Hits: 20
Kiki Nabila Tusu
Hujan terus mengguyur kota, sudah lima jam sejak pagi, dan ia tak berniat untuk berhenti. Langit tampak sangat kelabu dan suara tetes air memukul genting seperti detak jam dinding. Aku melangkah malas menuju jendela yang lupa kututup semalam, angin terus membawa gerimis masuk, menampar kulit dan menyapu dingin hingga ke tulang. Namun, sebelum sempat sampai, kakiku tersandung sesuatu.
Duk, suaranya menggema menyapa kamarku yang sempit.
Aku mengaduh, kemudian menatap jempol kaki yang memerah dan sepertinya akan membengkak. Mataku mencari sang pelaku, dan di sana, nyaris tak terlihat oleh temaram, sebuah kotak kayu tergeletak, mungkin terguling dari bawah meja. Jemariku terulur ragu meraihnya, permukaannya sudah usang, penuh debu dan beberapa goresan. Anehnya, aku hafal betul kotak apa ini. Ia pernah kusembunyikan, tapi pada nyatanya tak pernah kulupakan.
Perlahan kubuka tutupnya. Krieeet…
Aku tertegun, di dalamnya terletak lesu sebuah kalung perak berkilauan dan selembar kertas yang tepiannya telah menguning ditelan waktu, terlihat sangat rapuh. Kepalaku berdengung ketika melihat tulisan tangan rapi yang tercantum di atasnya, terbaca dengan jelas.
“Untuk Risya”. Namanya kembali terucap dalam hati. Lembut seperti embun di ujung dedaunan pagi.
Ribuan kenangan menyerbu ingatanku, kilasan demi kilasan membawa kembali mengingat sosok itu. Pujaan hatiku.
Risya.
Gadis desa yang kutemui seperti takdir, sebuah kebetulan yang menghampiriku layaknya anugerah. Sosok yang mengajarkanku arti merelakan, membuatku paham bahwa hidup tak selamanya tentang mendapatkan, tetapi tentang melepaskan.
***
Sudah lima tahun berlalu sejak itu.
Kala itu, aku diutus untuk melakukan survei terkait aktivitas pertanian di sebuah desa yang bahkan tidak diketahui keberadaannya. Desa itu tersembunyi dalam pelukan lembah, tak tertulis dalam peta kota besar. Jalannya penuh lubang, berlumpur jika hujan, dan diapit pohon-pohon tinggi seperti lapisan dinding.
Setelah tujuh jam perjalanan penuh peluh dan lelah, akhirnya aku sampai di gerbang desa. Gapura dengan cat mengelupas menyambutku dengan tulisan “selamat datang” yang sama usangnya. Aku berdiri bingung di depan balai desa yang kosong, menatap sekitar seraya menimbang kemana aku harus melangkah mencari rumah kepala desa.
Hingga suara lembut menyapa dari balik batang randu. “Abang sedang cari siapa?”.
Aku menoleh. Di bawah redup senja, berdirilah seorang gadis berselendang tipis berwarna hijau, senyumnya teduh, tatapan matanya tenang bak permukaan danau. Dua lesung pipinya tampak muncul malu-malu menghiasi manis wajahnya.
Lama terdiam, gadis itu kembali menanyakan pertanyaan yang sama. “Abang sedang cari siapa?” sembari melambaikan tangannya di depan wajahku.
Dengan kikuk, aku akhirnya menjelaskan tujuanku datang ke desa itu, dan berniat mencari rumah kepala desa. Gadis itu dengan ramah menawarkan diri untuk mengantarkan. Di tengah perjalanan, gadis itu memperkenalkan dirinya. Risya Wulandari, nama yang indah.
Hari-hari berikutnya bagaikan lembaran puisi. Ia menemaniku berkeliling, menunjukkan jalan-jalan yang hanya diketahui kaki-kaki warga. Kami sering menghabiskan senja dengan duduk di tepi sawah, berbagi cerita. Tentang hiruk pikuk kota yang asing baginya, tentang mimpi-mimpinya yang sederhana, keinginannya naik kereta, menyentuh kaca gedung tinggi, mencicipi es krim yang tidak pernah sampai ke desanya, dan ribuan senda gurau lainnya. Di antara canda dan tawa, ada sesuatu yang tumbuh perlahan. Bukan sekadar suka, tapi keyakinan bahwa aku menemukan rumah dalam dirinya.
Risya menjadi bagian dari bahagiaku selama di desa, kehadirannya membuatku percaya bahwa kedatanganku bukan sekadar perjalanan dinas, namun tapak menuju cinta. Aku dengan lancang mulai membayangkan rumah bahagia itu, bersama dirinya.
Namun hakikatnya, aku hanya manusia lemah yang tak layak menyanggah takdir. Nyatanya, rumah bayanganku telah dibangun di tanah yang sudah lama dimiliki orang lain.
Saat itu senja, matahari tergantung rendah dan langit berubah jingga tua, Risya menunduk menggenggam tanganku, suaranya nyaris tertelan angin.
“Aku sudah dijodohkan, Bang. Sejak dulu. Lelaki itu, warga desa seberang,” ujarnya diselingi isakan yang telah ditahan dengan seluruh sisa kekuatannya.
Aku terdiam. Suaraku tercekat, seolah seluruh bahasa dalam diriku mati serempak. Ada sesuatu yang pecah tanpa suara di dalam dada, retakannya menjalar lambat menghancurkan sisa-sisa harap yang kubangun diam-diam. Hening merambat seperti kabut, membekukan ruang di antara kami. Tak ada yang sanggup bicara, tak ada yang tahu bagaimana mengakhiri luka yang baru saja dibuka.
