegal lainnya, yang telah dilakukan kelompok eksekutif itu. Tertegun, Amora dan Harraz menoleh pada satu sama lain, sadar bahwa bahaya yang sebenarnya telah tiba.

Amora dan Harraz membuat janji temu dengan si pelapor, berkomunikasi sehati-hati mungkin agar “pihak berbahaya” itu tidak mengetahui rencana mereka. Namun, sebelum sempat bertemu dengan si pelapor, mereka disergap. Sekumpulan pria berbadan besar dengan jas berwarna gelap mengelilingi mereka, menarik keduanya ke dalam minivan khas mobil kriminal di televisi. Mereka diangkut ke sebuah lokasi yang amat jauh dari kota.

Meski dalam keadaan seperti itu pun, tekad Amora tidak goyah. Ia melawan, dengan Harraz di sisinya. Kekacauan ini membuat ikatan mereka tumbuh lebih kuat; kepercayaan, kerja sama, tanggung jawab, dan rasa peduli terhadap satu sama lain.

Melalui perjuangan yang berat, mereka berhasil melarikan diri dari para penculik menyeramkan itu. Dengan tubuh penuh luka dan lebam, pakaian kumuh dan koyak, mereka kembali ke kota, dengan satu tujuan terakhir, yakni untuk mengungkap kebenaran.

Kebenaran yang mereka ungkap menyebar dengan cepat seperti api. Dalam waktu yang singkat, cerita itu berhasil menjadi topik perbincangan utama di kota, bahkan hingga seluruh penjuru negeri.

Para pelaku yang bertanggung jawab diseret ke pengadilan, para korban dan keluarganya akan segera mendapatkan keadilan. Baik Amora maupun Harraz, nama keduanya dikenal sebagai pahlawan kebenaran masa itu. Berbagai tawaran untuk program TV dan media online mereka dapatkan, tetapi tidak satupun diindahkan. Sebab dari awal tujuan mereka hanya satu, yakni mengungkap kebenaran.

Perjalanan ini bukanlah sesuatu yang sama sekali mudah bagi mereka. Amora dan Harraz melewati banyak hal dalam prosesnya, menghadapi keraguan dari segala sisi, melawan pikiran-pikiran pesimistis dari dalam diri sendiri, dan meneguhkan diri untuk tetap maju melawan semua itu. Namun, di tengah badai yang nyaris menghancurkan, sesuatu yang indah telah tumbuh dan mekar. Amora dan Harraz menemukan satu sama lain, dan mungkin inilah awal dari kisah sepasang wartawan dan fotografer yang akan terus terukir di masa depan.

Leave a comment