Dengan langkah terseok-seok, aku memutuskan berbalik, menjauh dari Risya yang kini jatuh terduduk, tubuhnya terguncang oleh tangis yang pecah meledak-ledak. Di belakang punggungku, namaku dipanggil lirih, namun aku tak mampu menoleh. Dan entah sejak kapan, air mataku jatuh, membasahi pipi tanpa bisa kutahan. Mereka turun diam-diam, seperti hujan di awal musim menyisakan perih yang mencabik kewarasan.
Malam itu, aku menulis surat. Kata demi kata mengalir bersama isak tangis tak bersuara. Kutumpahkan seluruh perasaan yang selama ini bersemayam. Bersama surat yang kulipat rapi, seuntai kalung perak kusematkan berdampingan sebagai sebuah janji yang tak pernah tersampaikan. Ku masukkan semuanya ke dalam kotak kayu kecil dengan ukiran-ukiran indah pada permukaannya, berharap dapat menyerahkannya sebelum hari bahagia yang tak pernah kunantikan itu tiba. Kali ini aku mencoba mengalah, merelakan.
Jika kalian menyangka kotak itu akan sampai di tujuan, maka kalian salah besar. Takdir lagi-lagi memiliki caranya sendiri dalam merangkai skenario kehidupanku.
***
Pukul delapan pagi, aku terburu-buru menuju rumah Risya. Entah mengapa, hujan turun begitu deras sejak subuh, membasahi seisi desa dan langit merengut muram seolah ikut merasakan resahku. Jalanan licin, tanah berubah lumpur. Di sebuah tikungan tajam yang luput dari perhitungan, motorku tergelincir. Tubuhku terlempar, menghantam keras bebatuan di tepi jalan. Dunia seketika memudar. Kesadaran terakhir yang kuingat adalah kotak kayu itu terlepas dari genggaman, meluncur bersama pesan yang tak sempat sampai pada tujuannya.
Aku terbangun dua hari kemudian dengan perban yang mengelilingi kepalaku. Sekujur tubuhku terasa remuk dan hancur. Tentang kotak kayu itu, entahlah. Lenyap tanpa jejak. Semuanya sudah terlambat. Hari demi hari berlalu hingga tugasku selesai. Aku memutuskan pergi meninggalkan desa dengan segala bayang-bayang sosok Risya, membawa luka yang tak tahu kapan akan sembuh.
Hari-hari kemudian berganti tahun, resahku yang tak kunjung usai membawaku kembali menuju desa itu. Bukan lagi untuk tugas, namun ada panggilan perasaan yang membuatku hatiku ingin kembali dan menyelesaikan segalanya yang belum tuntas.
Rumah Risya adalah tujuan pertamaku. Namun, yang kutemukan hanya kesunyian. Pintu tua itu tertutup rapat, halaman dipenuhi ilalang yang tumbuh tanpa arah. Tak ada jejak tawa ataupun bayang kehangatan. Seluruhnya lengang.
Seorang kakek tua, tetangga lama Risya, menghampiriku dengan langkah pelan. Ia berkata dengan lembut, seperti mengetahui tujuanku datang.
“Risya sudah lama pergi, Nak. Ia menjalani pernikahan yang tak pernah diinginkan. Rumah tangga itu hanya bertahan sebentar, lalu kandas. Setelah itu, hidupnya suram. Semakin hari tubuhnya semakin melemah, dan pada akhirnya dirinya menyerah pada rasa sakit yang tak mampu lagi ditanggung.”
Aku membeku. Dunia seketika kehilangan warna. Tapi pria tua itu belum selesai. Ia menunduk, mengambil napas panjang. “Gadis itu menitipkan ini. Katanya, jika kau datang kembali, dia ingin aku menyerahkannya kepadamu. Ini milikmu”.
Dari lipatan kain tua, ia mengeluarkan sesuatu yang membuat nafasku tercekat.
Kotak itu.
Masih utuh. Debunya sudah dibersihkan, tapi ukiran-ukirannya tetap sama. Hatiku bergetar membukanya. Kalung itu masih di sana, begitu pula surat yang tak pernah dibacanya. Ia menjaganya, meski tak pernah membukanya. Menyimpannya, seolah percaya bahwa suatu hari aku akan datang. Aku mendekap kotak itu dalam pelukan. Air mata jatuh tanpa suara. Seluruh luka yang selama ini tertahan menjerit keluar. Risya cintaku, selama ini telah pergi, membawa seluruh perasaannya yang tersimpan rapat dalam hatinya.
***
Aku berdiri di pematang tempat dulu kami sering duduk. Langit kembali mendung, dan hujan turun perlahan, seperti menirukan masa lalu. Tetapi kali ini aku tak berlindung. Aku membiarkan diriku basah, membiarkan kenangan menetes bersama gerimis, membiarkan rasa yang dulu tertahan akhirnya luruh dalam diam.
Kini aku mengerti, bahwa cinta tak selalu harus sampai. Jatuh cinta bukan sekadar tentang jatuh lalu mencinta, tetapi juga tentang merelakan. Tentang memberi ruang untuk yang tak bisa dipaksa. Terkadang, cinta yang paling dalam bukan hanya yang berakhir bersama, melainkan yang sanggup mengikhlaskan.
Risya mungkin telah pergi, tapi dirinya meninggalkan perasaan yang akan kukenang abadi dalam diriku.

